Monday, August 11, 2014

Punk Rock Is Still Alive and Well!



Superman Is Dead lahir sebagai ikon budaya pemberontakan dalam balutan sex, drugs, dan rock n’ roll. Kini setelah delapan belas tahun berlalu, mereka memilih berteriak lantang tentang ketidakadilan dan ketertindasan. So yea, punk rock is still alive and well!


 “Tentang tujuan reklamasi demi masa depan Bali, itu alasan yang amat sangat usang. Sudah terbukti tak satupun megaproyek berjalan sukses di Bali. Masyarakat Bali tidak pernah mendapatkan apa-apa dari megaproyek-megaproyek tersebut. Paling beruntung jadi satpam atau cleaning service saja,” ucap I Gede Ari Astina, sambil sesekali melemparkan pandangan ke arah jalan Poppies Lane 2 yang tak pernah sepi.

Sekitar awal bulan Desember 2013 lalu, saya dan fotografer Voice+ Riki Dior bertemu dengan salah satu personel Superman Is Dead itu di sebuah restoran milik sepupunya. Letaknya tidak jauh dari kawasan wisata Pantai Kuta. Selama berjam-jam kami habiskan waktu untuk berbincang soal kondisi Bali saat ini dan terkait masalah penolakan proyek reklamasi yang ia kampanyekan di media sosial. Dengan detil dan tertata, ia menjelaskan seluruh alasan penolakan tersebut kepada saya.

Pada 26 Desember 2012 Gubernur Bali Made Mangku Pastika membuat Surat Keputusan bernomor 2138/02-C/HK/2012 tentang pemberian ijin  dan hak pemanfaatan, pengembangan dan pengelolaan wilayah perairan Teluk Benoa seluas 838 hektar dengan jangka waktu 30 tahun kepada sebuah perusahaan swasta PT. Tirta Wahana Bali International.

Rencananya perusahaan tersebut akan melakukan reklamasi atau perluasan pulau guna membangun sebuah kawasan wisata terpadu yang dilengkapi dengan tempat ibadah untuk lima agama, taman budaya, taman rekreasi sekelas Disney Land, rumah sakit internasional, perguruan tinggi, perumahan marina lengkap dengan dermaga yacht pribadi, apartemen, hotel, areal komersial, dan lapangan golf.

Meski akhirnya SK mengenai reklamasi tersebut telah dicabut pada 17 Agustus 2013 lalu, namun I Gede Ari Astina dan dua personel Superman Is Dead lainnya, bersama beberapa seniman, musisi, aktivis Bali dan masyarakat sipil lintas sektoral tetap melakukan kampanye penolakan terhadap rencana reklamasi. Mereka membentuk sebuah aliansi yang dinamakan Forum Rakyat Bali Tolak Reklamasi (ForBALI).

Sejak Juli hingga Oktober 2013, ForBALI kerap melakukan aksi demonstrasi di ruang-ruang publik dan juga di depan kantor Gubernur Bali. Cara-cara lain yang lebih populis pun mereka lakukan. Membuat konser gratis dengan menggandeng beberapa musisi Indonesia, seperti Glenn Fredly dan Iwan Fals,  menyebarkan video dokumenter melalui media sosial, hingga membuat kaus yang bertuliskan “Bali Tolak Reklamasi”.

Kasus ini sedemikian pentingnya bagi seseorang yang berada di balik proyek reklamasi, sehingga gerakan ForBALI pun sering mendapat teror dari ormas-ormas bayaran dan pihak-pihak lain yang tidak ingin suara mereka  terlalu keras menolak. Menurut penuturan I Gede Ari Astina, atau lebih dikenal dengan nama Jerinx, beberapa kali konser yang diadakan dengan isu reklamasi selalu didatangi oleh sekelompok orang yang berbadan kekar. Walaupun tidak melakukan tindakan yang berujung pada kekerasan, tapi kehadiran mereka cukup memberikan tekanan yang berarti secara psikologis terhadap orang-orang yang ingin mendukung gerakan ForBALI. Akibatnya, konser-konser setelah itu sepi pengunjung.

Teror serupa juga dialami oleh Jerinx. Setelah ia cukup aktif terlibat demonstrasi, beberapa orang dengan ciri-ciri berbadan tegap, berambut cepak, datang ke bar dan studio tato yang ia miliki. Mereka menanyakan alamat tempat tinggal Jerinx tinggal ke pegawai yang ada di situ.
“Saya yakin proyek reklamasi Teluk Benoa ini adalah proyek 'pesanan' dari pihak yang lebih kuat dan berkuasa dibanding Gubernur. Namanya manusia pasti mempunyai rasa takut, tapi dengan berjejaring dan berkolaborasi tentu sebuah gerakan juga akan semakin kuat. Selagi kami masih punya power, punya niat dan kepercayaan diri, ya kami akan tetap melawan,” ujarnya dengan penuh keyakinan.

Terkait persoalan reklamasi, sebagian masyarakat Bali ternyata pernah mengalami pengalaman yang buruk. Jerinx bercerita kepada saya jika proyek serupa pernah dilaksanakan  di Pulau Serangan, Bali Selatan, sekitar tahun 90-an. Pulau Serangan direklamasi sekitar 220 hektar yang rencana awalnya akan dibangun hotel dan infrastruktur pariwisata lainnya. Masyarakat sekitar juga dijanjikan akan diberikan lapangan pekerjaan.  Namun dampak negatif yang diakibatkan dari proyek reklamasi tersebut jauh lebih besar.
Reklamasi telah mengubah tatanan perilaku, etika, maupun budaya warga, termasuk mengubah sumber penghidupan warga setempat. Kini, warga Serangan tidak lagi menggantungkan sumber penghidupan dari hasil laut karena ikan-ikan konsumsi sudah menghilang dari perairan Serangan. Begitu pula dengan predikat Serangan sebagai Pulau Penyu yang tinggal kenangan lantaran satwa penyu sudah sangat jarang mendarat di Serangan untuk bertelur.

“Saat itu pun timbul pertentangan dari sebagian kelompok masyarakat yang tidak menyetujui proyek reklamasi tersebut. Sayang, skalanya sangat kecil dan tidak banyak tokoh masyarakat yang ikut menentangnya. Akhirnya reklamasi tetap dilakukan meski kemudian berhenti. Sekarang bekas proyek reklamasi di Pulau Serangan dibiarkan terbengkalai begitu saja. Hanya ada daratan kering dan berdebu. Akibatnya masyarakat sekitar yang umumnya nelayan kini kehilangan mata pencaharian utamanya,” katanya, menjelaskan

Hal senada juga dilontarkan oleh I Made Putra Budi Sartika alias Bobby sang vokalis dan I Made Eka Arsana ketika saya temui awal Desember lalu di Bandung, sesaat sebelum Superman Is Dead tampil dalam sebuah acara musik. Mereka berdua sangat menyayangkan jika rencana pemanfaatan, pengembangan, dan pengelolaan wilayah perairan Teluk Benoa malah akan mengakibatkan kerusakan alam secara permanen.

Namun dengan segala sikap penolakan keras yang mereka tunjukkan, Bobby dan Eka tidak ingin Superman Is Dead dicap sebagai band yang anti terhadap pembangunan. Menurut mereka pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah seharusnya berjalan dengan lebih merata dan sesuai dengan kondisi lingkungan Bali saat ini. Toh, mereka merasa keuntungan dari pembangunan atas nama pariwisata yang selama ini terjadi pun tidak banyak dirasakan oleh masyarakat Bali. 

“Segala sesuatu tidak ada yang sempurna, pasti mengalami perubahan. Kami tidak anti pembangunan. Pembangunan memang penting untuk meningkatkan perekonomian. Apapun yang ingin mereka bangun, kami setuju, selama tidak menggunakan lahan konservasi atau yang dilindungi, karena itu bisa merusak kelestarian alam di Bali. Dulu Bali yang dikenal sebagai pulau surga, mungkin sebentar lagi akan berubah menjadi pulau neraka,” ujar Bobby.

 “Kami yakin reklamasi ini nantinya hanya akan memberikan dampak buruk bagi lingkungan dan masyarakat sekitar, karena di Tanjung Benoa itu statusnya termasuk dalam wilayah konservasi alam. Cukup sudah Bali diperas dan dikuras atas nama pariwisata. Cukup sudah warga Bali menjadi budak dan penonton di tanahnya sendiri. Ini saatnya kami melawan!” tegas Jerinx.

Diambang Kehancuran
Sekitar tahun 2002, Prof. Dr. I Gusti Ngurah Bagus, seorang ahli kajian budaya Indonesia dari Universitas Udayana, pernah melontarkan kritik keras terhadap usaha pembangunan Bali yang hanya bertumpu pada sektor pariwisata. Firasatnya benar, perekonomian Bali jatuh ke titik nadir pasca tragedi Bom Bali 1 (12 Oktober 2002) dan Bom Bali 2 (1 Oktober 2005). Sektor pariwisata di Bali, khususnya di bagian Selatan, mengalami keterpurukan. Ekonomi masyarakat melemah. Banyak usaha pariwisata tidak mampu bertahan. Akibatnya, banyak anak-anak muda di Bali tidak memiliki lapangan pekerjaan. Pemerintah kemudian membuka pintu selebar-lebarnya bagi siapapun yang ingin berinvestasi di Bali. Mau tidak mau masyarakat lokal pun banyak yang menjual tanahnya kepada investor agar bisa bertahan hidup.

Beberapa tahun berselang, kawasan Bali Selatan kembali bergeliat. Semakin banyak investor melirik Bali sebagai ladang untuk membuka lahan bisnis pariwisata yang sangat menjanjikan. Wisatawan dari dalam maupun luar negeri kembali berdatangan.Tergiur dengan besarnya keuntungan yang akan diraih, Masyarakat pun semakin banyak yang menyerahkan lahannya kepada para investor, yang rata-rata berasal dari luar Bali. Kini hotel-hotel mewah, kondominium, dan shopping mall menjadi pemandangan yang lumrah anda jumpai ketika mengunjungi kawasan tersebut. Bali kembali menyandang status sebagai kerajaan pariwisata terbesar di Indonesia, menjadi salah satu destinasi wisata yang wajib dikunjungi.

Perkembangan yang sedang dialami Bali ini justru menimbulkan keresahan dalam diri Jerinx, Eka dan Bobby. Dengan jeli, mereka melihat dan merasakan bagaimana dampak perubahan yang terjadi juga memberikan pengaruh buruk terhadap lingkungan alam, sosial masyarakat, dan sifat turis yang datang. Menurutnya, sejak 10-15 tahun terakhir kawasan Bali Selatan seperti daerah Kuta, Nusa Dua, Seminyak dan Canggu telah dikeruk dan dieksploitasi secara berlebihan, tanpa berpikir dampaknya bagi masyarakat dan kelestarian alamnya itu sendiri.
Sayangnya, menurut mereka, masih banyak masyarakat lokal tidak sadar akan dampak yang akan timbul dari semua itu. Ketika struktur sosial dan ekologinya sudah hancur secara permanen, Bali tidak lagi memiliki daya tarik karena sudah terlalu padat.Ketika orang sudah enggan untuk datang ke Bali, masyarakat lokal juga yang akan menanggung beban paling besar.

“Sekarang masyarakat lokal bali sudah seperti mesin karena mindset mereka didesain atau dikondisikan untuk mendewakan pariwisata. Pariwisata itu memang penting, tapi jangan sampai didewakan. Jangan sampai kita merasa tanpa turis kita tidak akan bisa bertahan. Persetan dengan itu semua. Saya rasa turis yang lebih memerlukan Bali bukan sebaliknya,” ucap Jerinx.

Mereka merasakan kawasan Bali Selatan kini sudah terlalu padat. Pengerukan sumber daya ekonomi terjadi tanpa kendali. Pembangunan hotel berbintang dan mal sudah melebihi kapasitas yang seharusnya. Banyaknya investor yang datang tidak disaring oleh pemerintah daerah. Menurut Jerinx pemerintah daerah yang benar-benar bekerja untuk rakyat, seharusnya memiliki kesadaran untuk melindungi rakyatnya. Memikirkan bagaimana caranya rakyat berdaulat di tanahnya sendiri. Pemerintah memiliki kewajiban untuk mengedukasi masyarakatnya agar tidak cepat menjual tanahnya, tidak terlalu mudah menjual propertinya kepada orang asing. Banyak masyarakat yang tidak sadar akan dampak dari hal itu, karena masyarakat tidak menerima penyadaran dari pemerintah.

“Saya lihat pemerintah juga tidak peduli dengan hal itu. Pemerintah membiarkan saja masyarakatnya menjual tanah pada investor asing. Sekarang banyak kawasan yang seharusnya menjadi jalur hijau, malah dibangun hotel. Daerah pinggir pantai yang seharusnya milik masyarakat lokal, malah dijual ke hotel-hotel. Beberapa pantai akhirnya di klaim menjadi lahan atau aset pribadi,” tuturnya.

Jerinx kemudian mencoba membandingkan suasana di Kuta hari ini dengan suasana ketika dulu dirinya masih duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama. Saat itu siapapun yang datang ke daerah Bali Selatan masih merasakan suasana pedesaan yang sangat nyaman. Belum ada hotel mewah dan mal yang berdiri. Belum ada bar atau kafe yang buka hingga dini hari dan memutar musik keras-keras. Para wisatawan yang datang ke Bali pun masih memiliki etika dan rasa hormat terhadap masyarakat lokal. Dulu masyarakat lokal tidak memperlakukan turis sebagai komoditas. Lebih seperti teman dan tidak materialistis.

“Daerah Kuta, Seminyak, dan Canggu ini kan sebenarnya adalah desa. Masyarakat adat di sini juga perlu untuk mengadakan upacara adat, perlu ketenangan. Anak-anak kecil juga memerlukan tempat yang mendukung dalam proses tumbuh kembang mereka. Bagaimana anak-anak itu bisa belajar dengan nyaman kalau setiap hari melihat kemacetan, orang-orang mabuk di jalan, dan tempat hiburan menyetel musik keras-keras sampai pagi?” ujar Jerinx.
“Kemana Bali yang dulu? Bali yang bersahabat, hangat, dan bertradisi, yang tidak mewah tapi nyaman? Dulu bangunan tidak boleh lebih tinggi dari pohon kelapa. Sekarang peraturan itu sudah banyak dilanggar,” tambahnya.

It’s a Long Way to The Top
Delapan belas tahun yang lalu, Bobby, Eka, dan Jerinx bukanlah sosok pemuda Bali yang memiliki bakat cemerlang di dunia musik. Mereka tidak pernah berpikir untuk membentuk band yang kelak dikontrak oleh label rekaman besar, memiliki jutaan penggemar, dan menjalani tur ke banyak daerah di Indonesia, bahkan hingga ke Amerika Serikat. Tidak ada ambisi yang terlalu menggebu untuk menjadi musisi tenar dan digandrungi banyak anak muda. Bagi ketiga berandalan Poppies itu, bermain musik hanyalah soal bersenang-senang dan menyalurkan hobi.

Pertemuan Jerinx dengan Bobby pada tahun 1995 menjadi cikal bakal terbentuknya Superman Is Dead. Suatu hari, ketika Jerinx sedang berlatih drum di kamar tidur merangkap studio band miliknya, datang seorang teman yang ingin mengenalkan Bobby pada dirinya. Kesamaan minat terhadap dunia musik membuat mereka cepat mengakrabkan diri. Jerinx memang sebelumnya pernah memiliki band yang sering mebawakan lagu-lagu dari Nirvana dan Guns N’ Roses, sedangkan Bobby adalah seorang penabuh drum dari band beraliran New Wave/Punk. Di tempat yang sama, mereka berdua juga berkenalan dengan Eka.  Setelah beberapa kali bertemu dan sama-sama tertarik dengan warna musik yang dibawakan oleh Green Day dan NOFX, mereka pun sepakat untuk membentuk sebuah band punk.  

“Awal membentuk band, umur kami masih belasan tahun. Cara berpikir kami masih sempit. Nge-band ya untuk party, have fun, bisa minum alkohol gratis, ya begitulah, sangat sempit. Benar-benar hanya ingin bersenang-senang. Santai sekali. Tidak ada mimpi besar apapun,” papar Eka, menjelaskan.

Tahun 1997, Superman Is Dead merilis secara indie album pertama mereka yang berjudul Case 15. Kemudian album Superman Is Dead tahun 1998, dan Bad Bad Bad di tahun 2002. Ketiga album ini menjadi satu manifestasi dari sikap, pandangan hidup, dan definisi mereka terhadap arti punk itu sendiri. Lirik-lirik mereka lebih banyak bicara tentang kehidupan seputar Bali. Tidak banyak kritik sosial yang mereka lontarkan saat itu. Kehidupan di sekitar Kuta yang tak pernah lepas dari keriaan pariwisata memang lebih banyak mempengaruhi SID dalam proses menciptakan lagu dan menulis lirik.

“Dulu kami memang tidak terlalu peduli apa arti kata punk itu secara mendalam. Pokoknya kami nge-punk harus berandalan, harus slengean, harus berpakaian seperti ini, harus seperti itu. Dulu kehidupan kami hanya seputar bersenang-senang. Bali-minded. Lirik-lirik di album-album awal SID lebih kepada social-intern. Kami tidak pernah terpikir kalau album SID akan didengar oleh orang-orang di luar Bali. Hanya mau mengaktualisasikan diri aja,” ujar Bobby.

“Seingat saya, persoalan skill yang rendah dalam bermusik menjadi alasan utama kenapa kami memilih punk. Makanya kami lebih sering membawakan lagu-lagu Green Day, karena lebih mudah dimainkan. Belum terlalu mendalami lirik juga. Setelah itu kami mulai mengenal band-band punk yang lain seperti Bad Religion, Rancid, dan AFI, baru kami mengerti kalau ternyata punk rock itu memiliki spirit yang berbeda dengan genre musik yang lain. Ada semangat perlawanannya, ada ‘sikap jari tengah’ kepada masyarakat,” timpal Jerinx.

Memasuki tahun 2000, nama SID mulai ramai dibicarakan orang. Di luar dugaan dan entah bagaimana, album kedua SID beredar hingga ke Pulau Jawa dan Sumatera. Mereka sering menerima tawaran untuk manggung  di skena underground luar Bali. Musik mereka banyak diulas oleh fanzine-fanzine lokal. Tak jarang wajah mereka pun terpampang di media cetak nasional.

Yogyakarta menjadi kota pertama yang mereka kunjungi. Setelah datang tawaran untuk manggung di Jakarta. SID melejit menjadi band punk yang semakin dikenal dan disukai oleh kalangan anak-anak muda. Momen kemunculannya bertepatan dengan fenomena Blink 182 yang saat itu sedang menjadi idola baru. Tidak jarang banyak orang yang kemudian membandingkan SID dengan Blink 182, karena jumlah personel yang sama, bertato dan gaya bermusik yang tidak jauh berbeda. Sebutan “Blink-nya Bali” kerap menjadi label yang melekat di SID.   

Kepopuleran SID yang terus meningkat membuat mereka dilirik oleh beberapa perusahaan rekaman besar di Jakarta. Ada empat major label yang sempat menawari kerjasama dengan SID, namun mereka menjatuhkan pilihan pada Sony Music Indonesia karena pertimbangan permintaan label rekaman yang mereka nilai tidak terlalu membatasi dalam urusan bermusik. SID diberi ruang kebebasan yang cukup luas dalam berkesenian.

Namun, penandatanganan kontrak album dengan pihak Sony Music Indonesia tersebut justru menimbulkan banyak pertentangan dari banyak komunitas punk. Berbagai macam kecaman dan cap pengkhianat dialamatkan kepada ketiga personel SID. Mereka dinilai tidak lagi mengusung semangat yang selama ini dipegang teguh oleh komunitas punk, semangat DIY atau Do It Yourself.

So be it. Jerinx, Bobby dan Eka tidak ambil pusing soal pertentangan yang terjadi, walaupun mereka  sering mengalami perlakuan diskriminatif selama menjalani tur album Kuta Rock City (2003) ke berbagai daerah di Indonesia. Mereka memiliki pandangan lain mengenai keputusan untuk bekerja sama dengan major label dan meyakini bahwa hal tersebut tidak membuat mereka kehilangan prinsip hidup seorang punker.    

“Saya tidak bisa menyalahkan berbagai pendapat yang muncul saat itu, karena pada prakteknya 99% label rekaman memang seperti diktator terhadap band. Kalau kita memang total melawan kapitalisme, maka harus mampu melihat konteksnya secara luas. Kalau kamu bisa memperkenalkan punk rock, membawa pesan-pesan yang ingin kamu sampaikan ke publik yang lebih luas, tanpa harus dikontrol sepenuhnya, kenapa tidak kamu ambil kesempatan untuk bekerjasama dengan major label?” kata Jerinx.

Resistance to Tyranny
Setelah bergabung dengan Sony, tiga berandal Poppies ini tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan yang sudah berada di genggaman. Mereka semakin liar dalam berkarya dengan segala kelonggaran dan kebebasan dalam bermusik yang diberikan oleh pihak label. Album major label pertama mereka bertajuk Kuta Rock City yang dirilis tahun 2003 semakin mengukuhkan posisi mereka di dunia musik Indonesia sebagai band punk rock dengan penjualan album paling laris. Kuta Rock City terjual ratusan ribu copy dan mendapat Double Platinum dari Sony Music Indonesia.

Melalui album Kuta Rock City mereka mencoba menunjukkan identitas mereka kepada publik sebagai anak muda yang melawan dan tak mau diatur oleh tatanan norma masyarakat. Suasana “sex, drugs, and rock n’ roll” yang dibalut dengan nada-nada sederhana terasa sangat kental di album ini. Mereka sama sekali tidak memiliki minat untuk berbicara soal kritik sosial maupun politik. Mereka hanya ingin mengaktualisasikan tentang kehidupan dan apa yang mereka rasakan. Tentang nikmatnya minum alkohol dan bergembira bermain musik.  
Setelah Kuta Rock City, musikalitas Superman Is Dead berkembang semakin matang. 

Popularitasnya pun kian menanjak. Undangan tampil di berbagai daerah di Indonesia kerap mendatangi mereka. Namun dalam perjalanannya, segala ketenaran yang menghampiri mereka, segala kenyataan tentang Indonesia yang mereka lihat, justru membuat mereka memiliki pandangan baru tentang arti sebuah perlawanan sebagai seorang punk.

Ya, mereka masih tetap bermusik dan berkesenian, walaupun teriakan lantang mereka tidak lagi melulu soal sex, drugs dan rock n’ roll. Kini tiga pemuda Bali itu lebih tertarik untuk menciptakan keresahan dan menunjukkan sikap pembangkangan kepada siapapun yang memiliki kekuasaan untuk menindas. Termasuk kepada pemerintah, jika menurut mereka seluruh kebijakan yang dibuat tidak berpihak pada kepentingan kesejahteraan masyarakat. Seperti apa yang pernah dikatakan oleh Henry Rollins, punk isn't about mohawks or studded leather, it's about resistance to tyranny in any form

Perubahan dari sisi penulisan lirik begitu terasa di album Hangover Decade (2004), Black Market Love (2006), Angels and The Outsiders (2009), dan yang baru saja dirilis tahun 2013, Sunset DI Tanah Anarki. Sejak  Hangover Decade, mereka mulai menulis lirik yang berbau kritik sosial dan politik. Tiga album setelah itu, lirik yang mereka ciptakan semakin berhasrat bicara tentang kemanusiaan, penolakan terhadap kekerasan, keberagaman dan kesetaraan.

“Setelah Hangover Decade  kami mulai bicara tentang permasalahan sosial. Kami mulai sering tur keliling Indonesia dan melihat Indonesia yang sebenarnya secara langsung. Sedih, karena ternyata di pelosok-pelosok Indonesia masih banyak masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan dan tinggal di rumah yang tidak layak,” tukas Bobby.

Lirik mereka semakin keras di album Black Market Love. Seluruh amarah tumpah di setiap barisan kata-kata yang mereka tuliskan. Perlakuan diskriminatif yang sempat mereka terima ketika dihujam isu rasial dan peristiwa bom Bali yang terjadi dua kali sangat mempengaruhi proses kreatif di album ini. Eka menuturkan bahwa album ini adalah ungkapan rasa marah dan jengah terhadap segala peristiwa yang mereka alami. “Dulu kami tidak memiliki rasa amarah. Setelah mata kami semakin terbuka dan pola pikir kami berubah, rasa marah itu kemudian muncul. Dan rasa itulah yang kami tuliskan,” tuturnya.

Di sisi lain, bagi Jerinx, peristiwa pengeboman di Bali adalah pemicu dirinya mulai mempertanyakan keberagaman yang selama ini menjadi daya tarik negara Indonesia. Kala itu ia merasakan efek yang ditimbulkan dari peledakan bom yang terjadi. Rumahnya hancur dan terpaksa harus menerima kenyataan bahwa ia kehilangan beberapa temannya saat Bom Bali I. Di titik itu, ia merasa bahwa Bhinneka Tunggal Ika hanyalah omong kosong belaka. “Ya, banyak terdapat rasa marah di situ. Setelah bom bali itu terjadi baru saya sadar. Wah ini nggak Bhinneka Tunggal Ika. Ada satu golongan yang merasa dirinya paling benar dan merasa paling berhak untuk hidup di Indonesia. Kami coba lawan itu!” ujar Jerinx.

Arah pemberontakan Superman Is Dead menjadi semakin terlihat jelas di album Sunset Di Tanah Anarki. Sebuah pemberontakan untuk menciptakan peluang  perubahan. Selama empat tahun sejak merilis album Angels and The Outsiders pada Februari 2009, mereka telah melalui serangkaian proses dalam menciptakan amunisi untuk menghancurkan segala bentuk ketidakadilan dan ketertindasan. Suka atau tidak suka, inilah wajah Superman Is Dead saat ini. Mereka pun tak segan melontarkan kritik tajam kepada generasi muda Indonesia yang cenderung individualis, konsumtif dan tak lagi haus akan perubahan atas segala kondisi yang dirasakan saat ini.

“Saya selalu berusaha untuk membuat lirik yang kuat sekaligus terdengar indah. Saya menulis dari apa yang saya lihat dan rasakan,seperti ketertindasan, kesendirian, keputusasaan dan kegembiraan. Melalui kekuatan lirik, SID mencoba menciptakan pemicu bagi para Outsider dan Lady Rose (Sebutan untuk penggemar SID-red) agar menjadi anak muda yang peduli terhadap lingkungan sekitar, memiliki karakter yang kuat, dan tidak individualistik. Lawanlah kecenderungan-kecenderungan yang membuat kamu menjadi mati rasa dan konsumtif,” papar Jerinx yang menulis sebagian besar lirik lagu di album terbaru SID.

Hidup Kami Bukan Hanya Musik
Jika diminta mendefinisikan arti kata punk, mungkin saya akan meminjam kalimat yang pernah diutarakan oleh seorang penulis lagu sekaligus personel band new wave tahun 70-an asal Amerika Serikat, David Byrne. Ia mengatakan,“Punk was defined by an attitude rather than a musical style.” Dan definisi itulah yang saya lihat melekat pada Superman Is Dead saat ini.

Beberapa kali, SID terlibat di banyak  aktivitas sosial. Dari mulai aksi bersih-bersih pantai yang mereka lakukan sejak tahun 2005, demonstrasi menolak reklamasi, menginisiasi kampanye Bali Not For Sale, hingga terlibat aktif di konser amal Hope Together yang bertujuan untuk mengumpulkan dana bagi keluarga seorang buruh bangunan di Bali. Rasa muak melihat ketimpangan sosial yang begitu tinggi, menjadi api terbesar yang mendorong mereka melakukan itu semua.

“Hidup kami bukan hanya musik saja, maksudnya ada hal lain yang juga harus kita lakukan. Ada banyak gerakan-gerakan lain yang harus kami kerjakan. Kami diberkati dengan ketenaran, maka kami harus bisa memberikan contoh yang positif bagi penggemar-penggemar SID di mana saja. Agar mereka tidak menjadi manusia yang hanya bisa mengambil, tanpa pernah bisa memberi,” tutur Bobby.

Senada dengan Bobby, Jerinx mengatakan jika sejak awal SID terbentuk di tahun 1995, uang dan ketenaran tidak pernah menjadi prioritas utama dalam bermusik. Selalu ada hal-hal lain yang juga menjadi passion mereka, yaitu perubahan, gerakan sosial, dan pemberontakan. Ia mengaku tidak asing dengan konser amal maupun kampanye-kampanye yang bersifat sosial dan edukasi. Perjalanan selama delapan belas tahun telah meyakinkan mereka bahwa kekuatan musik, lirik, dan aksi nyata bisa membantu siapapun melewati masa-masa terberat.

Setelah melewati proses dan pergulatan selama delapan belas tahun, ada satu hal yang tetap mereka yakini hingga saat ini. Bahwa jika berbicara mengenai punk, berarti bicara tentang perlawanan dan perubahan. Tentang menjadi manusia merdeka. Dan tanpa usaha nyata meraih keadilan, kemerdekaan hanyalah mimpi semata.

"Punk membantu saya menemukan jati diri dan arah perjuangan saya sebagai manusia. Cita-cita saya sederhana, yaitu menjadi manusia merdeka. Merdeka dalam menjadi diri sendiri. Merdeka dalam membela apapun yang saya percaya dan yakini. Saya ingin nusantara ini berhenti menghakimi seseorang hanya karena ia berbeda. Saya ingin membakar semua paradigma usang yang sudah terlalu lama menjauhkan bangsa ini dari kemerdekaan yang sejati," ucap Jerinx.



No comments:

Post a Comment