Wednesday, March 19, 2014

Anita Roddick, Sang Kuda Troya

If you think you’re too small to have an impact, try going to bed with a mosquito.”
Anda pengguna iPhone dan iPad, pasti mengenal siapa itu Steve jobs. Anda pengguna produk-produk brilian Microsoft, pasti mengenal siapa itu Bill Gates, dan anda yang menghabiskan waktu berjam-jam tiap harinya untuk berjejaring sosial pasti mengenal siapa itu Mark Zuckerberg. Tapi apakah anda, khususnya perempuan, yang setiap hari menikmati sensasi menggunakan produk kecantikan Body Shop, juga mengenal siapa itu Anita Roddick?
Anita Roddick adalah orang yang pertama kali mendirikan The Body Shop. Ia lahir 23 Oktober 1942 dengan nama asli Anita Lucia Perilli, di Littlehampton, sebuah kota kecil di negara Inggris. Kendati lahir di Inggris, Anita merupakan keturunan Italia. Ayah ibunya memutuskan merantau ke Inggris sesaaat sebelum Perang Dunia II berkecamuk.
Setelah menyelesaikan masa studi SMA-nya, Anita mendaftar sebagai salah satu mahasiswi di Bath Spa Univesity, dan akhirnya memutuskan untuk menjadi seorang guru. Suatu hari, Ia mendapat kesempatan untuk belajar di Kibbutz, Israel. Dan beruntungnya dari profesi sebagai seorang guru, ia bisa bekerja sekaligus berpergian ke seluruh dunia. Kembali ke Inggris, ia menikah dengan Gordon Roddick pada tahun 1970. Mereka berdua memulai usaha restoran dan sebuah hotel di Littlehampton.
Anita Roddick membuka toko Body Shop pertamanya pada tahun 1976 di Brighton, Inggris. Memang saat itu ia terdesak kewajiban untuk memenuhi kebutuhan hidup dirinya dan kedua anaknya. Sementara suaminya harus meninggalkan mereka untuk mewujudkan obsesi pribadinya, melakukan perjalanan mengelilingi benua Amerika. Tanpa pernah belajar berbisnis dan miskin pengalaman, Anita memberanikan diri memulai usahanya tersebut.
Kegemarannya berpetualang ke banyak negara dan menyaksikan berbagai macam kebiasaan kaum perempuan dalam melakukan ritual merawat tubuhnya, telah memberikan inspirasi dalam mendirikan The Body Shop. Tahiti, Australia dan Afrika selatan pernah ia kunjungi, dimana ia banyak melihat berbagai kebiasaan khas perempuan di sana, kemudian memberinya ide menciptakan produk The Body Shop. Bermula dari hanya memiliki satu toko dengan mengeluarkan lima belas produk perawatan tubuh, kemudian berkembang menjadi 2.045 cabang dengan sekitar 300 produk yang telah dibuat, dan melayani 77 juta pelanggan di hampir seluruh dunia. Mencatatkan dirinya dalam sejarah sebagai salah satu pengusaha perempuan terkaya di Inggris.
Lalu pasti anda bertanya apa yang membuat dirinya begitu spesial? Selain seorang pengusaha, Anita Roddick juga adalah seorang aktivis kemanusiaan.
Pada tahun 1990, Anita Roddick mendirikan Children On The Edge (COTE), sebuah lembaga sosial yang mengurusi anak-anak yatim piatu. Roddick juga aktif dalam berbagai gerakan-gerakan sosial terkait isu hak asasi manusia dan masalah lingkungan. Setelah ia tidak lagi menjabat sebagai co-chairman The Body Shop, ia semakin sering terlibat dalam kampanye-kampanye kemanusiaan. Ia tidak ragu menyumbang 1,8 juta dollar US kepada Amnesty International, sebuah NGO yang gigih memperjuangkan penegakan HAM di seluruh dunia.
Pada September 2001, ia pernah bergabung dengan Greenpeace dan ratusan aktivis lingkungan lainnya, melakukan kampanye memprotes Exxon-Mobil, perusahaan minyak dan gas terbesar di Eropa yang secara langsung ikut andil dalam mempercepat proses pemanasan global di dunia.
Tidak heran jika sikap idealisnya ini menular ke seluruh karyawannya di The Body Shop. The Body Shop mengklaim bahwa merekalah perusahaan kosmetik pertama di Inggris yang menolak melakukan uji coba terhadap hewan dan mempraktekan sistem fair-trade dengan negara-negara berkembang, dengan tujuan menciptakan iklim usaha dan kondisi perekonomian yang lebih baik di negara tersebut.
Sebagai seorang pengusaha, ia percaya bahwa bisnis yang ia jalankan ini mampu memberikan sesuatu yang baik bagi banyak orang. Anita pernah mengatakan bahwa ia mendedikasikan bisnisnya, The Body Shop, sebagai upaya dirinya dalam membantu mewujudkan kesejahteraan sosial dan pelestarian lingkungan hidup. “We use our stores and our products to help communicate human rights and environmental issues,” tulisnya dalam sebuah artikel.
Rasa kepeduliannya yang tinggi membuat The Body Shop dikenal memiliki reputasi dalam memberikan dukungan dan perhatian terhadap permasalahan sosial yang ada. The Body Shop tumbuh sebagai perusahaan kosmetik yang mengajarkan etika dalam mengkonsumsi kepada setiap pelanggan yang membeli produknya. we reused everything, we refilled everything and we recycled all we could, dari prinsip inilah mereka menjadi sebuah korporasi yang mendunia.
Seorang Anita Roddick percaya, bahwa seorang entrepreneur yang sukses adalah orang yang siap untuk tenggelam dalam kesendirian, berjiwa petualang, dan “pembuat onar”. Sukses bagi dirinya merupakan hal yang sangat sederhana. Tinggal bagaimana kita sanggup memiliki pikiran yang terbuka, menempatkan diri kita dengan lingkungan yang juga terbuka, sehingga mampu menerima ide-ide gila yang kita cetuskan dan merealisasikannya untuk tujuan yang baik. 
 “Menjadi seorang entrepreneur harus memiliki rasa antusias yang besar terhadap apa yang diinginkannya. Menjadi seorang entrepreneur tidak pernah mengukur sebuah kesuksesan dari seberapa banyak kekayaan pribadi yang berhasil ia miliki. Hal itu tidak akan pernah terpikirkan oleh seorang entrepreneur sejati. Saya rasa, bagian terpenting yang harus dimiliki seseorang entrepreneur sejati adalah energi, dan energi tersebut mampu menciptakan rasa antusiasme yang begitu hebat, yang mampu meyakinkan bahwa hidupnya didedikasikan untuk memimpin dan melayani orang lain,” katanya.
Pada Maret 2006, Anita Roddick membuat keputusan yang cukup kontroversial, tepat setahun sebelum ia menghembuskan nafas terakhir karena penyakit otak yang menggerogotinya. Ia menjual seluruh kepemilikan saham The Body Shop kepada L’Oréal sebesar 652 juta poundsterling. Hal ini menimbulkan tanda tanya besar dan menyulut berbagai protes, karena perusahaan kosmetik asal Prancis itu terlibat dalam isu animal testing dan salah satu anak perusahaannya tidak mempraktekkan fair trade, jelas bertentangan dengan apa yang selama ini diperjuangkan oleh Anita Roddick.
Ketika diwawancarai oleh The Guardian mengenai alasan penjualan tersebut, Anita menjelaskan bahwa dengan menjual The Body Shop ke sebuah perusahaan besar, ia berharap akan mampu memberikan pengaruh positif terhadap berbagai keputusan yang akan dibuat oleh perusahaan tersebut. Dengan terjualnya The Body Shop, tidak lantas membuat Anita kehilangan pengaruh. Sedikit banyak ia masih diminta pertimbangan dan pandangannya terhadap setiap keputusan yang dibuat oleh L’Oréal.  Dia menganggap dirinya sebagai “Kuda Troya”. 
Memang perubahan yang baik itu tidak serta merta terjadi dalam waktu yang sekejap. Butuh effort yang disertai dengan komitmen dan konsistensi, seperti apa yang dilakukan oleh Anita Roddick. Bagi dirinya sekecil apapun diri anda di dunia ini, pasti bisa memiliki sebuah dampak yang besar bagi dunia ini jika anda benar-benar melakukannya dari hati, dan mampu menularkan ide-ide anda kepada orang lain. Dia sampai rela menjual apa yang ia rintis selama bertahun-tahun. Seperti Kuda Troya, ia menyusup ke daerah musuh, lalu “menghancurkannya” dari dalam. Anita pernah berkata seperti ini dalam sebuah wawancara, “If you think you’re too small to have an impact, try going to bed with a mosquito.”
(Artikel ini dimuat dalam rubrik Aikon majalah VOICE+ Vol 03 edisi Oktober 2012)

Debur Gelisah Erwin Arnada di Penjara

Menulis dari balik sel penjara bukan perkara mudah. Namun tuntutan untuk menyampaikan pesan mendorong Erwin Arnada menafikan semua kendala.


Jika disuruh menulis atau membuat film tentang Bali, mungkin saya akan “memotret” tentang keeksotisan alam dan masyarakatnya. Budaya yang kental dan senyum ceria penduduk lokalnya pasti akan menjadi magnet yang selalu menarik setiap orang untuk mengunjunginya. Untuk merasakan kegembiraan yang nyaris tanpa cela.
Namun tidak dengan Erwin Arnada. Dia meruntuhkan semua khayalan kita atas “kesempurnaan” pulau Dewata tersebut. Bali memang indah, tapi di dalamnya ternyata menyimpan berbagai cerita-cerita yang belum pernah diangkat sebelumnya. Bali juga memiliki kemuramannya sendiri. Erwin dengan jeli melihat hal itu, lalu ia tumpahkan ke dalam sebuah novel kemudian membuat filmnya, Rumah Di Seribu Ombak. Erwin menjuluki hasil karyanya tersebut dengan sebutan beautifully sadness.
Banyak orang menyangka kemuraman yang muncul dalam novel dan film tersebut berasal dari pengalaman empiris yang telah ia rasakan. Namun ia menyanggahnya. Kemuraman cerita Rumah Di Seribu Ombak tidak berasal dari rasa dendamnya terhadap apa yang telah ia alami beberapa tahun silam. Kantor majalahnya didemo,dirusak oleh ormas intoleran, ia dianggap melanggar kesusilaan dan akhirnya harus mendekam di dalam penjara selama hampir sembilan bulan sebelum diputus bebas. Ia tidak ingin membalas dendam atau menunjukkan kepada siapa dendam itu dialamatkan. Dia menulis novel dan membuat film berdasarkan rasa kepeduliannya terhadap Bali, terhadap hal-hal yang masih tersembunyi di balik keindahannya.
Sejak tahun 2006 Erwin Arnada menetap di Bali, sejak itu pula Ia menganggap Bali sebagai tempat yang mampu menerima dirinya dalam berkreasi. “Ya saya jatuh cinta dengan Bali,” ujarnya.  Ia pun tertarik untuk menulis tentang sebuah desa tempat pertama kali ia tinggal, Singaraja. Sebagai desa yang memiliki komunitas Muslim terbesar di Bali, Erwin banyak menyaksikan interaksi kehidupan antar umat beragama yang penuh toleransi. Tentang bagaimana umat Hindu dan Muslim saling menjaga keharmonisan di desanya sendiri. Tidak hanya soal toleransi, ternyata Singaraja pun menyimpan kisah-kisah kelam yang tersembunyi. Tidak banyak yang tahu memang bahwa di Singaraja banyak terjadi kasus pedofilia, dan bagaimana teror bom di Bali tahun 2002 memiliki dampak bagi kehidupan masyarakat di Singaraja.
Pedofilia dan teror bom memang menjadi isu yang sensitif di Bali. Ketika proses menulis cerita Rumah di Seribu Ombak berjalan, Erwin berkali-kali diingatkan oleh Kelian adat agar berhati-hati, terutama untuk masalah bom Bali. Tidak banyak orang Bali yang senang untuk membicarakan peristiwa tersebut, itu menjadi luka lama mereka. Begitu juga dengan persoalan pedofilia. Di Singaraja tidak banyak laporan mengenai hal tersebut. “Ini juga merupakan sebuah peristiwa yang coba mereka sembunyikan. Orang di sana sudah banyak yang tahu kok tentang masalah ini, tapi apakah ada yang diungkap? Tidak ada,” tutur Erwin.
Selama tahun 2008-2009, ia melakukan riset terhadap ketiga isu tersebut; toleransi, pedofilia, dan kasus teror bom Bali. Ia bertemu dengan beberapa LSM dan wartawan untuk menggali lebih banyak informasi. Karakter Wayan Manik yang ia ciptakan pun berdasarkan pada kisah nyata yang ia temui. Sayangnya, setelah riset dan hendak menulis, ia harus mendekam di penjara.
Pengalamannya selama di penjara banyak mempengaruhi jalan ceritan Rumah di Seribu Ombak. Suasana muram dan kelam yang lebih mendominasi cerita ketimbang sisi keceriaan pulau Bali, merupakan pengaruh dari pengalaman empiris yang ia alami sendiri selama di penjara. Rasa frustasi dan tanda tanya besar kenapa ia sampai didzolimi dengan isu agama, dibatasi ruang berekspresinya, hingga dituduh melanggar kesusilaan, ia tumpahkan ke dalam dua tokoh utama dengan latar belakang SARA yang berbeda, Wayan Manik dan Syamihi.
Ia pun mengakui dengan gamblang bahwa kemuraman di novel itu memang terpengaruh dari rasa depresinya selama berada di dalam penjara. “Kenapa persoalan agama itu penting sekali di negeri ini sehingga ada yang memainkan isu agama? Saya mencoba menyuarakan bahwa bisa nggak sih kalau perbedaan agama itu membuat kehidupan menjadi lebih harmonis. Saya pun menambahkan isu-isu kemanusiaan di sini, seperti persoalan anak yang putus sekolah. Masing-masing tokoh itu mewakili pesan-pesan yang berbeda,” ujar sutradara yang mengawali kariernya sebagai jurnalis ini.
Menulis dari balik jeruji memang bukan sesuatu yang menyenangkan. Begitu juga dengan apa yang dialami oleh Erwin Arnada. Jangankan untuk menulis, untuk bertahan dengan kondisi penjara yang begitu menyeramkan saja sudah pasti sangat sulit. Belum lagi dalam menghadapi berbagai tekanan dari luar. Vonis dua tahun penjara, sebelum akhirnya diputus bebas, menjadi sebuah pukulan keras bagi Erwin. Padahal saat itu merupakan masa puncak kariernya. Tidak sedikit proyek pembuatan film dan majalah yang sedang ia kerjakan.
Saat menulis, Erwin harus meminjam komputer yang berada di gedung sekolah bagi narapidana yang ingin mendapatkan ijazah pendidikan melalui Kejar Paket B dan C. Itu pun ia hanya memiliki waktu 10 menit untuk menggunakannya. Di lain waktu, ia diberikan keleluasaan untuk mengunakan komputer yang terletak di perpustakaan gereja. Hak istimewa itu ia dapatkan karena pernah membantu acara natal yang diadakan oleh gereja tersebut.
Setelah keluar dari penjara, Erwin bersikeras untuk tetap menerbitkan novelnya tersebut dan berencana untuk menuangkannya ke dalam sebuah film. Ia merasa perlu untuk menyuarakan apa yang ia lihat dan ia rasakan. “Karena ini bukan persoalan saya saja, apa yang terjadi di Bali itu yang perlu juga saya suarakan, tentang kehidupan anak-anak di sana dan tentang toleransi,” Ujar Erwin. Melalui Rumah Di Seribu Ombak, Erwin Arnada berusaha menggambarkan kegeraman yang ia rasakan, dengan cara yang lebih indah.

(Artikel ini dimuat dalam rubrik Review majalah VOICE+ Vol 03 edisi Oktober 2012)

Sunday, March 16, 2014

Kita Harus Tahu Mimpi Kita












Wawancara dengan Billy Boen
Sukses memimpin perusahaan dalam dan luar negeri, Billy Boen berbagi cerita tentang pengalaman, pandangannya atas Indonesia, dan juga keluarga.
Bagaimana ceritanya hingga anda menulis buku Young On Top?
Suatu saat ada seorang teman yang bilang “Ayo dong Bil, nulis buku”. Malamnya saya tidak bisa tidur, saya berpikir keren juga ya kalau saya bisa menulis buku.
Apa yang ingin anda sampaikan di buku tersebut?
Buku itu saya tulis untuk memuaskan rasa penasaran saya. Kenapa banyak orang bekerja tapi ya kondisinya begitu-begitu saja. Saya sendiri dulu pekerja, jad saya bisa mengamati, bisa merasakan kenapa banyak pekerja yang levelnya sudah tidak bisa naik ke atas lagi.
Kenapa?
Attitude
Jadi boleh dibilang attitude itu kunci kesuksesan?
Sebenarnya jika kita ingin sukses dalam hal karir, pertama kita harus melakukan sesuatu yang sesuai dengan passion kita. Banyak dari kita melakukan sesuatu yang tidak kita sukai dan itulah kenapa banyak orang bilang “i hate monday”. Saya tidak pernah merasakan itu. Dari detik pertama kerja di Nike saya tidak pernah sekali pun mengeluh, karena saya suka brand-nya, suka dengan strateginya. Intinya adalah karena saya melakukan hal yang saya suka. Kedua, kita harus punya mimpi besar. Lebih baik bermimpi tinggi, jika tidak tercapai tetap hasilnya akan lebih tinggi dibandingkan dengan orang yang bermimpi kecil, meskipun tercapai. Nah, ketiga adalah attitude. Kita harus memiliki ketiganya. Kita harus tahu apa mimpi kita, apa passion kita dan kita harus punya attitude yang baik.
Dari yang semula hanya sebuah buku, Young On Top kini berkembang jadi acara radio, TV, dan talk show. Bagaimana bisa begitu?
Ketika Young On Top terbit, saya terima satu email dari seorang anak kurang mampu, tinggal di Medan, dia bilang “Mas Billy saya ini berasal dari keluarga tidak mampu, tidak mampu kuliah dan segala macam, minggu lalu saya menemukan buku mas Billy di toko buku, saya baca, dan saya merasa dunia kembali terbuka buat saya”. Saya menangis saat membaca email itu, karena saya berpikir bahwa saya selama ini memimpin perusahaan, career oriented, memikirkan semua keputusan yang saya berikan dan kemudian tim saya bilang terima kasih, itu sudah hal yang biasa. Nah ini, dari motivasi yang aneh, yang cuma buat keren-kerenan doang, tapi ternyata apa yang saya bagikan itu ternyata bisa mengubah hidup seseorang di luar sana. Meski saya tidak mengenalnya, tapi ia bilang terima kasih. Waktu itu saya menangis, dan di situ menjadi turning point of my life. Yang tadinya saya berpikir harus sukses sendirian, keren, dan mengejar karir. 
Apa yang anda lakukan setelah itu?
Saya ingin lebih banyak berbagi dan berpikir untuk resign. Waktu itu saya masih bekerja di MRA Group dan saya berpikir harus berhenti jika ingin punya waktu lebih banyak untuk berbagi ke berbagai kampus dan tempat-tempat lain. Memang waktu itu saya diijinkan oleh Pak Soetikno Soedarjo (CEO MRA Group) untuk tetap memimpin perusahaan. Saya bilang tidak fair jika saya meminta tim saya bekerja Senin sampai Jumat, sementara saya lebih banyak ke luar kantor. Akhirnya saya pun memutuskan untuk resign agar bisa lebih banyak berbagi.
Apa yang anda rasakan setelah  resign dari kerjaan dan lebih banyak memberikan seminar ke kampus-kampus?
Setelah saya memberikan seminar ke kampus-kampus, muncul pertanyaan dalam benak saya, mereka yang mendengarkan ini akan berubah nggak ya hidupnya? Apakah mereka akan terinspirasi? Mungkin saja setelah keluar ruangan mereka lupa. Ini adalah pertanyaan-pertanyaan yang tak akan bisa saya jawab, karena saya tak kenal mereka. Mereka hanya peserta seminar. Kemudian terbersit dalam benak saya untuk membuat sebuah mentorship program. Berbeda dengan seminar, mentorship program butuh keseriusan dari dua belah pihak, dari mentor maupun dari mentee. Saya bikin selama 1 tahun, saya kasih tugas dan segala macamnya. Kalau mereka malas, akan saya keluarkan dari programmentorship, karena orang tak akan bisa dibantu kalau tak mau dibantu. Semula saya hanya sendirian, tapi saya percaya orang yang mau berbuat baik pasti akan diberikan jalan. Lalu saya bertemu dengan beberapa mentor dari beberapageneral manager dan CEO. Saya minta komitmen mereka menjadi mentor. 
Apa yang anda harapkan dari program mentorship ini?
Outputnya adalah ketika saya nanti sudah berumur 50 tahun, dan anak saya sudah besar, Indonesia sudah lebih baik. Saya benci melihat pemimpin kita sekarang ini, mau di pemerintahannya maupun swasta, banyak yang korupsi, andi hate that. Kalau kita bisa suskses dengan integritas, kenapa nggak?! Yang mau saya tanamkan adalah saya percaya yang di atas kita saat ini, pemimpin-pemimpin senior di atas umur 50 tahun, kita sedang mengalami krisis pemimpin. Kalau nanti pemilu, siapa yang akan memimpin, ya orang-orang lama lagi. Yasorry to say yang dulu-dulu kita tahu juga melakukan korupsi. Saya berpikir kita tidak akan merubah mereka, tapi berapa lama sih mereka akan hidup, nggak mungkin selamanya mereka akan berada di dunia politik. Generasi di atas kita memang berwarna hitam kelam, tapi kalau kita bisa melihat generasi yang sekarang ikut mentorship program, umur 18-22 tahun, anggaplah ada 30 orang yang lulus dari program ini, berarti 10 tahun kemudian ada 300 pemimpin yang benar-benar bersih, ya semoga saja benar-benar bersih. Setidaknya generasi mereka sudah berwarna abu-abu, tidak lagi hitam. Kemudian generasi anak saya, mungkin sudah berwarna putih. Harapannya, saya akan sangat senang jika suatu hari nanti saya bisa melihat Indonesia sudah sangat keren, dengan pemimpin-pemimpin yang memiliki integritas.
Anda masih optimis dengan masa depan Indonesia?
Saya pernah ditanya oleh seorang wartawan, “Apa yang mas Billy harapkan dari kebijakan pemerintah?” Saya bilang kalau usaha saya usaha kecil, tidak perlu kebijakan ekspor-impor, tidak perlu segala macam. Jadi saya tidak pernah mengharapkan apa-apa dari pemerintah. Seperti quote terkenalnya Anies Baswedan, “kita jangan marah-marah terus, tapi kita harus bisa menjadi lilin untuk menjadi penerang”. Dalam buku saya, saya menulis kalau kita tidak usah memusingkan sesuatu yang berada di luar kendali kita. Kita fokus saja dengan apa yang bisa kita lakukan. Terserah orang lain mau korupsi seperti apapun, yang penting kita tidak, dan lingkungan di sekitar kita pun tidak.
Apakah anda punya rencana terjun ke dunia politik?
Hahaha… good question. Ehmm, kalau kata tertarik atau tidak sebenarnya dimulai karena kekesalan ini. Politisi yang kotor dulunya mungkin politisi yang idealis. Mereka berpikir bisa melakukan perubahan. Nah saya pun berpikir masa sih saya tidak bisa ngebenerin kondisi seperti itu, kalau kita kelola dengan cara manajemen perusahaan, profesional, merekrutnya juga dengan baik dan segala macam,nggak ada tititpan-titipan, masa sih nggak bisa. Bukan tertarik masuk ke politiknya, tapi rasa penasaran. Masa sih saya nggak bisa benerin Jakarta, kasarnya begitu. Tapi setelah saya ngobrol dengan banyak orang, sepertinya sangat sulit untuk tetap bersih ketika sudah masuk ke DPR. Misalnya, ada sepuluh orang; saya bersih, sembilan sisanya tidak, ketika voting ya kalah terus. Akhirnya yang bersih akan keluar. Pendek kata saya tidak mau masuk ke dunia politik dan juga istri tidak mengijinkan. Semua temen-temen saya bilang “Bil, kalau lo maju kita bantuin semuanya,” tapi kalau teman-teman mahasiswa bilang “mas jangan pernah masuk ke politik ya”. 
Di Young On Top anda banyak bicara tentang kesuksesan. Apa arti sukses buat anda?
Menurut saya, sukses adalah ketika seseorang itu mampu mencapai apa yang dia inginkan. Jika dia menargetkan sesuatu kemudian dia berhasil mencapai itu ya dia sukses. Nah, orang-orang banyak yang berpikir ketika bicara tentang sukses itu adalah sukses dalam hidup. Saya melihat sukses dari hal yang kecil terlebih dulu. Hari ini anda mau kesini, mau wawancara saya jam 2, datang jam 1, anda sudah sukses, anda sudah berhasil datang on time, malah lebih dulu. Itu sukses. Jadi sukses itu dari hal-hal kecil, kita mau apa lalu kita berhasil mencapainya. Kalau sukes dalam ukuran besarnya, tiap orang memiliki definisi sukses yang berbeda-beda. Seorang anak petani yang datang ke Jakarta dengan level supervisor di pekerjaan mungkin itu sudah sukses buat dirinya. Atau mungkin anak konglomerat, menghasilkan 10 miliar namun dianggap gagal oleh bapaknya, bisa saja kan? Bapaknya mengharapkan dia mendapat 1 triliun, tapi hanya 10 milyar, itu bisa dianggap gagal. Jadi, sukses itu tidak bisa kita lihat ukurannya.
Anda pernah mengatakan, dengan berbagi kita akan meraih sukses. Bisa dijelaskan?
Begini, kamu pasti pernah mendengar peribahasa “apa yang kita bagikan akan kita terima 10 kali lipat, atau 100 kali lipat. Mungkin ada di Kitab Suci. Dulu ketika saya baru lulus kuliah dan bekerja, saya mikir, bagaimana caranya saya menyumbang sepuluh ribu kemudian saya mendapatkan seratus ribu? Tidak masuk akal. That’s why saya tidak menyalahkan anak-anak muda sekarang yang masih berpikir “apa yang bisa gue dapat”. Career orientedI was like that. Saya sendiri dulu seperti itu dan tidak ada salahnya. Cuma karena saya sekarang dekat dengan teman-teman mahasiswa, saya mencoba menyadarkan hal itu. Contoh konkretnya, saya menulis buku, ini menjadi satu bukti saya membagikan. Saya tidak berharap bisa kaya raya dari menulis buku. Bagaimana bisa kaya raya dengan menulis dan menjual buku di Indonesia? Tapi dari ilmu yang saya bagikan melalui buku tersebut apa yang bisa saya dapatkan? Bukan sepuluh kali lipat lagi. Akhirnya, bagaimana seorang Billy Boen yang bukan siapa-siapa bisa bermitra bisnis, bisa akrab dengan seorang Andy F.Noya. Bagaimana saya, selama dua setengah tahun terakhir bisa bertemu dengan sekitar 125 CEO, GM, direktur, selebritis, atlet, setiap minggunya di acara radio Young On Top. Bagaimana caranya saya bisa punya program acara televisi sendiri kalau saya tidak punya buku yang bisa saya bagikan, yang saya tulis. Itu kan ibarat saya berbagi hanya sedikit, tapi yang saya dapatkan bisa sebanyak itu. Saya bisa kenal ratusan mahasiswa. Mungkin yang saya bagikan itu hanya 1:10 juta, tapi yang saya dapatkan bisa sebanyak itu. Jadi kalau kita memiliki sesuatu, jangan pernah disimpan sendiri, jangan pernah pelit. Menyumbang itu tidak hanya soal uang, tapi juga soal pikiran, ide, waktu, dan tenaga. 
Kita sudah bicara tentang kesuksesan. Bagaimana dengan soal kegagalan?
Menarik. Saya punya konsep yang sedikit berbeda mengenai kegagalan. Orang biasanya melihat berhasil atau gagal itu dari besaran, saya melihatnya dari kecilan. Tadi kan saya kasih contoh, ketika kamu ke sini bisa on time, berarti kan berhasil, kalau kamu ke sini tidak on time berarti kamu gagal. Nah, banyak orang kan tidak menganggap itu gagal, “ah gue cuma telat 2 menit, cuma 10 detik”. Buat saya, telat 10 detik kalau orangnya sudah menunggu, saya akan merasa gagal. Nah itu yang membedakan. Ketika saya tidak on time, itu saya sadari sebagai sebuah kegagalan, besok saya bisa perbaiki lagi. Kalau ada orang yang tidak menyadari bahwa itu suatu kegagalan, secara psikologis dia tidak akan berusaha memperbaiki. Dia hari ini telat 5 menit, besok lagi telat, besoknya telat lagi, akhirnya tidak ontime itu menjadi sebuah kebiasaaan. Saya banyak mengalami kegagalan kecil dan semuanya itu saya pelajari terus menerus. Kalau saya terus melakukan kegagalan kecil namun segera saya perbaiki, sepertinya kegagalan kecil itu tidak akan mungkin menjadi fatal. Jadi kita harus memperbaiki semua kesalahan kecil, jangan menganggap kegagalan kecil itu bukan kegagalan. Kegagalan kecil itu ya kegagalan yang harus diperbaiki.
Anda bertransformasi dari karyawan menjadi pengusaha. Apakah sudah pernah terpikirkan sebelumnya?
Tidak. Kedua orang tua saya dulu adalah pegawai kantoran. ayah saya bukan pengusaha, ibu saya belakangan memang jadi pengusaha, tapi kita tidak pernah diskusi bisnis di rumah. Jaman dulu ngomongnya masih “kamu kuliah yang bener, balik, cari kerja yang baik”, seperti itulah. Tidak pernah terpikir untuk menjadi seorang pengusaha. Sampai suatu hari ada satu buku yang mempengaruhi saya untuk melirik dunia usaha.  Buku itu adalah Rich Dad Poor Dad karya Robert Kiyosaki. Dari situ saya kepikiran “enak juga ya jadi pengusaha itu”. Kalau kita menjadi bisnis owner, kita punya pekerja, kita punya sistem, saat kita tidur, sedang sakit maupun sedang istirahat, uang akan terus masuk.
Dalam bisnis atau hidup, anda punya idola?
Kedua orang tua saya. Cliche memang, tapi mereka punya value yang sangat kuat. Dari kelas 2 SD saya sudah diajari bagaimana caranya memimpin, bagaimana caranya saya hormat ke semua orang, ke bibi (asisten rumah tangga) di rumah, ke supir, ke satpam. Saya diajarkan mengucapkan terima kasih ketika menerima hal sekecil apapun. Jika saya berbuat salah ke siapapun harus minta maaf tanpa rasa malu. Semua itu attitude (sikap). Jadi inspirasi saya adalah kedua orang tua saya. Kalau ibu saya lebih ke sisi lembutnya, ayah saya lebih kepada sikap kepemimpinan.
Banyak orang sukses dalam berkarir, tapi belum tentu sukses dalam berkeluarga. Bagaimana anda bisa menjaga keduanya?
Pertama, i’m lucky enough mempunyai istri yang bener-bener pengertian, menyokong. Semua orang bilang “Bil, lo beruntung punya istri yang support 100% apa yang lo mau”. Bagimana cara menjaga keduanya sebenarnya balik lagi bahwa kesuksesan atau apapun itu harus datang dari kesadaran diri dulu. Penting tidak buat diri kita? Saya sadar bahwa arti sukses itu tidak sekedar menjadi CEO. Kalau saya bisa jadi CEO, jadi suami yang baik, jadi bapak yang baik, bisa jadi orang yang sehat, setiap minggu pergi ke gereja,  punya yayasan atau kegiatan sosial,why not? Itu yang saya sebut a balanced life. Bisnis tidak ada yang mulus-mulus aja, seharian saya harus meeting, memikirkan bagaimana caranya menaikkan penjualan. Tidak mudah memang, but  i enjoy itHappy terus deh yang penting. Percuma man kalau sukses tapi ga happy (tertawa).
(Hasil wawancara ini telah dimuat dalam rubrik Cocktail majalah VOICE+ Vol 03 edisi Oktober 2012)