Monday, August 25, 2014

Produsen Gitar Lokal, Berkualitas Global

Selain masalah teknis, kemampuan mengubah pola pikir konsumen turut menentukan keberhasilan  usaha pembuatan gitar merek lokal. Produsen sulit bertahan jika gagal mengatasinya.



Semula kedua tantangan bisnis pembuatan gitar tersebut sama sekali tak diketahui oleh Toien Bernadhie, produsen gitar lokal merek Radix. Ia betul-betul awam. Namun ia memiliki tekad kuat. Hal itu tampak dari keberaniannya mengambil keputusan penting dalam hidupnya, yaitu berhenti bekerja untuk menjadi pengusaha pada tahun 1998. Langkah ‘revolusioner’ itu diambil karena Toein tak pernah bercita-cita menjadi karyawan. Praktis banyak orang-orang dekatnya yang ketar-ketir. Kekhawatiran mereka masuk akal lantaran Toein menanggalkan status karyawan dan memulai bisnis saat Indonesia sedang dilanda krisis ekonomi. Dan di depan mata, saat itu, jumlah perusahaan yang tutup tak bisa dihitung dengan jari.

Toein menepis semua kekhawatiran itu dan bersama seorang temannya melenggang dengan rencana bisnis pembuatan jam dinding dari bahan kayu. Ia optimis bahwa bisnisnya itu akan mendulang untung. Usaha ini sukses, tapi akhirnya hanya menjadi semacam jembatan penghubung dengan bisnis impiannya di kemudian hari. Kini banyak orang mengenal nama Toien sebagai seorang pembuat gitar listrik. Namanya tidak asing lagi di antara gitaris-gitaris Indonesia. Beberapa gitaris terkenal seperti Eet Syahranie, Rama Satria, sampai Lukman ‘Superglad’ telah menggunakan gitar buatannya. Bagaimana bisa?

Semua berawal di tahun 1995. Saat itu Indonesia baru saja mengenal internet. Surfing di dunia maya menjadi salah satu kebiasaan baru. Beruntung, Toein termasuk salah satu orang yang memiliki aterhadap koneksi internet di tempatnya bekerja. Perkenalannya dengan internet membuat ia berpikir untuk mewujudkan obsesi lamanya, membuat gitar.  Obsesi ini tergolong unik karena terus dipupuk meski sejak lulus kuliah pada 1988 Toein tak pernah bermain gitar lagi. Dari internet itu ia  mulai mengumpulkan beberapa brosur dari berbagai merek gitar terkenal, informasi mengenai cara-cara membuat gitar, sampai mencari blueprint-nya. Setelah mendapatkan seluruh informasi yang dibutuhkan, ia mulai belajar membuatnya. Namun, sebelum sempat berhasil membuat sebuah gitar, godaan berupa tawaran usaha datang menghampiri dirinya.

1998, krisis moneter melanda Indonesia. Banyak pengusaha gulung tikar, PHK dimana-mana. Tapi ia membuat keputusan besar dalam hidupnya. Ia berhenti jadi karyawan dan memilih tawaran temannya untuk memulai usaha pembuatan jam dinding yang terbuat dari kayu dengan merek Wellington. Usahanya berjalan lancar. Mereka hanya membutuhkan waktu sekitar satu hingga dua tahun untuk membuat usaha produksinya set up. Setelah dua tahun berjalan, ia mulai merasa jenuh. Tantangan sebagai pembuat jam dinding kayu sudah berkurang. Ia membutuhkan tantangan baru untuk  mengusir rasa jenuhnya. Ingatannya pun tertuju pada pembuatan gitar yang belum kelar beberapa tahun sebelumnya.

Toein pun memutuskan untuk melanjutkan obsesi lamanya dengan membuat gitar. Tak berbeda dengan sebelumnya, kali ini pun ia mengerjakannya sendirian: memilih kayu yang cocok, memotong, mendesain, membeli spare-part, hingga proses setting akhir.   “Gitar itu menarik, akhirnya saya mencoba membuat gitar hanya dengan panduan dari internet. Dulu saya nggak punya contoh fisik gitar saat pertama kali membuat gitar listrik. Saya belajar soal skala, cara menghitung jarak antar fret dan lain-lainnya ya melalui internet,” ungkap pria lulusan fakultas Kehutanan UGM tersebut mengisahkan.

Akhirnya satu gitar berhasil ia buat, namun setelah dihitung, modal yang ia keluarkan untuk membuat satu gitar saja jumlahnya sangat banyak. Biayanya cukup untuk membeli satu buah gitar kelas profesional dari merek terkenal seperti Fender atau Gibson. “Setelah dihitung-hitung, ternyata habisnya banyak, jumlahnya kalau saya belikan gitar baru dan bagus itu bisa. Akhirnya, saya memutuskan untuk dijadikan usaha, siapa tahu duitnya balik, dan harus,” ungkap Toien sambil tertawa.

Selalu Belajar dari Kesalahan

Tahun 2002, ia sudah siap dengan produksi gitar untuk pemula. Tentu saja gitar-gitar yang dibuat pada awal masa produksi belum menggunakan spesifikasi profesional. Meski perlahan, Toein melihat bisnis rintisannya itu berjalan. Saat itu, optimismenya kian meningkat. Alih-alih berharap gitar produksinya dikenal dan diminati oleh para gitaris pemula, Toein justru baru menyadari bahwa dirinya tidak mengetahui seluk beluk dunia bisnis gitar sama sekali. Saat itu ia pun tak mengenal satu orang pun yang bisa membantu menyelami seluk beluk usaha barunya itu. Namun masalah itu tak membuat dirinya kehilangan asa. Sebaliknya, ia merasa terus tertantang.

Pucuk dicinta, ulam pun tiba. Suatu malam ia berbincang dengan seorang kawan lamanya yang berprofesi sebagai jurnalis. Ia bercerita tentang usaha barunya. Siapa sangka, kawan lamanya itu mendukung apa yang sedang dirintis oleh Toien, dan berjanji akan mengenalkan dirinya ke salah satu gitaris dari band besar Indonesia, Mohammad Ridwan Hafiedz, atau lebih dikenal dengan nama Ridho Slank. Dari pertemuannya dengan Ridho, Toien berhasil menjalin sebuah kerjasama. Mereka berdua sepakat untuk memproduksi gitar asli buatan Indonesia. Ridho kemudian mengusulkan nama Marlique sebagai merek dagangnya.

Kerjasama itu berhasil menaikkan level seorang Toien Bernadhie sebagai pebisnis gitar. Ia semakin percaya diri dengan produk gitar yang ia hasilkan bersama Ridho. Gitarnya tak lagi dipandang sebagai gitar kelas pemula. Spesifikasi Marlique besutan Ridho tak diragukan lagi. “Tahun 2003, gitar pertama Marlique yang saya buat berwarna putih dengan motif bunga-bunga, sekarang dipajang di Hard Rock Cafe Bali,” ujarnya dengan bangga. “Setelah saya mampu memasang iklan, Marlique adalah produk alat musik pertama yang menggunakan musisi lokal sebagai ikon dan berani untuk menyebutkan bahwa produk ini adalah made in Indonesia,” lanjutnya.

Sekitar bulan November 2003, Toien memberanikan diri untuk mengikutkan produk gitar buatannya dalam sebuah pameran industri musik terbesar di Indonesia, Jakarta Audiopro Expo (JaPEx). Saat itu adalah kali pertama ia mengikuti sebuah pameran dan menunjukkan profil Marlique kepada para pengunjung. Setelah pameran itu, ia bertekad untuk mengerahkan seluruh energinya dalam menjalankan bisnis pembuatan gitar.  Break out-nya itu kira-kira di bulan November 2003, setelah pameran JaPEx pertama itulah saya tidak bisa mundur lagi, sudah ada dealer yang mau memasarkan produk Marlique,” ujar Toien. Sayang, tahun 2008 kerja sama dengan Ridho tidak bisa diteruskan. Nama Marlique tak lagi dipakai sebagai nama merek. Atas usulan Sony Ismail Robbayani, gitaris dari J-Rocks, Toien mengganti namanya menjadi Radix, diambil dari namanya sendiri.

“Sekarang banyak orang tahu saya adalah seorang pembuat gitar, tapi beberapa tahun lalu, saya tidak tahu cara memasang tremolo. Pernah dulu saya membeli spare part tremolo yang paling sederhana dari Fender, padahal saya tidak tahu cara memasangnya, itu memalukan,”ujarnya sambil terbahak. Konsistensi, saya rasa itu yang dimiliki oleh seorang Toien Bernadhie. Saya membayangkan bagaimana beratnya proses yang ia harus lalui hingga berada di posisinya saat ini. Dulu ketika ia bertekad untuk belajar membuat gitar, ia hanya mengandalkan koneksi internet. Menyerap semua informasi sampai mengaplikasikannya. Mengalami kegagalan? Itu sudah hal yang sudah biasa ia alami. “Ketika saya mulai membuat beberapa sampel gitar dengan teman-teman lama saat nge-band dulu, banyak kesalahan yang terjadi, gitar pertama yang saya buat tidak langsung menjadi gitar sempurna dengan kualitas yang baik. Bahkan saya pernah salah memasang tuas volume di gitar,” tambahnya.  

Tak Takut Bersaing

Menjadi pebisnis gitar di Indonesia bukan menjadi hal mudah untuk dijalankan. Apalagi jika produk yang dihasilkan memiliki label buatan lokal. Konsumen di Indonesia cenderung mempercayai produk-produk buatan luar negeri ketimbang dalam negeri, apalagi jika sudah menyangkut produk-produk elektronik, seperti alat musik. Tidak bisa juga menyalahkan perilaku konsumen yang seperti itu, semenjak “cintailah produk Indonesia” hanya sebatas slogan, tanpa ada usaha untuk meningkatkan mutu kualitas. Kita tidak bisa menutup mata bahwa memang tidak banyak produk-produk buatan Indonesia yang bisa bertahan di pasaran. Bagaimana mau dicintai oleh masyarakatnya sendiri jika tidak mampu bertahan oleh gempuran produk-produk buatan luar negeri.

Challenge terberat untuk di indonesia sendiri itu bagaimana caranya kita menemukan atau mendesain gitar yang authentic tapi masih masuk akal, karena gitar ini sudah ada sejak tahun 50-an. ‘Dewa-dewanya’ itu sudah muncul. Merek seperti Gibson atau Fender itu sudah seperti agama. kalau kita melihat stratocaster, ya seperti itu, kalau misalnya kita ubah bentuknya sedikit aja, orang akan aneh melihatnya. Makanya kita harus bisa menemukan desain yang keluar dari pakem itu. Pilihannya cuma dua kalau kita berhasil keluar dari ‘agama-agama’ itu; jadi bagus atau malah jadi aneh. Itu yang paling menantang buat saya,” tuturnya.

Ia sendiri mengakui banyak hambatan yang ia harus hadapai ketika memulai bisnis gitar di Indonesia. Bukan permasalahan teknis yang menjadi hambatan terberat, tetapi mengubah pola pikir konsumen itu sendiri. Ia mengatakan bahwa konsumen di Indonesia itu masih brand-minded. Tidak bisa disalahkan, karena merek-merek besar seperti Gibson, Fender, PRS, dan lainnya itu memang besar, bukan omong kosong. Mereka besar karena sudah punya reputasi dan lahir di jaman di mana musik-musik itu ditemukan. “Seperti saat kita ngomongin musik blues, kita nggak bisa lupa sama Fender seri Stratocaster. Karena musik Blues itu ya lahir dengan gitar Stratocaster. Saat musik blues ditemukan, Jimi Hendrix memainkannya dengan Stratocaster. Nah, sekarang saya harus bisa membuat gitar dengan karakter suara yang khas di era saat ini,” jelasnya.

Kualitas pembuatan gitar terus ditingkatkan, tapi masih saja banyak orang yang memandang sebelah mata. Jika bukan gitar buatan USA pasti dianggap tidak bagus, walaupun anggapan itu tidak sepenuhnya benar. Toien pernah iseng memperhatikan, sejak ia membuat Marlique tahun 2003, ia mulai menghitung berapa kali gitar buatannya itu dipakai oleh musisi untuk tampil di televisi. Sekitar lima tahun sejak gitar Marlique resmi dijual, baru ia melihat beberapa musisi yang tidak ia kenal menggunakan gitar buatannya.
Strategi bisnis yang diterapkan olehnya bukan menjadi hal baru di bisnis industri alat musik. Brand-brand besar pun telah memakai cara serupa sejak beberapa tahun yang lalu sampai sekarang. Untuk membuat produk gitar Radix mempunyai nilai jual dan mutu yang tinggi, Toien selalu mengeluarkan produknya dengan seri signature atau artist series. Strategi endorsment seperti ini telah banyak digunakan oleh brand-brand besar luar negeri, tetapi tidak banyak diadopsi oleh produsen lokal.

Soal desain dan spesifikasi gitar, Toien selalu bekerja sama dengan gitaris-gitaris ternama Indonesia. Setiap gitaris memiliki preference, karakter, dan pilihan masing-masing soal alat musik yang mereka mainkan. Radix telah mengeluarkan sepuluh jenis gitar hasil kerjasama dengan sepuluh gitaris Indonesia, antara lain Eet Sjahranie dengan Radix GES series-nya, Iwan Sang Gitaris Saint Loco dengan Radix The Saint series, Lukman dari SUPERGLAD dengan Radix Luks series, dan yang baru-baru ini diluncurkan Radix RIG series, hasil kerja sama dengan Rainaldi Ramadhan Item, anak dari musisi jazz Jopie Item.

“Jadi prosesnya begini, jika ada satu gitaris yang saya suka, saya ajak dia bekerjasama untuk membuat satu jenis produk gitar dengan memadukan spesifikasi dari saya dan yang dia tawarkan. Kami melakukan diskusi panjang sampai benar-benar menyepakati satu desain dan spesifikasi gitar yang akan dibuat,” ujar pria kelahiran 9 Juni 1964 itu menjelaskan. Ia mengakui, jika harus bekerja sendiri untuk mendesain sebuah gitar itu tidak mudah. “Saya bukan seorang gitaris profesional yang tahu model gitar itu seharusnya seperti apa. Bukannya saya tidak percaya diri, tapi saya lebih percaya dengan mereka yang lebih intens menggeluti musik daripada saya. jadi dia lebih tahu apa yang dibutuhkan oleh seorang gitaris,” tambahnya.

Harus Ngotot dan Rapi

Tidak hanya bersaing di pasar dalam negeri, gitar Radix pun telah merambah hingga Kanada dan Australia. Belakangan, Toien juga mendistribusikangitar Radix ke pasar Eropa secara lebih serius. Menurutnya menembus pasar Eropa jauh lebih mudah jika dibandingkan dengan pasar Asia, karena kebanyakan orang Asia masih tidak mau membeli produk buatan Asia sendiri, kecuali produk-produk yang dijual dengan harga yang murah. Harga satu gitar Radix di Eropa dijual dengan harga sekitar 1000-1200 Euro atau sekitar 15-17 juta rupiah. Awalnya Toien mengira gitarnya tak akan laku jika dibanderol dengan harga yang begitu tinggi, apalagi Radix adalah merek baru yang belum banyak dikenal di Eropa. Namun distributor yang membantu memasarkan gitar Radix ke Eropa lebih percaya diri. Mereka berhasil meyakinkan Toien bahwa harga setinggi itu masih layak, karena proses finishing gitar Radix masih mengandalkan tangan manusia. Produknya dinilai lebih halus dan sempurna dibanding gitar-gitar pabrikan yang dijual seharga 400-500 USD.

Apa yang membuat Toein begitu percaya diri jika gitar Radix mampu bersaing di pasar internasional? Baginya, siapa pun bisa membuat sebuah gitar dengan kualitas yang baik. Semua jenis gitar, mulai dari yang mahal sampai yang murah, mempunyai teknologi yang tidak jauh berbeda. Indonesia bisa menghasilkan gitar-gitar kelas dunia yang mampu menyaingi merek-merek terkenal buatan Amerika maupun Jepang. Toien melihat Indonesia memiliki sumber daya manusia yang mumpuni untuk ikut bersaing. Baginya, tenaga kerja Indonesia memiliki kemampuan untuk menghasilkan produk lokal dengan kualitas sejajar produk impor. Semuanya itu bisa dicapai jika SDM yang ada melakukannya secara teliti, ngotot, dan rapi.

“Indonesia memiliki orang-orang yang bisa mengerjakan itu semua, dengan bayaran yang masih masuk akal. Kalau kita bicara di Amerika, dengan bayaran setinggi itu, sebenarnya belum tentu bisa menghasilkan sebagus yang kita bayangkan. Yang kita belum bisa sejajar itu hanya reputasi. Untuk mendapatkan reputasi yang baik itu tidak mudah,” ungkapnya. Tetap bangga dengan label made in Indonesia, ia yakin mampu bertahan dan memiliki tempat di pasar dalam negeri maupun luar negeri. 

Konsistensi untuk membangun reputasi menjadi hal terpenting baginya selama menjalankan bisnisnya. Ia mengungkapkan bahwa targetnya saat ini bukanlah bagaimana menghasilkan uang sebanyak-banyaknya dari penjualan, tetapi yang tersulit adalah menjaga konsistensi agar banyak orang melihat gitar buatannya, buatan asli Indonesia, memiliki reputasi kelas dunia dan tidak lagi dipandang sebelah mata. “Reputasi itu tidak dibangun secara instan, butuh jangka waktu tertentu untuk menciptakannya. Saya percaya jika reputasi itu dibangun pasti juga nantinya akan menghasilkan kok. Dulu ketika pertama kali memproduksi 50 buah gitar, hanya dua yang terjual, sisanya reject, itu resiko, tapi tetap saya tidak menyerah,” tambahnya.

Sebelum gitar Radix terlahir, sudah banyak gitar dibuat dari tangan-tangan orang Indonesia, dengan atau tanpa nama merek Indonesia. Namun mereka enggan untuk mengaku sebagai produk Indonesia. Mereka takut akan kalah bersaing dengan merek-merek besar yang memang sudah sejak lama menguasai pasar dalam negeri. Mereka takut produk lokal buatannya tidak akan dilirik oleh konsumen Indonesia yang memang masih brand minded. Toien Bernadhie ingin mendobrak pola pikir seperti itu. Ia ingin memperlihatkan kalau orang Indonesia mampu dan seharusnya memiliki kebanggaan atas apa yang telah mereka lakukan. Ketika ditanya kenapa ia berani melakukan itu? Dengan penuh keyakinan ia menjawab, “Saya yakin, gitar buatan Indonesia itu laku, banyak disukai, dan saat ini saya melihat mulai banyak produsen-produsen gitar lokal yang mulai berani muncul ke permukaan. Tapi tetap kita tidak boleh kekurangan ide. Itu yang utama, Pungkas Toien, penuh semangat.


*Artikel ini telah dimuat dalam rubrik Special Report majalah VOICE+ Vol 5edisi Desember 2012

No comments:

Post a Comment