Wednesday, June 17, 2015

Kenangan Bulan Ramadhan Seorang Kristen

Bulan Ramadhan akan selalu meninggakan kesan tersendiri bagi saya. Ya, saya seorang Katolik dan masa puasa hingga Lebaran memiliki arti begitu mendalam bagi diri saya pribadi. Ini pertama kalinya saya menulis tentang perasaan dan pengalaman yang saya rasakan setiap bulan Ramadhan. Sejak lahir dan besar di lingkungan keluarga kecil Katolik, saya memiliki kenangan begitu berkesan dari keluarga besar kakek-nenek yang mana sebagian besar muslim. Tulisan ini mungkin bisa anda lihat sebagai respon saya terhadap ramainya perbincangan di media sosial perihal boleh tidaknya warung makan beroperasi selama puasa. Tentu saja anda boleh melihatnya sebagai sebuah pandangan atas maraknya postingan situs-situs radikal yang seringkali menebar kebencian serta menyudutkan agama tertentu ketika tidak sesuai dengan persepsi seseorang.

Tidak pernah terpikir sebelumnya untuk menulis seperti ini sampai suatu sore saya melihat nenek saya di dapur, mengangkat sebuah wajan besar. Ketika saya tengok, isinya ternyata adalah opor ayam yang biasa disantap dengan ketupat. Lalu saya tanya kepadanya,"Lho, masak lagi? Bukannya tadi sudah menggoreng tempe dan bikin sambel bawang?" Ia hanya menjawab dengan singkat,"Ini buat nanti puasa. Mau kirim untuk saudara dan tetangga buat buka puasa."

Sejak kecil saya tinggal dan dibesarkan oleh kakek dan nenek dari ibu saya yang sudah lama meninggal. Kakek dan nenek saya seorang Katolik, atau memutuskan menjadi seorang Katolik saat usia mereka berdua masih belia. Mereka berasal dari keluarga Jawa Timur yang begitu kental dengan nuansa Islam. Kata nenek saya, keluarga buyut adalah warga NU yang sangat taat. Saya sempat heran, kok bisa-bisanya sebuah keluarga Jawa Timur yang dikenal keras bisa memiliki anggota keluarga mbalelo. Seorang Kristiani. Apa jangan-jangan kakek nenek saya ini sudah tidak dianggap di dalam keluarga buyut? Apa mereka sudah dicap kafir oleh sebagian besar saudara-saudaranya dan diusir dari rumah kemudian pergi merantau? Dulu sebelum mengenal sosok Gus Dur, saya kira keluarga buyut adalah orang-orang yang memiliki pemikiran seperti Hafidz Ary atau Felix Siauw yang cangkem-nya terlalu enteng mengkafirkan seseorang. Ternyata saya salah.

Dulu, kakek kerap membawa saya pulang kampung menjelang hari raya Idul Fitri. Kebiasaan mudik lebaran menjadi momen paling menggembirakan saat itu. Meski sebagai seorang Kristiani, kakek selalu memilih pulang kampung saat lebaran, bukan saat Natal atau pun Paskah. Biasanya semua sanak saudara berkumpul di rumah buyut di Jawa Timur. Kalau tidak salah nama kampungnya Tulakan, Kabupaten Pacitan. Kakek tidak pernah menganggap ritual pulang kampung ini sebagai sebuah kesempatan untuk berlibur atau sekedar meramaikan Lebaran. Oh tidak. Kakek dan nenek tidak se-kaya itu untuk menghambur-hamburkan uang hanya karena ingin ikut macet-macetan di sepanjang jalur Pantura. Ada kebiasaan yang tidak akan pernah bisa mereka tinggalkan sebagai orang Jawa. Bersilahturahmi.

Dari seluruh keluarga besar kakek dan nenek, hanya mereka berdua yang memeluk agama Katolik. Saudara, kakak, dan adik mereka semuanya adalah pemeluk Islam yang ramah. Saya tidak pernah merasa dibedakan atau diperlakukan sebagai orang asing. Tidak pernah merasa diasingkan dengan adanya perbedaan yang cukup mencolok. Kami biasanya tiba di Pacitan beberapa hari sebelum Idul Fitri. Selama di sana hingga Lebaran, saya sama sekali tidak pernah dilarang untuk makan dan minum. Pakdhe dan Budhe saya tidak pernah menunjukkan raut wajah terganggu karena melihat saya makan dan minum di dapur. Kehidupan berjalan seperti biasa. Budhe saya tetap menanak nasi di dapur untuk buka puasa. Buyut saya tetap mbabati rumput dan ngangon wedus. Tidak pernah ada larangan makan dan minum pada siang hari. Justru kakek dan nenek yang sering mengingatkan saya untuk tidak makan minum di luar rumah. Pada saat hari raya Idul Fitri saya diperlakukan layaknya seorang muslim. Sungkeman, saling bermaafan dan makan opor ayam.

Jika sedang tidak pulang kampung, rumah kakek dan nenek di Cilegon pun tidak kalah ramainya saat Lebaran. Bahkan biasanya lebih ramai ketimbang Natal dan Paskah. Sering anak-anak kecil di sekitar rumah datang untuk meminta duit Lebaran atau tetangga yang datang hanya untuk sekedar mencicipi ketupat sayur dan kue kering bikinan sendiri. Semua kenangan akan hari raya itu saya alami selama masa kanak-kanak, dan saya sadari sekarang bahwa hal itu telah menjadi proses pembelajaran mengenal makna toleransi sesungguhnya. Perasaan memanusiakan manusia lain, tanpa harus memiliki tendensi untuk menghakimi, tanpa mencari siapa yang benar siapa yang salah dan siapa yang lebih berhak masuk surga.

Setelah cukup dewasa, tinggal di kota besar, saya menjadi tidak terlalu polos untuk menyadari bahwa sering kali manusia hidup dalam pengkotak-kotakan. Saya jengah ketika melihat begitu banyak konflik sosial yang terjadi karena perbedaan agama. Sudah begitu lama saya tidak lagi merasakan perasaan yang sama ketika ikut merayakan lebaran di Pacitan. Saya tidak lagi menemukan makna sesungguhnya dari kata toleransi yang hari ini begitu sering dipelintir sedemikian rupa oleh banyak orang. Kita mudah sekali diganggu dengan hal-hal sepele seperti boleh tidaknya warung makan ketika puasa, siapa harus menghormati siapa. Sama dangkalnya ketika orang-orang yang meributkan perkara boleh atau tidak mengucapkan selamat Natal menjelang bulan Desember.

Awal bulan Ramadhan tahun ini memberikan makna tersendiri bagi diri saya sebagai seorang Katolik. Kurang lebih, saya juga merasa ikut merayakan suasana Lebaran. Tentu saja saya memaknai Ramadhan secara berbeda dengan saudara-saudara Muslim. Saya tidak ikut sholat tarawih berjamaah. Saya tidak ikut berpuasa. Saya tidak ikut menunaikan Sholat Ied. Tetapi saya percaya momen ini menjadi kesempatan saya untuk kembali belajar--setidaknya dari keluarga saya--menjadi seorang manusia yang humanis. Seorang manusia yang sejatinya tidak hidup dalam kotak-kotak berlabel SARA. Selama sebulan ini saya akan kembali diingatkan tentang bagaimana caranya hidup berdampingan tanpa harus ada institusi mengatur apa yang boleh dan apa yang tidak boleh. Tanpa harus diminta, saya akan menghormati siapa saja yang pantas saya hormati. Dari Lebaran, saya kembali belajar menjadi manusia yang toleran. "Ah, mungkin saya hanya terlalu rindu akan kenangan masa lalu," ucap saya dalam hati. Selesai menulis, saya menghampiri nenek dan mencium pipinya, menyapa dia dengan panggilan darling. Entah kenapa. Saya hanya ingin melakukannya. 

Monday, June 15, 2015

One Fine Day at RPC

For me, capturing children's face as the object of human interest photography is the most fun activity. They have an innocent facial expression, a happy face, and also touching. Last week, i had an exciting experience. I had an opportunity to photograph children who live in Ciangsana, Bogor. There is always a story in every images. So this is my story.

Saturday June 13th 2015, i came to Pabuaran Wetan village, Ciangsana, Bogor, for the first time. My girlfriend asked me to visit Rumah Pintar Ciangsana. At the same day, they were celebrating their fourth birthday. I have heard about Rumah Pintar Ciangsana before. My girlfriend used to tell about activities that has been held there. She's quite active as social activity junkie.

Rumah Pintar Ciangsana was established in June 2012 as an initiative of a bunch of young people. The mission is very simple. They want to make a public library and a place to learn for kids. A place that very accessible and reachable for kids who live in Pabuaran Wetan village. So, they will have an interest in studying and reading a book. Beside that, I think those anxiety also departs from the fact that not all Indonesian children have an equal access to education. Well, a group of youths who have a high commitment and dedication are the seed of revolution, right?

Please do not think that RPC's building is fancy. The building is not much different from people's houses around. Inconspicuous and alongside each other. It was about 6 x 3 meters. There is a banner with RPC name on it and garbage dump in front of the house.

Even the building is not big and fancy, the children love to learn in there. Kids will always be kids. They absorb everything around them in various ways. Learning while playing, so the volunteers have to be so creative. Teaching and learning activities are usually carried out with themes. For example; english day, art day, earth-loving day, and social day. Forms of teaching and learning? It depends on teacher's creativity.

Four years is not a short time and its not easy to go through while maintaining a non-profit organization. Volunteers come and go. They are even not paid. Although not as active as before, my girlfriend still take time to come and visit the children. "Children really love a gift. Yesterday i came and brought a dozen of piggy bank for them, so they can start to save money. At the end, they asked me for a princess Elsa doll as a reward for the one who has the biggest amount of savings," she said as she laughed.