Monday, August 25, 2014

Produsen Gitar Lokal, Berkualitas Global

Selain masalah teknis, kemampuan mengubah pola pikir konsumen turut menentukan keberhasilan  usaha pembuatan gitar merek lokal. Produsen sulit bertahan jika gagal mengatasinya.



Semula kedua tantangan bisnis pembuatan gitar tersebut sama sekali tak diketahui oleh Toien Bernadhie, produsen gitar lokal merek Radix. Ia betul-betul awam. Namun ia memiliki tekad kuat. Hal itu tampak dari keberaniannya mengambil keputusan penting dalam hidupnya, yaitu berhenti bekerja untuk menjadi pengusaha pada tahun 1998. Langkah ‘revolusioner’ itu diambil karena Toein tak pernah bercita-cita menjadi karyawan. Praktis banyak orang-orang dekatnya yang ketar-ketir. Kekhawatiran mereka masuk akal lantaran Toein menanggalkan status karyawan dan memulai bisnis saat Indonesia sedang dilanda krisis ekonomi. Dan di depan mata, saat itu, jumlah perusahaan yang tutup tak bisa dihitung dengan jari.

Toein menepis semua kekhawatiran itu dan bersama seorang temannya melenggang dengan rencana bisnis pembuatan jam dinding dari bahan kayu. Ia optimis bahwa bisnisnya itu akan mendulang untung. Usaha ini sukses, tapi akhirnya hanya menjadi semacam jembatan penghubung dengan bisnis impiannya di kemudian hari. Kini banyak orang mengenal nama Toien sebagai seorang pembuat gitar listrik. Namanya tidak asing lagi di antara gitaris-gitaris Indonesia. Beberapa gitaris terkenal seperti Eet Syahranie, Rama Satria, sampai Lukman ‘Superglad’ telah menggunakan gitar buatannya. Bagaimana bisa?

Semua berawal di tahun 1995. Saat itu Indonesia baru saja mengenal internet. Surfing di dunia maya menjadi salah satu kebiasaan baru. Beruntung, Toein termasuk salah satu orang yang memiliki aterhadap koneksi internet di tempatnya bekerja. Perkenalannya dengan internet membuat ia berpikir untuk mewujudkan obsesi lamanya, membuat gitar.  Obsesi ini tergolong unik karena terus dipupuk meski sejak lulus kuliah pada 1988 Toein tak pernah bermain gitar lagi. Dari internet itu ia  mulai mengumpulkan beberapa brosur dari berbagai merek gitar terkenal, informasi mengenai cara-cara membuat gitar, sampai mencari blueprint-nya. Setelah mendapatkan seluruh informasi yang dibutuhkan, ia mulai belajar membuatnya. Namun, sebelum sempat berhasil membuat sebuah gitar, godaan berupa tawaran usaha datang menghampiri dirinya.

1998, krisis moneter melanda Indonesia. Banyak pengusaha gulung tikar, PHK dimana-mana. Tapi ia membuat keputusan besar dalam hidupnya. Ia berhenti jadi karyawan dan memilih tawaran temannya untuk memulai usaha pembuatan jam dinding yang terbuat dari kayu dengan merek Wellington. Usahanya berjalan lancar. Mereka hanya membutuhkan waktu sekitar satu hingga dua tahun untuk membuat usaha produksinya set up. Setelah dua tahun berjalan, ia mulai merasa jenuh. Tantangan sebagai pembuat jam dinding kayu sudah berkurang. Ia membutuhkan tantangan baru untuk  mengusir rasa jenuhnya. Ingatannya pun tertuju pada pembuatan gitar yang belum kelar beberapa tahun sebelumnya.

Toein pun memutuskan untuk melanjutkan obsesi lamanya dengan membuat gitar. Tak berbeda dengan sebelumnya, kali ini pun ia mengerjakannya sendirian: memilih kayu yang cocok, memotong, mendesain, membeli spare-part, hingga proses setting akhir.   “Gitar itu menarik, akhirnya saya mencoba membuat gitar hanya dengan panduan dari internet. Dulu saya nggak punya contoh fisik gitar saat pertama kali membuat gitar listrik. Saya belajar soal skala, cara menghitung jarak antar fret dan lain-lainnya ya melalui internet,” ungkap pria lulusan fakultas Kehutanan UGM tersebut mengisahkan.

Akhirnya satu gitar berhasil ia buat, namun setelah dihitung, modal yang ia keluarkan untuk membuat satu gitar saja jumlahnya sangat banyak. Biayanya cukup untuk membeli satu buah gitar kelas profesional dari merek terkenal seperti Fender atau Gibson. “Setelah dihitung-hitung, ternyata habisnya banyak, jumlahnya kalau saya belikan gitar baru dan bagus itu bisa. Akhirnya, saya memutuskan untuk dijadikan usaha, siapa tahu duitnya balik, dan harus,” ungkap Toien sambil tertawa.

Selalu Belajar dari Kesalahan

Tahun 2002, ia sudah siap dengan produksi gitar untuk pemula. Tentu saja gitar-gitar yang dibuat pada awal masa produksi belum menggunakan spesifikasi profesional. Meski perlahan, Toein melihat bisnis rintisannya itu berjalan. Saat itu, optimismenya kian meningkat. Alih-alih berharap gitar produksinya dikenal dan diminati oleh para gitaris pemula, Toein justru baru menyadari bahwa dirinya tidak mengetahui seluk beluk dunia bisnis gitar sama sekali. Saat itu ia pun tak mengenal satu orang pun yang bisa membantu menyelami seluk beluk usaha barunya itu. Namun masalah itu tak membuat dirinya kehilangan asa. Sebaliknya, ia merasa terus tertantang.

Pucuk dicinta, ulam pun tiba. Suatu malam ia berbincang dengan seorang kawan lamanya yang berprofesi sebagai jurnalis. Ia bercerita tentang usaha barunya. Siapa sangka, kawan lamanya itu mendukung apa yang sedang dirintis oleh Toien, dan berjanji akan mengenalkan dirinya ke salah satu gitaris dari band besar Indonesia, Mohammad Ridwan Hafiedz, atau lebih dikenal dengan nama Ridho Slank. Dari pertemuannya dengan Ridho, Toien berhasil menjalin sebuah kerjasama. Mereka berdua sepakat untuk memproduksi gitar asli buatan Indonesia. Ridho kemudian mengusulkan nama Marlique sebagai merek dagangnya.

Kerjasama itu berhasil menaikkan level seorang Toien Bernadhie sebagai pebisnis gitar. Ia semakin percaya diri dengan produk gitar yang ia hasilkan bersama Ridho. Gitarnya tak lagi dipandang sebagai gitar kelas pemula. Spesifikasi Marlique besutan Ridho tak diragukan lagi. “Tahun 2003, gitar pertama Marlique yang saya buat berwarna putih dengan motif bunga-bunga, sekarang dipajang di Hard Rock Cafe Bali,” ujarnya dengan bangga. “Setelah saya mampu memasang iklan, Marlique adalah produk alat musik pertama yang menggunakan musisi lokal sebagai ikon dan berani untuk menyebutkan bahwa produk ini adalah made in Indonesia,” lanjutnya.

Sekitar bulan November 2003, Toien memberanikan diri untuk mengikutkan produk gitar buatannya dalam sebuah pameran industri musik terbesar di Indonesia, Jakarta Audiopro Expo (JaPEx). Saat itu adalah kali pertama ia mengikuti sebuah pameran dan menunjukkan profil Marlique kepada para pengunjung. Setelah pameran itu, ia bertekad untuk mengerahkan seluruh energinya dalam menjalankan bisnis pembuatan gitar.  Break out-nya itu kira-kira di bulan November 2003, setelah pameran JaPEx pertama itulah saya tidak bisa mundur lagi, sudah ada dealer yang mau memasarkan produk Marlique,” ujar Toien. Sayang, tahun 2008 kerja sama dengan Ridho tidak bisa diteruskan. Nama Marlique tak lagi dipakai sebagai nama merek. Atas usulan Sony Ismail Robbayani, gitaris dari J-Rocks, Toien mengganti namanya menjadi Radix, diambil dari namanya sendiri.

“Sekarang banyak orang tahu saya adalah seorang pembuat gitar, tapi beberapa tahun lalu, saya tidak tahu cara memasang tremolo. Pernah dulu saya membeli spare part tremolo yang paling sederhana dari Fender, padahal saya tidak tahu cara memasangnya, itu memalukan,”ujarnya sambil terbahak. Konsistensi, saya rasa itu yang dimiliki oleh seorang Toien Bernadhie. Saya membayangkan bagaimana beratnya proses yang ia harus lalui hingga berada di posisinya saat ini. Dulu ketika ia bertekad untuk belajar membuat gitar, ia hanya mengandalkan koneksi internet. Menyerap semua informasi sampai mengaplikasikannya. Mengalami kegagalan? Itu sudah hal yang sudah biasa ia alami. “Ketika saya mulai membuat beberapa sampel gitar dengan teman-teman lama saat nge-band dulu, banyak kesalahan yang terjadi, gitar pertama yang saya buat tidak langsung menjadi gitar sempurna dengan kualitas yang baik. Bahkan saya pernah salah memasang tuas volume di gitar,” tambahnya.  

Tak Takut Bersaing

Menjadi pebisnis gitar di Indonesia bukan menjadi hal mudah untuk dijalankan. Apalagi jika produk yang dihasilkan memiliki label buatan lokal. Konsumen di Indonesia cenderung mempercayai produk-produk buatan luar negeri ketimbang dalam negeri, apalagi jika sudah menyangkut produk-produk elektronik, seperti alat musik. Tidak bisa juga menyalahkan perilaku konsumen yang seperti itu, semenjak “cintailah produk Indonesia” hanya sebatas slogan, tanpa ada usaha untuk meningkatkan mutu kualitas. Kita tidak bisa menutup mata bahwa memang tidak banyak produk-produk buatan Indonesia yang bisa bertahan di pasaran. Bagaimana mau dicintai oleh masyarakatnya sendiri jika tidak mampu bertahan oleh gempuran produk-produk buatan luar negeri.

Challenge terberat untuk di indonesia sendiri itu bagaimana caranya kita menemukan atau mendesain gitar yang authentic tapi masih masuk akal, karena gitar ini sudah ada sejak tahun 50-an. ‘Dewa-dewanya’ itu sudah muncul. Merek seperti Gibson atau Fender itu sudah seperti agama. kalau kita melihat stratocaster, ya seperti itu, kalau misalnya kita ubah bentuknya sedikit aja, orang akan aneh melihatnya. Makanya kita harus bisa menemukan desain yang keluar dari pakem itu. Pilihannya cuma dua kalau kita berhasil keluar dari ‘agama-agama’ itu; jadi bagus atau malah jadi aneh. Itu yang paling menantang buat saya,” tuturnya.

Ia sendiri mengakui banyak hambatan yang ia harus hadapai ketika memulai bisnis gitar di Indonesia. Bukan permasalahan teknis yang menjadi hambatan terberat, tetapi mengubah pola pikir konsumen itu sendiri. Ia mengatakan bahwa konsumen di Indonesia itu masih brand-minded. Tidak bisa disalahkan, karena merek-merek besar seperti Gibson, Fender, PRS, dan lainnya itu memang besar, bukan omong kosong. Mereka besar karena sudah punya reputasi dan lahir di jaman di mana musik-musik itu ditemukan. “Seperti saat kita ngomongin musik blues, kita nggak bisa lupa sama Fender seri Stratocaster. Karena musik Blues itu ya lahir dengan gitar Stratocaster. Saat musik blues ditemukan, Jimi Hendrix memainkannya dengan Stratocaster. Nah, sekarang saya harus bisa membuat gitar dengan karakter suara yang khas di era saat ini,” jelasnya.

Kualitas pembuatan gitar terus ditingkatkan, tapi masih saja banyak orang yang memandang sebelah mata. Jika bukan gitar buatan USA pasti dianggap tidak bagus, walaupun anggapan itu tidak sepenuhnya benar. Toien pernah iseng memperhatikan, sejak ia membuat Marlique tahun 2003, ia mulai menghitung berapa kali gitar buatannya itu dipakai oleh musisi untuk tampil di televisi. Sekitar lima tahun sejak gitar Marlique resmi dijual, baru ia melihat beberapa musisi yang tidak ia kenal menggunakan gitar buatannya.
Strategi bisnis yang diterapkan olehnya bukan menjadi hal baru di bisnis industri alat musik. Brand-brand besar pun telah memakai cara serupa sejak beberapa tahun yang lalu sampai sekarang. Untuk membuat produk gitar Radix mempunyai nilai jual dan mutu yang tinggi, Toien selalu mengeluarkan produknya dengan seri signature atau artist series. Strategi endorsment seperti ini telah banyak digunakan oleh brand-brand besar luar negeri, tetapi tidak banyak diadopsi oleh produsen lokal.

Soal desain dan spesifikasi gitar, Toien selalu bekerja sama dengan gitaris-gitaris ternama Indonesia. Setiap gitaris memiliki preference, karakter, dan pilihan masing-masing soal alat musik yang mereka mainkan. Radix telah mengeluarkan sepuluh jenis gitar hasil kerjasama dengan sepuluh gitaris Indonesia, antara lain Eet Sjahranie dengan Radix GES series-nya, Iwan Sang Gitaris Saint Loco dengan Radix The Saint series, Lukman dari SUPERGLAD dengan Radix Luks series, dan yang baru-baru ini diluncurkan Radix RIG series, hasil kerja sama dengan Rainaldi Ramadhan Item, anak dari musisi jazz Jopie Item.

“Jadi prosesnya begini, jika ada satu gitaris yang saya suka, saya ajak dia bekerjasama untuk membuat satu jenis produk gitar dengan memadukan spesifikasi dari saya dan yang dia tawarkan. Kami melakukan diskusi panjang sampai benar-benar menyepakati satu desain dan spesifikasi gitar yang akan dibuat,” ujar pria kelahiran 9 Juni 1964 itu menjelaskan. Ia mengakui, jika harus bekerja sendiri untuk mendesain sebuah gitar itu tidak mudah. “Saya bukan seorang gitaris profesional yang tahu model gitar itu seharusnya seperti apa. Bukannya saya tidak percaya diri, tapi saya lebih percaya dengan mereka yang lebih intens menggeluti musik daripada saya. jadi dia lebih tahu apa yang dibutuhkan oleh seorang gitaris,” tambahnya.

Harus Ngotot dan Rapi

Tidak hanya bersaing di pasar dalam negeri, gitar Radix pun telah merambah hingga Kanada dan Australia. Belakangan, Toien juga mendistribusikangitar Radix ke pasar Eropa secara lebih serius. Menurutnya menembus pasar Eropa jauh lebih mudah jika dibandingkan dengan pasar Asia, karena kebanyakan orang Asia masih tidak mau membeli produk buatan Asia sendiri, kecuali produk-produk yang dijual dengan harga yang murah. Harga satu gitar Radix di Eropa dijual dengan harga sekitar 1000-1200 Euro atau sekitar 15-17 juta rupiah. Awalnya Toien mengira gitarnya tak akan laku jika dibanderol dengan harga yang begitu tinggi, apalagi Radix adalah merek baru yang belum banyak dikenal di Eropa. Namun distributor yang membantu memasarkan gitar Radix ke Eropa lebih percaya diri. Mereka berhasil meyakinkan Toien bahwa harga setinggi itu masih layak, karena proses finishing gitar Radix masih mengandalkan tangan manusia. Produknya dinilai lebih halus dan sempurna dibanding gitar-gitar pabrikan yang dijual seharga 400-500 USD.

Apa yang membuat Toein begitu percaya diri jika gitar Radix mampu bersaing di pasar internasional? Baginya, siapa pun bisa membuat sebuah gitar dengan kualitas yang baik. Semua jenis gitar, mulai dari yang mahal sampai yang murah, mempunyai teknologi yang tidak jauh berbeda. Indonesia bisa menghasilkan gitar-gitar kelas dunia yang mampu menyaingi merek-merek terkenal buatan Amerika maupun Jepang. Toien melihat Indonesia memiliki sumber daya manusia yang mumpuni untuk ikut bersaing. Baginya, tenaga kerja Indonesia memiliki kemampuan untuk menghasilkan produk lokal dengan kualitas sejajar produk impor. Semuanya itu bisa dicapai jika SDM yang ada melakukannya secara teliti, ngotot, dan rapi.

“Indonesia memiliki orang-orang yang bisa mengerjakan itu semua, dengan bayaran yang masih masuk akal. Kalau kita bicara di Amerika, dengan bayaran setinggi itu, sebenarnya belum tentu bisa menghasilkan sebagus yang kita bayangkan. Yang kita belum bisa sejajar itu hanya reputasi. Untuk mendapatkan reputasi yang baik itu tidak mudah,” ungkapnya. Tetap bangga dengan label made in Indonesia, ia yakin mampu bertahan dan memiliki tempat di pasar dalam negeri maupun luar negeri. 

Konsistensi untuk membangun reputasi menjadi hal terpenting baginya selama menjalankan bisnisnya. Ia mengungkapkan bahwa targetnya saat ini bukanlah bagaimana menghasilkan uang sebanyak-banyaknya dari penjualan, tetapi yang tersulit adalah menjaga konsistensi agar banyak orang melihat gitar buatannya, buatan asli Indonesia, memiliki reputasi kelas dunia dan tidak lagi dipandang sebelah mata. “Reputasi itu tidak dibangun secara instan, butuh jangka waktu tertentu untuk menciptakannya. Saya percaya jika reputasi itu dibangun pasti juga nantinya akan menghasilkan kok. Dulu ketika pertama kali memproduksi 50 buah gitar, hanya dua yang terjual, sisanya reject, itu resiko, tapi tetap saya tidak menyerah,” tambahnya.

Sebelum gitar Radix terlahir, sudah banyak gitar dibuat dari tangan-tangan orang Indonesia, dengan atau tanpa nama merek Indonesia. Namun mereka enggan untuk mengaku sebagai produk Indonesia. Mereka takut akan kalah bersaing dengan merek-merek besar yang memang sudah sejak lama menguasai pasar dalam negeri. Mereka takut produk lokal buatannya tidak akan dilirik oleh konsumen Indonesia yang memang masih brand minded. Toien Bernadhie ingin mendobrak pola pikir seperti itu. Ia ingin memperlihatkan kalau orang Indonesia mampu dan seharusnya memiliki kebanggaan atas apa yang telah mereka lakukan. Ketika ditanya kenapa ia berani melakukan itu? Dengan penuh keyakinan ia menjawab, “Saya yakin, gitar buatan Indonesia itu laku, banyak disukai, dan saat ini saya melihat mulai banyak produsen-produsen gitar lokal yang mulai berani muncul ke permukaan. Tapi tetap kita tidak boleh kekurangan ide. Itu yang utama, Pungkas Toien, penuh semangat.


*Artikel ini telah dimuat dalam rubrik Special Report majalah VOICE+ Vol 5edisi Desember 2012

Sunday, August 17, 2014

Berpikir Bebas, Menjelajah Tapal Batas

Sebagai penikmat film, saya mungkin akan sangat berterima kasih kepada dua orang yang pernah ‘menyelamatkan’ muka perfilman Indonesia. Beruntung Indonesia masih memiliki insan kreatif seperti Mira Lesmana dan Riri Riza. 

Tahun 2000, sebuah film drama musikal berjudul Petualangan Sherina sukses membuka jalan bagi kebangkitan industri film Indonesia, disusul film remaja yang cukup fenomenal Ada Apa Dengan Cinta?. Kemudian pada tahun 2008 dan 2009, berturut-turut memproduksi film box office nasinal, Laskar Pelangi dan Sang Pemimpi. 

Setelah hampir beberapa tahun tidak terdengar namanya, duet sineas muda itu kembali mendobrak perfilman Indonesia dengan menyuguhkan sesuatu yang berbeda. Merekam sepenggal cerita kehidupan di timur Indonesia yang kerap terlupakan.


Saya pernah membaca satu artikel dari sebuah situs berita ternama Amerika Serikat. Saya tertarik untuk membacanya karena artikel itu mengangkat sebuah film dari Indonesia. “It was the kiss. Lips to lips. Not a deep hollywood smooch, but not a light brush either,” tulis Jane Perlez mengawali artikelnya. 

Artikel yang ditulis tahun 2002 oleh seorang Jurnalis The New York Times itu bicara tentang sebuah film Indonesia yang sangat sensasional, Ada Apa Dengan Cinta?.  
An attractive 16 years old Indonesian girl and her handsome boyfriend kissing on screen in the Indonesian-made movie “Ada Apa Dengan Cinta?” helped create the box office sensation in this predominantly Muslim Country,” tulisnya di paragraf ke dua. Film itu memang sensasional, ditonton lebih dari dua juta penonton bioskop, membuatnya tercatat sebagai film yang berhasil mengajak penonton muda Indonesia kembali berkunjung ke bioskop.

Tidak hanya film yang bertemakan soal cinta, tema politik pun tidak luput dari ide kreatif mereka. Seperti kita lihat sekarang, tidak banyak sineas-sineas muda di Indonesia yang melahirkan film dengan menggunakan latar belakang politik di Indonesia. Isu politik Indonesia menjadi sebuah hal yang sangat sensitif untuk dibahas. Tidak terkecuali persoalan lepasnya Timor Leste dari bagian republik ini. Film berbau politik pasti mengalami proses sensor yang lebih ketat. Pemotongan adegan atau bahkan dilarang tayang menjadi sebuah resiko yang mau tidak mau harus diterima dengan lapang dada. 

Inilah yang membuat banyak masyarakat perfilman enggan membuat film semacam itu, selain karena film dengan bumbu persoalan politik memiliki kemungkinan tidak laku lebih besar ketimbang film-film bertemakan cinta dan misteri. Mungkin karena mayoritas penonton di Indonesia tidak terlalu menyukai film yang sulit dicerna.

Lain cerita jika isu politik jatuh ke tangan seorang Riri Riza dan Mira Lesmana. Isu semacam itu mampu mereka suguhkan dalam sebuah film yang cukup menghibur dan mudah dicerna. Dengan kemampuan bertutur dan bercerita yang lugas, Riri sering tampil brilian melalui film-film garapannya. Mungkin kita masih ingat film GIE yang pernah ia buat dan diproduseri oleh Mira Lesmana. Film dengan latar belakang politik Indonesia tahun 1966 itu mampu menarik generasi muda untuk mengenal sosok Soe Hok Gie. Baginya, cara yang paling unik dan metode kreatif yang baik untuk bercerita itu seperti membuat film dokumenter. Diawali dengan pengenalan karakter dari ketiga tokoh yang ingin diceritakan, kemudian menulis skenario dan kemudian mefilmkannya.

Setelah tiga tahun absen mempoduksi film layar lebar, mereka kembali menghadirkan sebuah karya dengan latar belakang sejarah politik Indonesia, yang mungkin bagi sebagian orang masih sangat sensitif untuk diangkat kembali ke permukaan.

Merekam Yang Terlupakan
Pertengahan Juli 2011, Riri Riza dan Mira Lesmana, bersama tim kecil yang mereka bentuk sedang menyelesaikan proses syuting sebuah film dokumenter di kota perbatasan Atambua, Kabupaten Belu, Pulau Timor. Atambua merupakan sebuah kota perbatasan antara negara Indonesia dengan Timor Leste, dimana pernah terjadi eksodus besar-besaran sekitar tahun 1999-2002. Pasca masa referendum 1999, kota ini menjadi tujuan pengungsian masyarakat Timor Leste yang memilih untuk tetap menjadi warga negara Indonesia.

Saat itu adalah kali pertama mereka berdua menjejakan kaki di Pulau Timor, namun apa yang mereka saksikan di sana meninggalkan kesan mendalam. Mereka menyaksikan pemandangan alam yang menakjubkan, perbukitan hijau, perkampungan tradisional, dan merasakan keramahan masyarakatnya, dibalik kemiskinan dan beragam cerita pahit yang menghiasai latar belakang masyarakatnya. Kesan yang tak pernah mereka dapatkan selama bertahun-tahun tinggal di Ibukota.

Kisah-kisah kehidupan di sana melekat di hati saya. Alamnya yang keras namun juga indah, kemiskinan, keterpisahan keluarga, suara tawa anak-anak Timor yang sedang bermain bola, semua menyiratkan harapan untuk hidup yang lebih baik,” ungkap Mira. Ia telah jatuh cinta dengan Atambua, dengan berbagai kompleksitas yang ada di dalamnya. Bagi dirinya, Atambua menyimpan banyak kisah-kisah menarik, entah itu menyenangkan ataupun menyedihkan, yang layak untuk diceritakan.

Suatu sore, Mira mengutarakan sebuah ide kepada dua orang dari tim kecil-nya saat pembuatan film dokumenter itu. Seorang line producer Toto Prasetyanto dan asisten sutradara Rivano Setyo Utomo. Ide untuk membuat sebuah film layar lebar yang mengangkat sepenggal kisah tentang Atambua. " Apakah mungkin jika kita membuat sebuah produksi yang biayanya tidak terlalu besar, dengan kru yang kecil tetapi bisa menjadikannya sebagai sebuah film layar lebar yang utuh?” tanya Mira.

Ide ini disambut dengan antusias, terutama oleh Riri Riza. Riri sang sutradara menyanggupi untuk menggarap naskah ceritanya, walaupun sejak film ELIANA, ELIANA dan GIE ia tidak pernah lagi menulis naskah film sendiri. Selama berada di Atambua, Riri telah menggali banyak cerita dari riset yang ia lakukan ketika mengerjakan proyek film dokumenter tentang kondisi pendidikan di Nusa Tenggara Timur, bekerjasama dengan salah satu lembaga PBB. Hampir selama satu bulan Ia mengamati, berinteraksi, dan berbincang dengan masyarakat sekitar guna menciptakan sebuah alur cerita. Setelah hampir tiga bulan, ia akhirnya berhasil menyelesaikan proses penulisan naskahnya, yang ia beri judul Atambua 39 Derajat Celcius.

Film Atambua 39 Derajat Celcius menceritakan kisah kehidupan Joao dan ayahnya Ronaldo, yang terpaksa mengungsi dari Timor Leste ke kota Atambua pasca masa referendum tahun 1999, sementara istri Ronaldo dan dua putrinya memilih untuk tinggal di Liquica, Timor Leste. Joao yang tengah beranjak dewasa sulit berkomunikasi dengan ayahnya yang pemabuk, dan sangat merindukan kehangatan Sang Ibu. Sementara itu pertemuannya dengan seorang gadis bernama Nikia yang kembali ke Atambua untuk menyelesaikan makam kakeknya, menggugah perhatian Joao.  

Film berdurasi 90 menit ini menjadi film Indonesia pertama yang menggunakan bahasa Tetum, bahasa asli orang Timor. Semua aktor dan aktris yang berperan pun berasal dari Timor, Nusa Tenggara Timur. Riri Riza sengaja tidak menggunakan aktor atau aktris yang berwajah familiar. Ia ingin  mengajak penonton masuk ke dalam pengalaman yang baru dan membawa mereka ke dalam suasana yang lebih otentik secara geografis maupun antropologis saat menonton film hasil arahannya itu.

Sebuah Paradoks
Riri berharap film terbarunya ini mampu menjadi sebuah media, bagi siapapun yang menontonnya, untuk melihat kehidupan hari ini dengan berbagai dimensi masalahnya. Menjadi sebuah perenungan tentang apa yang harus dilakukan untuk membuat semuanya lebih baik. Ia merasakan sendiri bagaimana masyarakat Indonesia banyak mengalami perubahan ke arah yang lebih demokratis setelah runtuhnya pemerintahan Orde Baru. Satu yang paling kuat ia rasakan adalah terpisahnya Timor Timur dari Indonesia. Dengan jeli ia melihat bagaimana peristiwa itu melahirkan banyak kisah-kisah kecil. Kisah tentang keterpisahan, kemiskinan, dan ketidakadilan.

Tadinya saya sama sekali tidak tertarik untuk bicara tentang persoalan politik. Atambua adalah kota yang mengalami perubahan cukup signifikan sejak terjadinya referendum, kemudian terpisahnya Timor Leste dari Indonesia di tahun 1999. Cerita-cerita yang saya dengar itu menjadi inspirasi. Saya ingin membuat sebuah film tentang masyarakat Timor hari ini. Bukan film dokumenter, tapi film drama,” ujar Riri.

Ia melihat ketimpangan yang sangat kompleks. Kota-kota besar seperti Jakarta mengalami pembangunan, perkembangan, dan stabilitas ekonomi, sedangkan di wilayah-wilayah yang jauh dari kekuasaan seperti di daerah timur Indonesia masih dihantui dengan persoalan kemiskinan, keterbelakangan, kesulitan akses terhadap pendidikan dan juga masalah kesehatan. Pengalamannya inilah yang menginspirasi dirinya untuk melahirkan cerita Atambua 39 Derajat Celcius, yang ia sebut sebagai sebuah paradoks.

“Salah satu hal yang tidak saya bayangkan sebelumnya mengenai kota Atambua adalah betapa besar dan dalamnya dampak dari peristiwa politik di tahun 1999 itu pada masyarakat di sana. Saya bisa merasakan bahwa banyak sekali orang yang mungkin kebingungan dengan status identitas dan status geografi politiknya. Dan itu adalah sesuatu yang selalu menarik minat saya. Banyak cerita tentang keluarga, percintaan, hubungan persahabatan, yang mendapat dampak besar karena terjadinya perpecahan politik,” ungkap sutradara kelahiran Ujung Pandang itu.

Senada dengan Riri Riza, Mira lesmana berharap film Atambua 39 Derajat Celcius ini bisa menarik lebih banyak perhatian untuk menolehkan kepala ke bagian timur Indonesia. Ketika dulu masa eksodus terjadi, sepertinya semua mata tertuju pada Timor, tapi sekarang keadaan telah berubah 180 derajat. Mereka seolah terlupakan. 

“Di sana masih terdapat banyak daerah yang belum memiliki sambungan listrik, angka kemiskinan masih sangat tinggi, kurangnya akses terhadap pendidikan, dan problem trauma dari perpecahan politik masih ada, namun sudah banyak bantuan yang meninggalkan mereka. Jadi saya pikir, penting untuk mengingatkan kita semua bahwa kita masih punya saudara yang membutuhkan perhatian kita. Film ini juga ingin merefleksikan betapa kita memiliki berbagai bahasa yang indah, kultur yang berbeda-beda, yang patut kita rayakan dan banggakan,” tutur Mira.

Proyek Idealis
Sejak awal mencetuskan ide, Mira Lesmana maupun Riri Riza menyadari jika film ini tidak akan bisa se-meledak Laskar Pelangi ataupun Sang Pemimpi. Film ini sarat dengan simbol yang membicarakan permasalahan dan harapan masyarakat di Atambua secara spesifik. Ketika bertemu dengan Mira Lesmana saat press screening di PPHUI (Pusat Perfilman Haji Usmar Ismail) 5 November lalu, saya bertanya kenapa ia mau memproduksi film seperti ini, yang mungkin tidak semua produser atau sutradara mau menggarapnya. Mira hanya menjawab dengan singkat,”Saya merasa perlu dan penting untuk menceritakan apa yang terjadi dengan saudara-saudara kita di Atambua.”    

Film ini menjadi proyek idealis Mira dan Riri. Ia sadar kalau film ini mungkin saja tidak akan meraup banyak keuntungan. Kesulitan mencari investor untuk mendanai proyeknya ini sudah menjadi resiko yang mau tidak mau harus dihadapi Mira. Padahal dana yang dibutuhkan hanya sekitar 1,2 milyar rupiah. Jumlah ini tidak seberapa jika dibandingkan dengan biaya yang harus dikeluarkan ketika memproduksi film-film layar lebar sebelumnya, yang mencapai hingga puluhan milyar rupiah.

Namun bukan Mira Lesmana namanya jika ia tidak mampu mengatasi masalah itu. Ia tidak cepat hilang akal. Pengalamannya selama bertahun-tahun sebagai seorang produser telah membentuk dirinya sebagai seorang pribadi yang senang menerima tantangan. Kendati tidak banyak investor yang tertarik, Mira tetap berhasil untuk memproduseri Atambua 39 Derajat Celcius. Ia menargetkan beberapa sumber dana dari Eropa dan Amerika. Sebelum masa produksi, Mira mengikutsertakan proyek filmnya ini ke Hubert Bals Fund (HBF), sebuah program pendanaan yang bernaung di bawah International Film Festival Rotterdam. Program ini bertujuan memberikan bantuan dana pada proyek-proyek film dari negara berkembang.

 Usahanya tidak sia-sia, profil film yang ditawarkan oleh Mira terpilih sebagai penerima dana bantuan dalam kategori digital production, dan mendapat dana sebesar 20.000 Euro untuk pembuatannya. Dana tersebut digunakan untuk menyelesaikan proses syuting di Atambua, sedangkan biaya untuk masa produksi dan proses pasca produksi ia kumpulkan melalui partisipasi masyarakat luas atau dikenal dengan istilah crowdfunding

Crowdfunding adalah konsep pendanaan secara kolaboratif. Cara ini mulai berkembang seiring bermunculannya situs-situs yang mengakomodir konsep tersebut di seluruh dunia, tidak terkecuali di Indonesia. Salah satunya situs wujudkan.com, yang bertujuan untuk mendorong partisipasi publik dalam mengembangkan karya kreatif Indonesia. Bersama wujudkan.com, Mira berhasil mengumpulkan dana sekitar 300 juta Rupiah. 

Menjelajah Kemungkinan Baru
Meskipun film ini dikerjakan dengan biaya yang tidak begitu besar dan dengan jumlah kru yang sedikit, namun seorang Riri Riza tetap mampu menyuguhkan sekelumit cerita tentang apa yang dialami saudara kita di timur Indonesia, khususnya masyarakat Atambua. Ia dan Mira sepakat untuk membuat Atambua 39 Derajat Celcius ini menjadi film yang se-realistis mungkin. 

Saya menerapkan semua hal yang biasa terjadi saat pembuatan film bergaya realis atau neo realis. Kita syuting di lokasi dengan keadaan yang sebenarnya. Misalnya seperti di pasar. Kita menggunakan pasar itu di saat benar-benar sedang aktif, ketika banyak pedagang yang sedang berjualan, ketika banyak pengunjung yang sedang ada di sana. Tidak ada upaya-upaya untuk membawa figuran. Kadang kita harus sangat fleksibel dengan waktu dan kondisi, namun saya tidak melihatnya sebagai kendala. Gaya membuat film yang seperti saya baru jalankan ini adalah gaya yang bisa menjadi solusi untuk dunia perfilman atau minimal dunia produksi film saya sendiri,” tutur pria lulusan Fakultas Film Institut Kesenian Jakarta tersebut.

Duet Riri Riza-Mira Lesmana ini memang terkenal sebagai ‘pasangan’ yang cukup produktif dalam dunia perfilman, kerap menciptakan karya-karya yang fenomenal. Kolaborasi yang mereka bangun selalu melahirkan film-film dengan gaya yang berbeda. Sejak film Kuldesak di tahun 1998, Petualangan Sherina di tahun 2000, Ada Apa Dengan Cinta?, GIE, hingga Laskar Pelangi dan Sang Pemimpi. Film mereka tidak hanya sekedar memanjakan penonton dengan alur cerita yang menghibur, tetapi juga mempunyai efek tersendiri di luar itu. Film Laskar Pelangi misalnya, tidak banyak orang mengetahui potensi keindahan alam yang dimiliki Pulau Belitung. Namun sekarang, sejak film Laskar Pelangi menjadi box office nasional, berbondong-bondong orang pergi mengunjungi Pulau Belitung dan menjadikannya sebagai salah satu destinasi wisata yang wajib dikunjungi.

Mereka berani meninggalkan zona nyaman, menjelajah kemungkinan-kemungkinan baru sehingga menemukan ide-ide baru yang siap diolah. Mereka adalah orang-orang yang berani berpikir bebas, menjelajah segala kemungkinan yang bisa diterapkan dalam membuat sebuah film, baik dari sisi produksi maupun sisi ide kreatifnya.

Saya pikir pembuat film itu harus berani keluar dari comfort zone-nya, menjelajah kemungkinan-kemungkinan baru sehingga kita juga mempunyai ide-ide baru. Supaya kita juga nggak stagnan. Sejak saya membuat film 3 Hari Untuk Selamanya, Laskar Pelangi dan Sang Pemimpi, saya selalu bekerja dengan unit produksi yang besar, istilahnya saya memiliki kontrol yang sangat tinggi, saya bisa menutup jalan, meminta figuran sampai 500 orang, menyewa kendaraan, dan membangun set. Sekarang semua itu saya rombak. Saya membuat sebuah film dengan keterbatasan, dengan pendekatan apa adanya, tapi tetap dengan gaya bercerita saya selama ini,” jelas Riri dari ujung telepon.


NB: Artikel ini telah dimuat dalam rubrik Voice Utama majalah VOICE+ Vol 5 edisi Desember 2012



Saturday, August 16, 2014

Self Publishing di Mata Dewi Lestari

Self publishing mampu menjadi alat untuk menjaga semangat penulis pemula untuk terus berkarya, dan mengajak penulis menyelami seluk beluk industri buku. Dewi Lestari pernah menerbitkan serial pertama buku Supernova-nya melalui jalur self publishing. Dan masyarakat luas pun mengapresiasi Supernova sebagai buku berkualitas. Karena itu, ia kurang sepakat bila self publishing dijadikan ukuran rendahnya mutu buku seseorang.

Berikut hasil wawancara singkat saya melalui email dengan Dewi Lestari mengenai pengalamannya menyelami seluk beluk industri penerbitan buku melalui jalur self publishing. Artikel ini pernah dimuat di majalah VOICE+ Vol 2 edisi September 2012.


Apa yang melatarbelakangi  anda banyak menulis buku tentang sebuah “pencerahan”?
Untuk menulisnya sendiri sudah hobi dari kecil. Tapi saat saya menuliskan Supernova pada tahun 2000, itu memang didorong oleh peristiwa pribadi yang terjadi pada hidup saya. Singkat kata, Supernova adalah refleksi dari perjalanan spiritualitas saya.

Bisa diceritakan latar belakang anda menerbitkan novel secara self publishing?
Keputusan saya self publishing sebetulnya seperti “kecemplung”. Waktu itu saya tidak  begitu percaya diri bahwa Supernova akan diterima penerbit. Sementara saya ingin menerbitkan Supernova menjadi buku sebagai hadiah ulang tahun saya yang ke-25. Jarak antara manuskrip selesai ke ultah saya hanya 4 bulan. Saya pikir itu  terlalu mepet untuk dibawa ke penerbit karena ada resiko harus antre dan sebagainya. Jadi, saya putuskan untuk menerbitkannya sendiri.

Lalu bagaimana dengan terbitan sesudahnya?
Selebihnya sih karena sudah terlanjur menjalankan saja. Setelah terasa kerepotan baru saya melirik kerjasama dengan penerbit lain.

Sebelum anda meluncurkan novel pertama Supernova: Ksatria, Puteri, dan Bintang Jatuh, apakah pernah menawarkan naskah awal ke penerbit?
Saya nggak sampai menawarkan ke penerbit saat itu.

Bagaimana anda memandang banyaknya penulis yang menerbitkan karya melalui self publishing?
Menurut saya, jalur self publishing adalah jalur alternatif yang baik. Tentu ada resiko dan konsekuensi sendiri. Tapi jika hanya bersandar pada kesempatan yang dibuka oleh penerbit-penerbit besar, menurut saya itu juga akan meredam kreativitas dan semangat kepenulisan.

Dari pengalaman anda, syarat apa saja yang harus dipenuhi untuk menerbitkan karya melalui jalur self publishing?
Sebagai catatan, karya saya yang murni self publishing sebenarnya hanya satu, yakni Supernova episode pertama. Pada Akar, Petir, dan Filosofi Kopi, saya sudah bekerja sama dengan penerbit lain. Saya masih memproduseri, tapi sudah ada penerbit yang mem-back up saya. Untuk self publishing sendiri tentunya yang dibutuhkan adalah modal (tergantung bukunya laku atau tidak, semakin laku, otomatis modal cetak yang dibutuhkan lebih besar lagi). Lalu SDM, yakni staf atau orang-orang yang menjalankan produksi, pengecekan ke distributor, promosi, dan hal-hal administratif lainnya.

Apa strategi yang harus dimiliki penulis pemula jika ingin menerbitkan karyanya melalui jalur self publishing?
Memiliki semua yang saya sebutkan di atas. Self publishing sangat tergantung dari animo pembaca yang menyambutnya. Jika sambutannya sederhana, maka penerbitan bukunya pun bisa sederhana, bahkan mungkin bisa dijalankan sendirian oleh penulisnya. Semakin bukunya bergaung dan diminati secara luas, sistem kerja dan modal yang dibutuhkan juga akan semakin kompleks. Jadi minimal si penulis harus mengecek betul kesiapannya: modal, SDM, tekad, dan kesiapan untuk repot.

Apa sisi positif dan negatif bagi penulis jika memilih self publishing?
Positifnya, penulis memiliki kendali yang lebih luas, sistem yang otomatis lebih transparan, dan banyak pengalaman bermanfaat. Tantangannya, lebih repot, energi dan fokus terkuras, bisa-bisa akan kehabisan tenaga untuk menulis buku berikutnya, dan kemungkinan rugi secara finansial.

Bagaimana dengan pengalaman anda sendiri?
Yang saya rasakan juga kurang lebih sama. Dengan pernah menerbitkan sendiri, saya jadi paham betul proses produksi dan cara kerja industri perbukuan itu seperti apa. Repotnya juga banyak, antara lain saya harus mengurus staf,  administrasi, dan banyak hal-hal teknis lain yang menguras energi.

Bagaimana anda melihat masa depan self publishing di Indonesia?
Entah ke depannya. Yang jelas, sekarang ini semakin banyak mitra-mitra independen untuk menerbitkan buku, terutama dengan adanya sistem Print On Demand (POD), yang bisa membantu penulis untuk tidak terbebani dengan modal cetak yang besar di awal proses menerbitkan buku. Begitu juga dengan perkembangan buku digital. Rantai antara penulis dan pembaca semakin pendek karena tidak lagi harus berurusan dengan toko buku fisik, distribusi fisik dan lain-lain. Jadi pasti akan ada perkembangan yang menarik.

Ada saran bagi penggemar anda yang ingin menjadi penulis?

Berani gagal, berani memiliki karya yang tidak selesai, berani mencoba lagi, dan berani menghadapi kesuksesan. Semuanya itu memiliki konsekuensi. Yang jelas, menulislah apa yang kita suka. Tulislah buku yang ingin kita baca.

Self Publishing; Publish Your Own Dream!

Self Publishing bukan fenomena baru penerbitan buku di negara-negara maju. Namun anehnya di negeri ini kurang mendapat harga. Haruskah berkarya itu spektakuler seketika?


Tasya Agustina tak mampu menyembunyikan perasaan kecewa saat penerbit lokal enggan menerbitkan naskah novel yang diajukannya. Spontan mahasiswi jurusan Teknologi Informasi semester akhir di Institut Teknologi Harapan Bangsa (ITHB) Bandung, Jawa Barat, itu tak mampu mengembangkan senyum yang biasa menghiasai wajahnya. Maklum, penolakan itu memaksa Tasya menunda cita-citanya untuk memiliki novel berbahasa Inggris yang ditulisnya sendiri selama tiga tahun belakangan.

Alasan penerbit lokal menolak novel fiksi tentang dunia supranatural dan konspirasi berjudul Chronicles of The Fallen: Rebellion sangat sederhana. “Kami belum berani menerbitkan novel dalam bahasa Inggris.   Kalau mau, kamu harus menerjemahkannya dulu dalam bahasa Indonesia lalu kirim ke kami lagi,” tutur salah seorang anggota redaksi kepada gadis itu.

Penolakan itu tidak lantas membuat penulis yang memiliki nama pena Aya Lancaster itu kehilangan asa. Print out dan flash disk berisi draf naskah novelnya itu pun dibawa pulang. Ia bergeming dengan saran penerbit untuk mengubah naskah ke dalam bahasa Indonesia. Alasannya, Aya merasa lebih nyaman menulis menggunakan bahasa Inggris ketimbang bahasa Indonesia. Menurutnya, menulis novel dengan bahasa Indonesia memiliki tingkat kesulitan yang lebih tinggi, dan sebagai penulis pemula, dia tidak memiliki latar belakang sastra Indonesia yang baik. Sejak duduk di bangku sekolah menengah pertama, Tasya sudah terbiasa membaca novel berbahasa Inggris. Kebiasaan itu pula yang membuatnya memiliki kemampuan lebih dalam menulis cerita dalam bahasa Inggris.

Memilih bergeming dengan naskah berbahasa Inggris, Tasya sadar dia harus terus memupuk harapan agar bisa menemukan penerbit besar yang bersedia menerima naskahnya. Ia pun tak surut langkah mengajukan kembali manuskrip novelnya ke penerbit besar lainnya. Bahasa menjadi kendala, tak pelak kali ini jawaban penerbit pun tak banyak berbeda. Tasya disarankan agar mengajukannya ke penerbit luar negeri. Redaksi penerbitan berdalih, hampir semua penerbit lokal kesulitan memasarkan buku berbahasa asing di Indonesia.
Penolakan kali ini memang bernada lebih halus. Tapi tak urung membuat Tasya menarik nafas panjang. Rupanya butuh kesabaran ektra untuk merintis jalan menjadi penulis pemula. Mencari penerbit asing  yang bersedia menerbitkan naskahnya disadari oleh Tasya  bukan perkara mudah. Namun setelah menolak pilihan pertama, tak ada lagi pilihan tersisa selain mengikuti pilihan kedua.

Banyak jalan menuju Roma. Begitulah kira-kira pepatah ini telah bekerja merajut asa. Dalam keadaan bingung, secara tidak sengaja Tasya melihat sebuah iklan di internet tentang AuthorHouse, sebuah perusahaan penyedia layanan self publishing. Akhirnya, Tasya memutuskan untuk menerbitkan sendiri novel pertamanya dengan bantuan AuthorHouse. Tidak lama setelah melalui proses komunikasi dan diskusi dengan pihak redaksi, novel ‘Chronicles of The Fallen: Rebellion’ diterbitkan dan dijual di beberapa toko buku online, seperti amazon.com, ebay.com, dan Barnes and Noble, toko buku tertua di Inggris. 

Mendobrak Ritme Konvensional
Sebenarnya, trend self publishing ini bukanlah satu hal yang baru. Di negara-negara maju seperti Amerika dan Inggris, trend ini telah mewabah sejak beberapa tahun lalu. Menurut Publisher Weekly,dalam sejarah penerbitan buku di dunia, sepanjang tahun 2008 tercatat sebanyak 289.729 judul buku telah diterbitkan melalui cara self publishing dan mengalami peningkatan menjadi 764.448 judul buku pada tahun 2009.
Self Publishing menjadi sebuah trend pendobrak kekakuan dalam dunia penerbitan buku. Dalam era konvensional, banyak orang berpikir bahwa untuk menerbitkan sebuah buku, seorang penulis hanya bisa bekerja sama dengan penerbit-penerbit besar, tentunya setelah melalui berbagai proses seleksi naskah yang ketat. Artinya, jika sebuah karya itu ingin diterbitkan, maka isi naskah harus sesuai dengan pandangan bisnis si penerbit.

Kini eranya telah berubah. Saat ini, self publishing mulai populer dan diminati. Setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi seorang penulis terkenal. Secara mandiri, setiap orang bisa menerbitkan dan mempublikasikan karya tulisnya. Sebuah usaha mandiri dengan melakukan kegiatan publikasi di luar ritme konvensional.

Bagi penulis yang memilih self publishing, ia tidak perlu mengirim draft naskahnya ke penerbit konvensional. Ia cukup me-layout, mendesain, mencetak, dan mendistribusikan sendiri hasil karyanya. Kendatipun mandiri, penulis bebas bekerja sama dengan editor, desainer grafis, maupun distributor. Semua bebas sesuai dengan kemauan kreatif penulis tanpa perlu terpengaruh oleh siapapun.

Banyak manfaat positif yang diperoleh sejumlah penulis saat mereka merintis karir menjadi penulis debutan melalui jalur self publishing. Setidaknya, hal itu disampaikan Dewi Lestari, penulis serial novel Supernova. Meski memiliki resiko dan konsekuensi sendiri, Dee menilai self publishing masih lebih baik bagi penulis dibanding menggantungkan harapan kepada sejumlah penerbit besar, yang justru bisa meredam kreativitas dan semangat kepenulisan. Apa yang dikatakan Dee berarti penulis lebih baik  berpaling ke self publishing saat karya ditolak oleh penerbit mainstream. Dengan cara itu, seorang penulis terus berkarya, menyerap masukan, dan mendengar kritikan pembaca. Penulis yang bergumul dan berkelindan dengan prosef kreatif seperti itu akan memiliki kesempatan luas menghasilkan karya besar. 

Selain Tasya, saat ini banyak penulis pemula yang memutuskan untuk menerbitkan karyanya sendiri tanpa harus mengandalkan penerbit besar. Lutfi Retno Wahyudyanti, termasuk di antaranya. Penulis sekaligus pegiat LSM di Yogya ini berhasil menerbitkan novel pertama berjudul “Para Pemuja Matahari” secara mandiri atau self publishing. Lutfi memilih keluar dari ritme konvensional dalam menerbitkan karya karena dilandasi rasa keingintahuannya memiliki penerbitan buku.

“Saya suka mencoba hal baru dan ini menyenangkan. Selain itu, saya merasa sayang kalau buku yang saya kerjakan dengan sungguh-sungguh hanya jadi barang dagangan penerbit besar karena mereka punya banyak sekali buku lain. Akhirnya saya memilih membongkar tabungan untuk menerbitkan “Para Pemuja Matahari”,” ungkap Lutfi.

Sebelumnya, Lutfi pun pernah mengalami pengalaman pahit yang tidak jauh berbeda dengan apa yang dialami oleh Tasya. Ia pernah mencoba mengirimkan naskah novelnya ke penerbit besar, tetapi ditolak. Lutfi menilai penolakan tersebut wajar lantaran draf pertama dan kedua yang dikirimkannya masih jauh dari kelaikan terbit. “Waktu itu saya mengirim dengan harapan mendapat komentar atau saran perbaikan dari editor ahli. Sayang, naskahnya hanya dikembalikan tanpa catatan,” tambahnya kemudian. Sikap penerbit itu membuat lutfi kecewa karena bagi dirinya komentar maupun koreksi penting sebagai pembelajaran.

Seorang penulis sehebat Dewi Lestari pun menyimpan kisah saat mengawali karir sebagai penulis dengan menempuh jalur self publishing. Itu terjadi saat Dee menerbitkan manuskrip perdana “Supernova”. Saat itu, ia tak begitu percaya diri bahwa “Supernova” akan diterima oleh penerbit besar. Apalagi waktunya terbilang mepet. Jarak antara selesainya penulisan naskah dengan ulah tahun Dee hanya empat bulan. Jelas tak cukup untuk menunggu terbitnya buku yang membutuhkan waktu berbulan-bulan. Sementara, ia ingin sekali menerbitkan “Supernova” menjadi buku sebagai hadiah ulang tahun ke-25 untuk dirinya sendiri. “Tujuan saya self publishing waktu itu sangat sederhana, yaitu menghadiahi diri sendiri kado ulang tahun berupa buku. Saya nggak peduli bakal laku atau tidak, jadi tenar atau tidak,” jelas Dee.

Ketatnya Seleksi Penerbit Konvensional
Penerbit-penerbit konvensional memang menerapkan proses seleksi yang ketat terhadap naskah-naskah yang akan diterbitkan. Ada syarat umum yang harus dipenuhi oleh setiap penulis jika karyanya ingin diterbitkan.

Vincentius Sugeng Hardoyo, pemimpin redaksi PT. Elex Media Komputindo, mengatakan bahwa setidaknya ada empat syarat yang menjadi dasar penilaian redaksi terhadap sebuah naskah yang akan diterbitkan. Pertama, soal tema utamanya, apakah tema dari naskah tersebut sedang populer atau tidak. Kedua, mengenai historis penjualan buku dari tema sejenis. Terkadang tema yang diangkat memang populer, tetapi ternyata hasil penjualannya tidak bagus. Ketiga, tentang kedalaman dari materinya itu sendiri. Apakah cenderung ringan atau terlalu detail. Keempat, soal cara penyajiannya dan gaya bahasa. Buku yang diminati oleh pembaca umum biasanya buku yang menggunakan bahasa yang praktis dan populer.

Lamanya proses penilaian untuk tiap jenis buku pun berbeda-beda. Untuk buku tentang teknologi paling cepat satu minggu. Sedangkan untuk jenis buku manajemen dan novel dibutuhkan sekitar satu bulan karena naskahnya perlu dibahas secara detil, dari awal hingga akhir.


Setelah melewati proses penilaian, naskah kemudian diedit dari sisi pengetikan, ejaan, tata bahasa, dan sebagainya. Proses ini penting untuk mengetahui apakah konten dari sebuah naskah itu layak atau tidak untuk dikonsumsi oleh pembaca. Proses editing memakan waktu sekitar 1-2 minggu. Setelah editing, kemudian masuk proses lay out. Proses lay out memakan waktu sekitar dua minggu. Setelah selesai lay out, naskah sudah menjadi bentuk proof yang akan diperiksa lagi oleh redaksi. Ketika redaksi sudah menyatakan tidak ada kesalahan, maka proof tersebut bisa langsung naik cetak. Jadi, waktu yang dibutuhkan penerbit untuk bisa menerbitkan sebuah buku hingga siap untuk dijual di toko memang cukup lama, sekitar 2-3 bulan. 

Publish Your Dream
Memilih jalur self publishing bukan berarti membuat segala sesuatunya menjadi lebih mudah. Menerbitkan buku bukan perkara mudah walaupun penulis memiliki kontrol penuh terhadap nasib karyanya, tanpa harus bergantung kepada penerbit besar. Penulis yang memberanikan diri untuk melakukan self publishing biasanya memiliki  modal yang cukup kuat dan memiliki jaringan yang luas untuk kepentingan promosinya, selain pentingnya keyakinan bahwa bukunya akan laku keras.

Lalu bagaimana dengan penulis-penulis muda yang belum berpengalaman dalam menerbitkan sebuah buku? Bagaimana dengan penulis yang tidak memiliki cukup dana untuk menerbitkan karyanya?
Dengan maraknya tren menerbitkan buku secara mandiri, maka bermunculan pula perusahaan-perusahaan yang menyediakan pelayanan self publishing, secara gratis ataupun berbayar. Apa yang dilakukan Tasya Agustina bisa menjadi salah satu solusi yang layak untuk ditiru. Untuk menerbitkan novel Chronicles of The Fallen: Rebellion, Tasya memilih bekerja sama dengan AuthorHouse.

AuthorHouse merupakan sebuah perusahaan penerbitan di Inggris yang melayani jasa self publishing (self publishing company). Dalam website-nya, AuthorHouse menyediakan beberapa paket penerbitan, mulai dari paket seharga 499 sampai 1.499 poundsterling (sekitar 7 juta-21 juta rupiah), tergantung dari format buku seperti apa yang diinginkan oleh si penulis. Tidak hanya menerbitkan, AuthorHouse juga mengurusi masalah promosi dan distribusi di beberapa negara seperti Inggris dan Amerika Serikat.

Di dalam negeri pun bermunculan perusahaan penerbitan sejenis AuthorHouse, salah satunya adalah nulisbuku.com. Menariknya, nulisbuku.com tidak membebankan biaya awal kepada penulis, alias gratis.  Setiap keuntungan yang berasal dari penjualan buku akan dibagi dua, untuk penulis dan penerbit. Jadi penulis tidak akan dibebankan biaya awal yang terlalu besar untuk menerbitkan buku.

Aulia Halimatussadiah, salah satu pendiri nulisbuku.com, menjelaskan bahwa ide awal menekuni bisnis jasa pelayanan self publishing adalah untuk menjadi alternatif penerbitan mandiri di Indonesia, agar memudahkan penulis-penulis baru dalam menerbitkan karyanya. Dengan begitu produktivitas menulis di kalangan anak-anak muda akan semakin meningkat.

Seperti self publisher pada umumnya, nulisbuku.com menggunakan sistem kerja yang disebut print on demand (POD). Artinya jumlah buku yang dicetak hanya berdasarkan jumlah pesanan yang ada, tanpa ada stock cadangan buku di gudang. Setelah pemesanan, butuh kira-kira 10 hari untuk melakukan proses cetak, post-press dan pengiriman sampai ke tangan si pemesan. Sistem inilah yang membedakan sebuah self publisher dengan penerbit konvensional.

Selain sistem POD, hal apa yang benar-benar membedakan nulisbuku.com dengan penerbit konvensional? “Karena mereka melakukan investasi di setiap buku yang diterbitkan, setiap penerbit konvensional pasti menyaring naskah yang masuk. Apakah sesuai dengan idealisme mereka atau apakah benar-benar bisa menjual. Sedangkan nulisbuku.com tidak ada filter sama sekali. Setiap orang yang memiliki naskah tinggal upload saja ke kita, kalau ada yang beli baru dicetak. Jadi ini benar-benar seperti ajang latihan bagi penulis muda untuk mulai berani menerbitkan naskahnya,” ungkap wanita yang akrab disapa Ollie ini.

Lalu bagaimana cara menerbitkan buku di nulisbuku.com? Setiap penulis yang memiliki naskah bisa mendaftar terlebih dahulu secara gratis di situs nulisbuku.com. Setelah mendaftar mereka akan diberikan template yang berguna untuk mengirimkan naskah secara online ke redaksi. Sebelum dikirimkan, template itu harus diubah formatnya ke dalam bentuk jpg. Naskah yang dikirimkan harus disertakan dengan data diri si penulis naskah dan rencana jumlah halaman buku yang akan diterbitkan.

Setelah itu, nulisbuku.com akan memberitahukan harga jual buku dan royalti yang akan diterima oleh penulis. Uniknya, dalam proses ini penulis bisa ikut menentukan berapa besarnya harga jual buku dan royalti. Persentase yang biasanya digunakan dalam menentukan royalti adalah 60% untuk penulis, 40% untuk penerbit. Persentase royalti tersebut masih berada di atas angka yang umumnya digunakan oleh penerbit konvensional, yaitu sebesar 10%.

Setelah melewati proses tersebut, kemudian masuk dalam proses proof read. Pihak nulisbuku.com akan mencetak satu sample buku yang akan dikirimkan ke penulis untuk diperiksa secara detil mengenai penulisan, desain, cover, sampai soal tata letak. Setelah semua sesuai dengan keinginan, penulis bisa memberikan persetujuan (approval) kepada pihak redaksi bahwa buku ini siap untuk diiklankan di website nulisbuku.com dan siap untuk dijual.

Menghargai Proses
Kendati Self Publishing merupakan alternatif bagi para penulis, namun tak lantas  mereka bisa terbebas dari resiko dan konsekuensi. Salah satunya kemungkinan berupa rendahnya respon dari pasar atau calon pembeli. Hal itu bisa terjadi sebagai ekses dari anggapan miring, yang menganggap buku produk self publishing kurang berkualitas karena ditolak oleh penerbit besar. Selaku pendiri jasa layanan self publishing, Ollie tak merasa risau. Ia mengajak para penulis untuk terus berkarya agar mampu menghasilkan karya yang spektakuler. Menurutnya, sikap positif itu efektif untuk menghapus kesan miring atas karya self publishing.

“Saya menghargai proses, bahwa tidak semua penulis bisa langsung menghasilkan karya yang spektakuler. Jadi memang ada proses-prosesnya. Latihan dan banyak  menerbitkan hasil karya bisa meningkatkan kemampuan menulis menjadi excellent dan kemudian layak untuk diterbitkan secara major,” ungkap Ollie menanggapi komentar miring terhadap self publishing.

Menjadi seorang penulis handal tentu bukan suatu hal yang bisa diraih secara instan. Butuh proses bagi seseorang untuk meningkatkan kemampuan menulisnya. Menurut pengalamannya sebagai seorang penulis buku, Ollie mengatakan bahwa penulis itu harus terus melatih kemampuan menulisnya dan senang ketika karyanya mendapat apresiasi. Dengan menulis dan diapresiasi, seseorang akan lebih bersemangat untuk mengeluarkan karya-karya berikutnya yang mungkin saja akan lebih baik.

Mungkin kita bisa menyepakati apa yang dikatakan oleh Dee. Self Publishing bisa menjadi jalur alternatif yang baik bagi penulis-penulis muda untuk membangkitkan kreatifitas dan semangat menulis, tanpa harus bersandar pada kesempatan yang dibuka oleh penerbit-penerbit konvensional. “Berani gagal, berani mencoba lagi, dan berani menghadapi kesuksesan. Semuanya itu memiliki konsekuensi. Yang jelas, menulislah apa yang kita suka. Tulislah buku yang ingin kita baca,” Ungkap Dee.

Kalau tidak mencoba menerbitkan karya-karya kita sendiri, bagaimana kita bisa mengetahui kesalahan dan potensi diri sebagai seorang penulis?


*Artikel ini telah dimuat dalam rubrik Special Report majalah VOICE+ Vol 2 edisi September 2012)*


Tuesday, August 12, 2014

Tri Mumpuni; Pembangkit Ekonomi Desa


Berawal dari konsep yang sederhana, PLTMH (Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro) bisa menjadi ‘senjata’ dalam memberdayakan masyarakat desa.


“Ayo kalian ikut mobil saya saja. Kita berangkat bersama ke Cinta Mekar, masih muat toh mobilnya,” seru pak Odius kepada saya dan Riki yang sedang sibuk membenahi tas kameranya agar air hujan tak mudah masuk. Kami segera mengiyakan sambil berjalan ke arah mobil Toyota Innova berwarna hitam yang diparkir di depan rumah singgah milik Institut Bisnis dan Ekonomi Kerakyatan (IBEKA) . Bangunannya cukup besar, pekarangannya luas. Hampir setiap akhir pekan rumah tersebut digunakan oleh seluruh staff IBEKA sebagai tempat berkumpul untuk membicarakan berbagai persoalan terkait program pemberdayaan masyarakat yang sedang mereka jalankan.  

Secara kebetulan, saya bertemu dengan Pak Odius di rumah itu. Ia adalah seorang kontraktor yang berasal dari Papua. Ia datang ke IBEKA bersama adiknya, dengan maksud untuk mengetahui seluk beluk teknologi yang digunakan dalam pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro. Rencananya, ia ingin membangun sebuah pembangkit listrik skala kecil dengan mengandalkan aliran sungai yang ada di desanya. Selama bertahun-tahun desanya  belum memiliki jaringan listrik dari Perusahaan Listrik Negara.

Dari desa Cicadas kami berangkat menuju Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro yang terletak di desa Cinta Mekar, kecamatan Sagalaherang, Kabupaten Subang, Jawa Barat. Jaraknya tidak terlalu jauh, sekitar 10 menit berkendara menggunakan mobil. Sepanjang perjalanan saya banyak bertanya mengenai hal-hal teknis yang berkaitan dengan sistem kerja pembangkit listrik kepada dua staff IBEKA yang ikut menemani, Christianto dan Gunawan.

Mereka telah bertahun-tahun bergabung bersama IBEKA, menjalankan puluhan program pembangunan pembangkit listrik di desa-desa. Dari desa di pedalaman Aceh hingga ke Papua sudah pernah mereka datangi. Sebagai staff IBEKA yang terhitung senior, Christianto dan Gunawan  memiliki spesialisasi dan tugas yang sangat diandalkan. Dalam sebuah proyek pembangunan pembangkit, Christianto selalu mendapat tanggung jawab di bidang konstruksi yang berkaitan dengan pemasangan generator dan turbin. Sedangkan Gunawan merupakan salah satu anggota tim sosial IBEKA yang tugasnya berhubungan dengan pemberdayaan dan pengkondisian masyarakat suatu desa sebelum proyek pembangunan pembangkit listrik berjalan.

“Pembangkit listriknya ada di sebelah sana, pak. Tepat di belakang bangunan itu. Nanti kita dapat melihat aliran sungai Ciasem dari situ,” ucap Gunawan kepada kami semua yang ada di dalam mobil sambil menunjuk ke arah sumber suara air mengalir yang terdengar sayup. Jalan menuju area pembangkit listrik tidak terlalu lebar. Mobil yang kami tumpangi pun harus berjalan pelan  untuk menghindari lubang di sepanjang jalan. Sempat satu kali ban mobil tergelincir di bagian jalan yang masih berupa tanah. Hujan mengguyur kota Subang tanpa henti, mengubah sebagian jalan menjadi berlumpur.

Sesampainya di sana, saya langsung diajak mengelilingi pembangkit listrik oleh Christianto. Letaknya tepat di pinggir sungai Ciasem. Ia  Ia menerangkan secara detil bagaimana aliran air sungai Ciasem bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa Cinta Mekar. Awalnya,  air dari sungai dibendung, kemudian dialirkan melalui parit. Kira-kira 400 meter dari bendungan, sebagian air dialirkan ke dalam bak penampungan dan sebagian lagi dialirkan untuk keperluan irigasi.

Air dalam bak penampungan kemudian di saring dan dialirkan ke dalam bak penenang. Bak penenang berfungsi untuk menenangkan air agar tidak terjadi kumparan air bisa menyebabkan turbin bekerja tidak efisien. Air dalam bak penenang kemudian dialirkan dari ketinggian 18,6 meter melalui penstock-dua pipa besar sepanjang 55 meter dan berdiameter 580 mm- menuju power house.

Di dalam power house terdapat dua turbin dan satu generator. Aliran air dalam penstock membuat putaran pada turbin, kemudian turbin menggerakan generator yang berfungsi untuk mengubah energi mekanik menjadi energi listrik. “Putaran dua Turbin ini nantinya akan menggerakan generator berkapasitas 160 Kva yang bisa menghasilkan listrik maksimal 120 kilowatt. Listrik tersebut akan disimpan dalam sebuah control panel sebelum dijual ke PLN, sisanya bisa dialirkan ke rumah-rumah warga yang tak sanggup membeli listrik dari PLN. Sesederhana itu prosesnya,” jelas Christianto.

***

Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PMLTH) Cinta Mekar menghabiskan dana sebesar 225 ribu dolar AS. Untuk mewujudkan proyek ini, United Nations Economic and Social Commission for Asia and the Pacific (UN-ESCAP) memberikan dana hibah sebesar 75 ribu dolar. Sementara, IBEKA mengeluarkan jumlah yang sama untuk  kepentingan diseminasi dan fasilitas training. Sisanya, berasal dari investasi PT Hidro Piranti. dibangun dari dana hibah keberhasilan IBEKA mendapatkan dana hibah dari sebesar 75 ribu dolar AS. Separuhnya lagi berasal dari investasi PT Hidro Piranti. Pada 17 April 2004, pembangkit tersebut akhirnya diresmikan oleh Menteri Pertambangan dan Energi Purnomo Yusgiantoro.  

Meski telah memiliki pembangkit sendiri, namun pasokan listrik sebagian besar warga Cinta Mekar untuk menjalankan rutinitas sehari-hari tetap berasal dari PLN. Seluruh hasil produksi PLTMH Cinta Mekar dimasukkan ke jaringan PLN, dan dijual dengan harga Rp 432,00 per Kwh. Setelah beroperasi, PLTMH ini menerima pemasukan sebesar sekitar Rp 25 juta per bulan. Setelah dikurangi dengan biaya operasional, gaji operator, biaya pemeliharaan, dan bagi hasil dengan PT Hidro Piranti, maka keuntungan bersih yang didapat mencapai 12 juta rupiah per bulan.

Beberapa tahun belakangan, jenis pembangkit dengan mengandalkan tenaga air skala kecil yang menghasilkan output di bawah 500 kilowatt telah menjadi andalan untuk memberikan pasokan listrik bagi daerah pelosok di Indonesia. Pada awalnya pembangkit mikrohidro dibangun guna menerangi desa-desa yang belum dialiri listrik, namun sejak tahun 1999 konsepnya berkembang. Puluhan pembangkit, termasuk yang ada di Cinta Mekar, diberdayakan untuk mendorong ekonomi mandiri masyarakat desa. Konsep tersebut lahir dari kepala seorang perempuan yang terkenal dengan julukan “Si Penerang Desa”. Dengan kegigihannya, ia berhasil membangun PLTMH di 78 desa terpencil dan mengajak masyarakatnya lebih mandiri secara ekonomi. Perempuan yang selalu tampil berjilbab itu bernama Tri Mumpuni.

Bisnis sosial berbasis kerakyatan, begitulah ia menyebutnya, merupakan kunci keberhasilan pembangunan pembangkit listrik di banyak desa, termasuk Cinta Mekar. Sejak awal masyarakat dilibatkan dalam pembangunan PLTMH. Tim sosial IBEKA mendampingi dalam kegiatan sosial-kemasyarakatannya, mulai dari pencatatan data awal, pembentukan koperasi, pembentukan kapasitas dan kepemilikan. Secara teknis, pembangkit harus didesain secara sempurna selain faktor kemampuan organisasi dari lembaga lokal harus benar-benar disiapkan.  

Setelah pembangkit berdiri, masyarakat tidak hanya tinggal diam dan menikmati hasilnya saja. Mereka diberi pelatihan untuk mengelola seluruh perawatan pembangkit, pengorganisasisan, hingga pola penagihan terhadap pelanggan. Seluruh proses pengambilan keputusan misalnya mengenai alokasi pemasukan maupun penyusunan klasifikasi penduduk yang berhak mendapat bantuan ditentukan oleh musyawarah penduduk. 

Dana bantuan yang berasal dari penjualan listrik ke PLN dikelola oleh Koperasi Desa Cinta Mekar untuk kemudian dimanfaatkan bagi kesejahteraan warga. Prioritas penggunaan dana ditentukan melalui musyawarah. Umumnya masyarakat menginginkan pemasukan desa digunakan untuk membiayai tarif listrik 122 rumah yang tak mampu, beasiswa anak sekolah, pelatihan keterampilan kerja bagi anak-anak muda, penyediaan sarana kesehatan, modal untuk keluarga miskin yang ingin membuka usaha, dan pembangunan infrastruktur desa. 

***

Sudah sekitar dua puluhan tahun ini Tri Mumpuni mendedikasikan diri untuk memberdayakan masyarakat desa. Bersama suaminya, Iskandar Kuntoadji, ia mempelopori pembangunan pembangkit listrik mikrohidro di daerah miskin dan terpencil. Ide ini bermula dari sebuah perjalanan bersama suaminya ke desa-desa yang belum terjangkau  listrik dari PLN. Mereka melihat, kekurangan itu bisa diakali dengan memanfaatkan air terjun untuk menghasilkan listrik.

Menurut Perempuan kelahiran Semarang 6 Agustus 1964 ini, listrik merupakan tulang punggung pembangunan ekonomi bangsa. Semua kegiatan perekonomian bergerak dengan mengandalkan sumber daya listrik yang ada. Sejak pertama kali ditemukan, listrik telah memberikan banyak manfaat dan kemudahan bagi kehidupan manusia.  Tidak bisa dipungkiri jika seluruh aktivitas keseharian setiap orang saat ini pasti membutuhkan listrik. Permasalahannya, tidak semua warga negara di Indonesia mendapatkan akses yang sama terhadap sumber daya listrik.

“Mereka yang hidup di kota-kota besar mungkin tidak menganggap listrik sebagai barang mewah. Mereka bisa mendapatkan listrik dengan mudah. Tapi mereka tidak sadar di banyak daerah terpencil, ada orang-orang yang memiliki kebutuhan dasar yang sama, namun tidak memiliki akses untuk mendapatkan listrik. Saya rasa tidak adil jika di kota kita mudah mendapatkan listrik, harganya disubsidi. Artinya dalam proses produksi untuk bisa menghasilkan listrik, pemerintah turun tangan sedemikian rupa, padahal yang menikmati orang-orang mampu. Kok sangat tidak adil ya kehidupan di Indonesia ini,” ujarnya.

Sebenarnya ide untuk memanfaatkan potensi sumber daya alam desa dengan membangun pembangkit listrik sudah dimulai lebih dulu oleh suaminya. Sekitar tahun 1979, Iskandar Kuntoadji bersama aktivis mahasiswa ITB lainnya mendirikan Yayasan Mandiri karena adanya peraturan dari pemerintah yang melarang mahasiswa untuk berpolitik di dalam kampus. Masa-masa itu pemerintah membubarkan segala bentuk organisasi Dewan Mahasiswa dengan mengeluarkan kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kampus (NKK/BKK).

Tidak ada pilihan lain bagi mereka untuk mengabdi pada rakyat selain bergerak di luar kampus, turun ke desa-desa dan membantu penerapan teknologi sederhana dan tepat guna yang bermanfaat bagi kehidupan sehari-hari masyarakat desa. Seiring berjalannya waktu, Yayasan Mandiri berkembang menjadi ruang bagi setiap orang yang ingin berpartisipasi. Selepas lulus dari ITB, Iskandar tetap menjalankan ide penerapan teknologi tepat guna dan mendirikan IBEKA bersama Tri Mumpuni.

Sebelum Tri Mumpuni memutuskan untuk memusatkan seluruh perhatiannya pada pembangunan desa terpencil bersama IBEKA, ia sudah lebih dulu bekerja di salah satu lembaga sosial milik PBB yang mengurusi persoalan warga miskin perkotaan. Tugasnya waktu itu adalah mencari dana untuk program pemberdayaan masyarakat miskin di Jakarta dan memperbaiki rumah-rumah kumuh lengkap dengan fasilitas MCK-nya.

Ternyata setelah beberapa lama terjun dalam program tersebut tidak membuat Puni—demikian ia akrab disapa--merasa all out. Tembok besar menghalangi langkahnya. Seluruh energi, pikiran dan segala daya upaya yang telah ia berikan tidak memberikan dampak yang cukup signifikan untuk mengubah kehidupan masyarakat menjadi lebih baik.

“Di Indonesia ini kalau ingin membangun kota ada istilahnya money driven development. Pembangunan yang ditentukan oleh arah orang yang punya uang. Contoh sederhana, awal tahun 1990-an di DKI Jakarta. Saat itu kami mencoba membangun daerah untuk permukiman penduduk. Tiba-tiba ada investor yang tertarik ingin mendirikan sebuah pusat perbelanjaan di kawasan itu. Dengan mudahnya, rencana awal berubah cepat. Jadi siapa yang memiliki uang itulah aktor terkuat yang bisa merubah bentuk wajah kota di Indonesia,” ungkapnya. Tidak lama setelah kejadian itu, Ia pun memutuskan untuk berhenti.

Suatu hari, Puni melihat pekerjaan suaminya yang sering pergi ke desa-desa, membangun jaringan listrik. Ia terperanjat begitu melihat sebuah desa yang memiliki potensi yang luar biasa untuk dimanfaatkan, namun tidak memiliki infrastruktur yang mendukung untuk mengembangkan potensi tersebut. Bahkan jaringan listrik yang seharusnya disediakan oleh pemerintah pun belum ada. Pada malam hari anak-anak harus menggunakan sumber penerangan dari lilin atau lampu petromak untuk belajar. Ibu-ibu harus menggotong kayu bakar dari hutan desa, berjalan puluhan kilometer, supaya mereka bisa menyiapkan makanan untuk keluarganya. 

“Lalu saya terpikir untuk ikut mengerjakan apa yang suami saya kerjakan, membangun jaringan listrik di pedesaan. Nggak tahunya effort saya itu malah lebih berlipat. Artinya, dia membuat konsep dan desain, tapi saya yang ngotot ini harus terjadi. Uangnya dari mana? Saya bilang, tidak usah dipikirkan. Kalau niat kita baik, uang itu pasti akan datang dengan sendirinya,” tuturnya sambil tersenyum. Sesederhana itu ia memulainya, tapi kemudian hal sederhana itu menjadi tekad yang luar biasa.

Tahun 1991, Puni bersama sekelompok petani di desa Curugagung, Subang, Jawa Barat, membangun proyek PMLTH pertama yang menghasilkan listrik 13 Kilowatt dan menerangi sebanyak 121 rumah. Modal awal 44 juta Rupiah merupakan hasil urunan para petani dengan cara meminjam ke bank. Sisanya dibantu oleh IBEKA. Suami Puni-lah yang membuatkan turbin. Pembangkit listrik tersebut dikelola oleh seorang petani. Listrik yang dihasilkan kemudian dijual ke semua tetangganya. Keuntungannya digunakan untuk membayar utang bank dan pemasukan tambahan bagi si Petani.

***

Tiga tahun kemudian, karena pertimbangan politik dan ada satu partai politik yang tidak pernah menang dalam pemilihan, akhirnya Bupati memaksa PLN untuk masuk ke daerah itu. Begitu listrik PLN sudah masuk ke desa itu, sebagain besar warga beralih membeli dari PLN. Akibatnya petani yang ditugasi untuk bertanggungjawab dalam pengelolaan PMLTH di Curugagung wafat terkena serangan jantung lantaran tak kuat bersaing dengan listrik dari PLN yang harganya jauh lebih murah.

Puni dan suaminya tidak tinggal diam melihat hal itu. Selama tiga tahun, mereka melobi Kementerian Energi agar PLN membeli listrik dari pembangkit listrik yang dikelola oleh masyarakat desa. Tahun 1994, Iskandar mengirimkan surat usulan kepada pemerintah, agar pemerintah memiliki kewajiban untuk membeli listrik dari pembangkit-pembangkit skala kecil. Namun surat itu tidak ditanggapi.

Puni tidak patah arang. Ia terus mendatangi orang-orang yang memegang kebijakan terkait, termasuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang saat itu masih menjabat sebagai Menteri Pertambangan dan Energi, dan menjelaskan agar sistem pembelian listrik dari pembangkit mikro hidro diterapkan di Indonesia. Usahanya baru membuahkan hasil  setelah menjalani perjuangan selama 5 tahun yang melelahkan. Pada Agustus 1999, untuk pertama kalinya dalam sejarah, PLN membeli listrik dari rakyat. Sistem penjualan listrik ke PLN dan masuk jaringan nasional tersebut diatur dalam Kepmen ESDM 1122 K/30/MEM/2002 tentang Skema Pembangkit Listrik Kecil Teknologi Energi untuk Rakyat dengan Sumber Energi Terbarukan. Dan Puni ikut membantu dalam merumuskan peraturan itu.

“Keinginan saya sederhana. PLN bersedia membeli listrik dari rakyat. Jadi, saya ketuk pintu ruang Dirut PLN, saya datang ke kantornya setiap hari, sampai semua yang ada di sana muak melihat muka saya. Saya tidak akan berhenti datang, sebelum mereka menyetujui ide saya tersebut. I am a woman dan saya sabar menunggu sampai bisa mendapatkan apa yang saya inginkan,” ujar perempuan yang mendapatkan penghargaan Ashoka Fellow tahun 2006 berkat usahanya mewujudkan sistem pembelian listrik dari pembangkit yang dimiliki oleh masyarakat di desa-desa.

“Jika anda memperjuangkan sesuatu hal di Indonesia, maka perlu konsistensi, fokus, dan memiliki endurance yang kuat,” tambahnya. 

***

Begitu peraturan disahkan, Puni bercita-cita agar seluruh desa di Indonesia memiliki PLTMH sendiri, jadi masyarakat desa bisa memiliki pemasukan untuk kas desanya. Baginya, PLTMH bisa menjadi alat yang powerful untuk menciptakan kesejahteraan yang merata di seluruh Indonesia. Sejak berhasil membangun PLTMH Curugagung, Puni bersama IBEKA melanjutkan misinya itu ke seluruh Indonesia.

Sudah 78 pembangkit yang berhasil dibangun dan 9 diantaranya menghasilkan listrik untuk dijual ke PLN, salah satunya adalah pembangkit di desa Cinta Mekar. Dalam setahun Puni bisa mengerjakan 2-5 proyek listrik pedesaan. Dana yang dibutuhkan berkisar antara 1 sampai 10 miliar Rupiah, tergantung dari seberapa besar kapasitasnya. Dana tersebut biasanya Puni dapat dari hibah atau lembaga sosial luar negeri yang bersedia membantu.

Proses pembangunannya dijalankan secara mandiri tanpa bantuan dari pemerintah. Dari mulai mencari desanya, merancang, dan menyiapkan masyarakatnya. Masyarakat diwajibkan untuk koperasi atau lembaga semacamnya sebelum proyek pembangkit berjalan karena nantinya kepemilikian pembangkit berada di tangan masyarakat dan mereka juga harus ikut terlibat dalam proses pembangunannya.

Dalam setiap proyeknya, Puni selalu membagi 2 tim kerja; tim sosial dan tim konstruksi. Tim Sosial bertanggungjawab pada hal-hal yang terkait dengan kemasyarakatan, sedangkan tim konstruksi bertugas membangun pembangkit. Butuh waktu 6 hingga 9 bulan bagi tim sosial untuk mempersiapkan masyarakat, menyadarkan kepada mereka betapa pentingnya membayar tarif listrik, dan melatih mengoperasikan pembangkit. Membangun pembangkitnya sendiri membutuhkan waktu 1 tahun.

“Proses seperti itu bisa terjadi kalau kita live-in. Tinggal bersama masyarakat. Makanya konsep live-in itu menjadi syarat mutlak untuk proses pembangunan yang kami jalankan. Saya tidak mau menjalankan proses yang dijalankan oleh pemerintah. Mereka datang, membangun dengan dana APBN, kalau rusak nanti  membangun lagi. Itu namanya proyek berkelanjutan, proyeknya selalu ada, bukan pembangunannya. Seharusnya kan masyarakat juga dididik untuk bisa merawat fasilitas yang sudah dibangun,” terang Puni.

***

Listrik hanya menjadi alat, karena tujuan akhir dari kegiatan membangun yang Puni lakukan adalah memberikan akses yang sama terhadap ekonomi dan informasi, yang berujung pada kemakmuran bagi siapapun. Begitu masyarakat di pedesaan sudah memiliki listrik, yang dituju adalah bagaimana caranya agar kegiatan perekonomian di desa itu bisa terus dilakukan sehingga masyarakat mendapatkan income dan kesejahteraan.

Puni menyebut konsepnya ini sebagai bisnis sosial, di mana setiap individu yang terlibat melakukan kegiatan produktif yang disenangi dengan kesungguhan hati. Jauh berbeda dengan kegiatan perekonomian yang Puni rasakan di Indonesia saat ini, dimana kegiatan ekonomi yang terjadi kental dengan unsur pengumpulan modal, mencari keuntungan, dan menyimpan sebanyak-banyaknya. Bukan sebuah kegiatan yang digunakan untuk menciptakan kemakmuran bersama-sama.

“Jika desa itu berhasil membangun sebuah pembangkit listrik dengan kapasitas 1 MW saja, lalu listriknya dijual ke PLN, maka desa akan memiliki pemasukan sebesar 300 juta rupiah per bulan. Anda bisa bayangkan desa tersebut akan bisa berkembang seperti apa? Bisa membuat rumah sakit yang terbaik, sekolah yang bagus, dan lain-lain. Itu mudah diwujudkan jika pemerintah mau membuat aturan,” jelas Puni ketika ditanya kenapa ia tetap bertahan bersama IBEKA selama bertahun-tahun.

Namun perjuangannya tidak mudah. Banyak hambatan yang harus dilalui meski tujuan jelas untuk kemakmuran masyarakat Indonesia. Kini, banyak lokasi yang memiliki potensi pembangkit listrik sudah dibeli oleh pihak swasta, bahkan ada orang asing di belakangnya. Perusahaan swasta itu pun menjual listriknya ke PLN. Uangnya? Jelas mereka yang menikmati, bukan masyarakat desa. Hal inilah, yang menurut Puni, merupakan akar permasalahan dari lahirnya kemiskinan. Kemiskinan terjadi karena masyarakat dipisahkan dari sumber daya alam yang ada di sekitar lingkungan hidupnya.

“Dulu founding fathers kita ingin negara ini dibangun atas asas gotong royong. Sekarang ini malah berubah menjadi asas kapitalistik dimana orang berlomba-lomba mengakumulasi modal sehingga seringkali mengorbankan aspek keadilan dan banyak juga mengorbankan kepentingan orang lain. Atas dasar apa satu orang di negara ini bisa menguasai sekian ratus ribu hektar hutan? Sementara rakyat mau bertani saja tidak memiliki lahan. Global poverty occured due to disconnection  with the local resources and local community,” pungkasnya.

***

Small step, but meaningful. Inilah yang selalu menjadi keyakinan Puni dalam mewujudkan mimpi-mimpinya. Melangkah dengan penuh keyakinan bahwa ia mampu berkontribusi menyejahterakan bangsanya sendiri. Ketika Indonesia sedang mengalami krisis pemimpin yang bisa mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat, sosok Puni bisa membantu kita mengingat kembali apa yang sebenarnya dibutuhkan oleh rakyat Indonesia. Kebutuhan akan pemimpin yang memiliki visi, memiliki orientasi “what is the best for my people”, bukan “the best for my family or for my group”.

“Semua rintangan bisa dihadapi. Saya rasakan sendiri, bagaimana saya tidak memiliki resources apa-apa, hanya keyakinan bahwa orang-orang di Sumba harus memiliki jaringan listrik. Nah, ketika saya ke Eropa untuk mencari bantuan dana, saya mendapatkan banyak kemudahan. Ketika pergi ke Jepang, tiba-tiba saya bertemu dengan seseorang yang mau membantu menyumbang. Semua tergantung seberapa besar keyakinan dan niat kita dalam membangun bangsa ini,” tegasnya ketika akan mengakhiri wawacara.

Dalam sebuah artikel pendek yang berjudul “Surat Untuk Generasi Muda Indonesia”, ia pernah menulis: Mimpilah seindah-indahnya, mulailah melangkah dengan langkah kecilmu, tapi kamu harus cepat dan cekatan. Hidup tidak boleh dihabiskan hanya untuk bicara saja, berangan-angan saja, namun lakukanlah sesuatu yang kongkret. Make things happen. Bekerja keraslah, berdisiplinlah dan jadilah bagian dari bangsa Indonesia yang berjaya dan berdaulat.