Wednesday, March 19, 2014

Debur Gelisah Erwin Arnada di Penjara

Menulis dari balik sel penjara bukan perkara mudah. Namun tuntutan untuk menyampaikan pesan mendorong Erwin Arnada menafikan semua kendala.


Jika disuruh menulis atau membuat film tentang Bali, mungkin saya akan “memotret” tentang keeksotisan alam dan masyarakatnya. Budaya yang kental dan senyum ceria penduduk lokalnya pasti akan menjadi magnet yang selalu menarik setiap orang untuk mengunjunginya. Untuk merasakan kegembiraan yang nyaris tanpa cela.
Namun tidak dengan Erwin Arnada. Dia meruntuhkan semua khayalan kita atas “kesempurnaan” pulau Dewata tersebut. Bali memang indah, tapi di dalamnya ternyata menyimpan berbagai cerita-cerita yang belum pernah diangkat sebelumnya. Bali juga memiliki kemuramannya sendiri. Erwin dengan jeli melihat hal itu, lalu ia tumpahkan ke dalam sebuah novel kemudian membuat filmnya, Rumah Di Seribu Ombak. Erwin menjuluki hasil karyanya tersebut dengan sebutan beautifully sadness.
Banyak orang menyangka kemuraman yang muncul dalam novel dan film tersebut berasal dari pengalaman empiris yang telah ia rasakan. Namun ia menyanggahnya. Kemuraman cerita Rumah Di Seribu Ombak tidak berasal dari rasa dendamnya terhadap apa yang telah ia alami beberapa tahun silam. Kantor majalahnya didemo,dirusak oleh ormas intoleran, ia dianggap melanggar kesusilaan dan akhirnya harus mendekam di dalam penjara selama hampir sembilan bulan sebelum diputus bebas. Ia tidak ingin membalas dendam atau menunjukkan kepada siapa dendam itu dialamatkan. Dia menulis novel dan membuat film berdasarkan rasa kepeduliannya terhadap Bali, terhadap hal-hal yang masih tersembunyi di balik keindahannya.
Sejak tahun 2006 Erwin Arnada menetap di Bali, sejak itu pula Ia menganggap Bali sebagai tempat yang mampu menerima dirinya dalam berkreasi. “Ya saya jatuh cinta dengan Bali,” ujarnya.  Ia pun tertarik untuk menulis tentang sebuah desa tempat pertama kali ia tinggal, Singaraja. Sebagai desa yang memiliki komunitas Muslim terbesar di Bali, Erwin banyak menyaksikan interaksi kehidupan antar umat beragama yang penuh toleransi. Tentang bagaimana umat Hindu dan Muslim saling menjaga keharmonisan di desanya sendiri. Tidak hanya soal toleransi, ternyata Singaraja pun menyimpan kisah-kisah kelam yang tersembunyi. Tidak banyak yang tahu memang bahwa di Singaraja banyak terjadi kasus pedofilia, dan bagaimana teror bom di Bali tahun 2002 memiliki dampak bagi kehidupan masyarakat di Singaraja.
Pedofilia dan teror bom memang menjadi isu yang sensitif di Bali. Ketika proses menulis cerita Rumah di Seribu Ombak berjalan, Erwin berkali-kali diingatkan oleh Kelian adat agar berhati-hati, terutama untuk masalah bom Bali. Tidak banyak orang Bali yang senang untuk membicarakan peristiwa tersebut, itu menjadi luka lama mereka. Begitu juga dengan persoalan pedofilia. Di Singaraja tidak banyak laporan mengenai hal tersebut. “Ini juga merupakan sebuah peristiwa yang coba mereka sembunyikan. Orang di sana sudah banyak yang tahu kok tentang masalah ini, tapi apakah ada yang diungkap? Tidak ada,” tutur Erwin.
Selama tahun 2008-2009, ia melakukan riset terhadap ketiga isu tersebut; toleransi, pedofilia, dan kasus teror bom Bali. Ia bertemu dengan beberapa LSM dan wartawan untuk menggali lebih banyak informasi. Karakter Wayan Manik yang ia ciptakan pun berdasarkan pada kisah nyata yang ia temui. Sayangnya, setelah riset dan hendak menulis, ia harus mendekam di penjara.
Pengalamannya selama di penjara banyak mempengaruhi jalan ceritan Rumah di Seribu Ombak. Suasana muram dan kelam yang lebih mendominasi cerita ketimbang sisi keceriaan pulau Bali, merupakan pengaruh dari pengalaman empiris yang ia alami sendiri selama di penjara. Rasa frustasi dan tanda tanya besar kenapa ia sampai didzolimi dengan isu agama, dibatasi ruang berekspresinya, hingga dituduh melanggar kesusilaan, ia tumpahkan ke dalam dua tokoh utama dengan latar belakang SARA yang berbeda, Wayan Manik dan Syamihi.
Ia pun mengakui dengan gamblang bahwa kemuraman di novel itu memang terpengaruh dari rasa depresinya selama berada di dalam penjara. “Kenapa persoalan agama itu penting sekali di negeri ini sehingga ada yang memainkan isu agama? Saya mencoba menyuarakan bahwa bisa nggak sih kalau perbedaan agama itu membuat kehidupan menjadi lebih harmonis. Saya pun menambahkan isu-isu kemanusiaan di sini, seperti persoalan anak yang putus sekolah. Masing-masing tokoh itu mewakili pesan-pesan yang berbeda,” ujar sutradara yang mengawali kariernya sebagai jurnalis ini.
Menulis dari balik jeruji memang bukan sesuatu yang menyenangkan. Begitu juga dengan apa yang dialami oleh Erwin Arnada. Jangankan untuk menulis, untuk bertahan dengan kondisi penjara yang begitu menyeramkan saja sudah pasti sangat sulit. Belum lagi dalam menghadapi berbagai tekanan dari luar. Vonis dua tahun penjara, sebelum akhirnya diputus bebas, menjadi sebuah pukulan keras bagi Erwin. Padahal saat itu merupakan masa puncak kariernya. Tidak sedikit proyek pembuatan film dan majalah yang sedang ia kerjakan.
Saat menulis, Erwin harus meminjam komputer yang berada di gedung sekolah bagi narapidana yang ingin mendapatkan ijazah pendidikan melalui Kejar Paket B dan C. Itu pun ia hanya memiliki waktu 10 menit untuk menggunakannya. Di lain waktu, ia diberikan keleluasaan untuk mengunakan komputer yang terletak di perpustakaan gereja. Hak istimewa itu ia dapatkan karena pernah membantu acara natal yang diadakan oleh gereja tersebut.
Setelah keluar dari penjara, Erwin bersikeras untuk tetap menerbitkan novelnya tersebut dan berencana untuk menuangkannya ke dalam sebuah film. Ia merasa perlu untuk menyuarakan apa yang ia lihat dan ia rasakan. “Karena ini bukan persoalan saya saja, apa yang terjadi di Bali itu yang perlu juga saya suarakan, tentang kehidupan anak-anak di sana dan tentang toleransi,” Ujar Erwin. Melalui Rumah Di Seribu Ombak, Erwin Arnada berusaha menggambarkan kegeraman yang ia rasakan, dengan cara yang lebih indah.

(Artikel ini dimuat dalam rubrik Review majalah VOICE+ Vol 03 edisi Oktober 2012)

No comments:

Post a Comment