Sunday, August 27, 2017

Puisi yang Tak Pernah Mati




Kamis sore itu,

Rindu para ibu kembali bertalu

Meratapi anaknya yang diterjang peluru

Dan hilang ditelan waktu


Kugenggam barisan kata

Dari luapan kegetiran dan air mata

Dirangkai oleh penyair tanpa nama

Yang lahir di antara deru mesin kota


Aku pun berdiri 

hendak membacakan sepenggal puisi

Yang kuyakin tak akan mati

Meski suatu saat nanti

aku beranjak pergi


Puisi ini tak bisa mati

Menghalau bisu

dan janji yang dikebiri sunyi


Mengantar harapan

yang berkelindan

dengan keputusasaan


Menemani setiap kehilangan

yang bergerak

dalam diam


Jangan lelah, bu...

Lain waktu 

mereka pasti membuka mata dan telinga


Dan tiap makna tak terucap sia-sia...


---------------------------


Karet Sawah,

Senin dini hari, 28 Agustus 2017.


*Untuk para ibu di Aksi Kamisan dan penyair Kalibata, Sabiq Caresbesth









Wednesday, March 22, 2017

Memaknai Wafatnya Patmi dan Gerakan Petani Kendeng Lestari...


JAKARTA - Selasa (21/3/2017) malam, puluhan orang memadati ruang tengah kantor LBH Jakarta. Mulai dari pegiat HAM, relawan kemanusiaan, tokoh agama hingga para petani yang berasal dari Karawang duduk bersama dalam suasana duka.

Mereka duduk melingkar dan mendaraskan doa untuk Patmi (48), seorang petani perempuan dari kawasan Pegunungan Kendeng yang wafat usai melakukan aksi unjuk rasa di depan Istana.

Hampir sepekan, Patmi bersama 49 petani lainnya melakukan aksi protes mengecor kaki mereka dengan semen. Aksi tersebut menjadi simbol kehidupan mereka yang terbelenggu oleh keberadaan pabrik semen di kawasan Pegunungan Kendeng.

Seusai acara, beberapa orang terlihat enggan untuk pulang. Sebagian ada yang duduk berbincang. Sebagian lagi mengabadikan tumpukan kotak kayu yang sempat digunakan oleh para petani Kendeng untuk mengecor kakinya.

Berita wafatnya Patmi menyebar cepat di media sosial. Tidak sedikit netizen yang mengunggah foto Patmi saat melakukan aksi cor kaki. Ucapan belasungkawa dan ungkapan rasa solidaritas mengalir untuk Patmi. Begitu juga dengan pihak Istana.

Namun, respon Kepala Kantor Staf Presiden Teten Masduki terhadap aksi protes para petani Kendeng itu justru mengganggu pikiran saya sejak semalam. Teten meminta aksi mengecor kaki dihentikan setelah salah satu petani meninggal.

"Kalau aksi itu hak demokrasi, cuma jangan nyemen lagi lah, itu kan membahayakan kesehatan. Kalau aksi, enggak usah melakukan tindakan yang membahayakan," kata Teten di Kompleks Istana, Jakarta, Selasa (21/3/2017) seperti dikutip dari situs Kantor Berita Radio (KBR).

"Sebenarnya kan pemerintah bisa cegah seperti misalnya orang demo katakanlah naik ke gedung tinggi mau ngancam bunuh diri, kan pemerintah harus bisa hentikan," ucap Teten.

Kemudian muncul pertanyaan di kepala saya, sampai sejauh mana Teten, termasuk saya sendiri, memaknai perjuangan para petani Kendeng selama ini?

Apa yang membuat para petani Kendeng ini rela mencor kaki untuk kedua kalinya dan mendesak bertemu dengan Presiden Jokowi?

Bayu Agni, seorang musisi, mengatakan kepada saya,"Mungkin, apa yang dilakukan oleh petani Kendeng itu tidak masuk di logika berpikir sebagian besar kita yang tinggal di kota. Keyakinan mereka atas kelestarian alam jauh berbeda dengan keyakinan yang kita miliki. Kita sudah berjarak, tidak menyatu dengan alam."

"Kita tidak pernah mengerti apa yang diyakini oleh Bu Patmi," ucapnya.

Kalimat itu seakan menjawab segala tudingan yang dialamatkan terhadap gerakan para petani Kendeng. Tuduhan bahwa para petani itu diperalat korporasi asing hingga soal eksploitasi kepentingan LSM, sudah saya dengar sejak meliput aksi cor kaki jilid I pada April 2016 lalu.

Obrolan saya dengan seorang jurnalis memunculkan fakta bahwa ada keraguan soal bagaimana memosisikan peran jurnalistik dalam mengawal isu pabrik semen di kawasan Kendeng.

Intuisi pun menggiring saya untuk mencari tahu dan bertanya ke banyak tempat. Suatu malam redaktur media massa tempat saya bekerja mengirimkan pesan singkat.

" Barangkali betul. Gajah bertarung lawan gajah, pelanduk mati di tengah-tengah. Di satu pihak warga Kendeng berjuang mempertahankan hidup, di pihak lain mungkin ada yang diuntungkan dengan perjuangan itu, yakni pihak yang bertikai kepentingan."

"Tapi, isu Kendeng ini sangat penting, terkait keberlangsungan hidup masyarakat Samin," tulisnya.

Respect Existence or Expect Resistance

Dalam tulisannya, Amir Sodikin, assistant managing editor KOMPAS.com menuturkan, bagi orang Jawa yang masih mengikuti laku dan tata cara orang Jawa, kemarahan memiliki tingkatan masing-masing. Salah satu sikap marah yang sudah mencapai puncaknya dan sulit diurai adalah ketika mereka sudah mulai berani menyakiti diri sendiri, bukan menyakiti atau membuat kekerasan kepada orang lain.

Komunitas adat Sedulur Sikep, masyarakat Samin, yang mendiami kawasan Kendeng senantiasa memegang teguh prinsip untuk tidak menyakiti siapa pun.

Sebagian orang melihat mereka sedang menggelar aksi damai, aksi biasa-biasa saja yang tak membahayakan kekuasaan. Namun bagi orang Jawa, aksi itu adalah puncak terbakarnya kesabaran, ketika penguasa tak lagi mudah untuk ditemui, ketika penguasa memilih menutup telinganya. Tuntutan mereka sederhana: dialog.

Ketika rakyat Yogyakarta memiliki tradisi "tapa pepe", yaitu menjemur diri di bawah terik matahari agar bisa bertemu dengan Sultan, maka warga Kendeng ini telah melakukan lebih dari sekadar "tapa pepe". Dari aksi tinggal di dalam tenda, berjalan kaki 122 kilometer, membunyikan lesung tanda bahaya, hingga membelenggu diri dengan semen di bawah terik matahari.

Protes masyarakat atas keberadaan pabrik semen di Pegunungan Kendeng telah berlangsung selama bertahun-tahun. Harian Kompas mencatat, warga Kendeng sudah mengalami kekerasan sistemik sejak tahun 2006.

Pada November 2015, warga dari sejumlah desa yang tergabung dalam Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK). Mereka menggelar aksi berjalan kaki sejauh 122 kilometer dari Sukolilo, Kabupaten Pati menuju Kota Semarang, Jawa Tengah.

Aksi berjalan kaki yang ditempuh selama dua hari itu dimaknai sebagai wujud perjuangan mencari keadilan saat menghadiri sidang putusan dalam gugatan atas izin pertambangan PT Sahabat Mulia Sakti, anak perusahaan PT Indocement.

Di tahun yang sama mereka juga pernah melakukan aksi membunyikan lesung sebagai tanda "bahaya" di depan Istana Kepresidenan. Tujuan mereka adalah agar bisa berdialog dengan Presiden Jokowi.

Kemudian pada Selasa (12/4/2016), sembilan petani perempuan yang kerap disebut "Kartini Pegunungan Kendeng", mendatangi Jalan Medan Merdeka Barat, seberang Istana Negara.

Mereka mengecor kaki mereka dengan semen sebagai bentuk protes terhadap pendirian pabrik semen PT Semen Indonesia di Rembang. "Sembilan Kartini Pegunungan Kendeng" tersebut merupakan para petani yang berasal dari Rembang, Pati, Blora, dan Grobogan.

Secercah harapan sempat muncul ketika Presiden Joko Widodo mengundang sembilan Kartini Kendeng untuk berdialog di Istana Negara, Selasa (2/8/2016).
Dari pertemuan itu, pemerintah berjanji akan melakukan kajian lingkungan hidup strategis (KLHS) di Pegunungan Kendeng.

Selama kajian dilakukan, pabrik semen dilarang untuk beroperasi. Kajian dilakukan di bawah koordinasi Kepala Staf Kepresidenan dengan melibatkan berbagai instansi, mulai dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian ESDM, hingga pemerintah daerah setempat.

Namun, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo justru mengeluarkan izin baru untuk PT Semen Indonesia di wilayah Pegunungan Kendeng bernomor 660.1/6 Tahun 2017 tertanggal 23 Februari 2017.

Terbitnya izin lingkungan baru membuat Petani Kendeng kembali melakukan aksi mengecor kaki pada Senin (13/3/2017) hingga Senin (20/3/2017). Jumlahnya pun bertambah mencapai 50 orang. Sayangnya, sampai aksi itu berujung pada wafatnya Patmi, tuntutan para petani Kendeng belum terpenuhi.

Saya jadi teringat kalimat yang sering diungkapkan oleh dosen perempuan sebuah universitas di Salatiga. Kata dia,"respect existence or expect resistance."

Mempertahankan Tanah Air

Gunretno dari komunitas adat Sedulur Sikep yang mendiami kawasan Kendeng utara menuturkan, aksi protes yang dilakukan oleh petani Kendeng tidak semata bertujuan untuk mempertahankan hak hidup petani yang ada di Kabupaten Rembang saja, melainkan demi kelestarian alam di Jawa Tengah.

Aktivitas penambangan di kawasan karst, kata Gunretno, memiliki dampak yang merusak bagi keberadaan sumber air di bawah Pegunungan Kendeng. Sementara, sudah puluhan tahun para petani di Rembang, Pati, Blora, dan Grobogan bergantung pada sumber air dari Pegunungan Kendeng.

"Jawa Tengah seharusnya menjadi lumbung pangan karena daya tampung pulau Jawa itu tidak lagi mendukung untuk kegiatan eksploitasi seperti pabrik semen," ujar Gunretno dalam sebuah diskusi di kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Menteng, Jakarta Pusat, Minggu (19/3/2017).

Dalam wawancara dengan jurnalis senior Harian Kompas Maria Hartiningsih pada Agustus 2014, Gunretno mengatakan, menolak tambang dan pembangunan pabrik semen di wilayah di Pegunungan Kendeng Utara adalah perjuangan mempertahankan Tanah Air, yang artinya menjaga tanah dan air, demi kehidupan.

Perjuangan itu juga bisa dibaca sebagai upaya merebut kembali otoritas diri (dan komunitas), beserta seluruh definisinya. Komunitas Sedulur Sikep tidak silau oleh iming-iming ”kemakmuran dan kesejahteraan” dari pemodal.

Bagi mereka, kemakmuran dan kesejahteraan tidak dihitung dari nilai materi, seperti pangkat, derajat, uang, kuasa, tetapi seger-waras dan kemandirian sebagai petani.

Artinya, faktor produksi yang mendukung pertanian, terutama air, tanah, dan manusianya, harus dijaga dan dirawat. Merunut sejarah, perjuangan komunitas itu selalu terkait dengan kedaulatan hidup.

Kawasan yang Dilindungi

Peneliti kawasan karst dari Masyarakat Speleologi Indonesia, Rodhial Falah, menyatakan bahwa kawasan yang menjadi lokasi berdirinya Pabrik PT. Semen Indonesia di Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, merupakan kawasan perbukitan batu kapur yang dikenal sebagai Gunung Watuputih.

Kawasan ini secara hukum telah ditetapkan sebagai Kawasan Lindung Geologi melalui Peraturan Daerah (Perda) Tata Ruang Kabupaten Rembang Nomor 14 tahun 2011. Selain itu, berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 26 tahun 2011, Gunung Watuputih ditetapkan sebagai salah satu Cekungan Air Tanah (CAT) yang harus dilindungi.

"Kawasan yang diincar adalah kawasan perbukitan batu kapur yang dikenal masyarakat setempat sebagai Gunung Watuputih. Ironisnya, kawasan ini secara hukum telah ditetapkan sebagai Kawasan Lindung Geologi," ujar Rodhial.

Rodhial menjelaskan, Gunung Watuputih tersusun oleh batu gamping yang telah mengalami proses karstifikasi, yakni proses pelarutan lebih lanjut oleh air hujan selama ribuan tahun menjadi kawasan karst.

Batu gamping yang telah berproses menjadi kawasan karst memiliki fungsi sebagai kawasan resapan air dan akuifer atau penyimpan air. Air hujan yang turun ke wilayah tersebut akan lebih banyak terserap oleh batu gamping daripada menjadi aliran permukaan.

Wilayah yang akan dijadikan lokasi penambangan semen oleh PT. Semen Indonesia di Rembang mampu menyerap air hujan sebesar 40-80 persen. Persentase itu, kata Rodhial, merupakan indikasi bahwa proses karstifikasi kawasan tersebut bernilai sedang-tinggi.

Sebagai kawasan resapan air, lokasi penambangan semen di Gunung Watuputih memberikan kontribusi yang signifikan bagi dua mata air, yaitu mata air Brubulan dan mata air Sumber Semen.

Dalam dokumen AMDAL PT. Semen Indonesia yang dipaparkan oleh Rodhial, lokasi izin usaha penambangan (IUP) merupakan 40 persen dari tangkapan mata air Brubulan.

Sementara itu, rencana penambangan batu gamping yang akan dilakukan hingga kedalaman 270-350 meter dapat dipastikan menghilangkan lapisan epikarst yang merupakan simpanan air terbesar di kawasan karst.

Hasil uji bahan perunut (water tracing) yang dilepaskan di lokasi calon tambang batu gamping menunjukkan ada keterkaitan sistem hidrologi mata Brubulan dengan lokasi tambang yang berjarak empat kilometer.

"Jika daerah tangkapan 40 persen itu dikupas dan dipotong, tentu hal ini akan mempengaruhi debit mata air Brubulan yang merupakan mata air vital bagi masyarakat untuk mandi, mencuci dan irigasi," ucap Rodhial.