Saturday, August 16, 2014

Self Publishing; Publish Your Own Dream!

Self Publishing bukan fenomena baru penerbitan buku di negara-negara maju. Namun anehnya di negeri ini kurang mendapat harga. Haruskah berkarya itu spektakuler seketika?


Tasya Agustina tak mampu menyembunyikan perasaan kecewa saat penerbit lokal enggan menerbitkan naskah novel yang diajukannya. Spontan mahasiswi jurusan Teknologi Informasi semester akhir di Institut Teknologi Harapan Bangsa (ITHB) Bandung, Jawa Barat, itu tak mampu mengembangkan senyum yang biasa menghiasai wajahnya. Maklum, penolakan itu memaksa Tasya menunda cita-citanya untuk memiliki novel berbahasa Inggris yang ditulisnya sendiri selama tiga tahun belakangan.

Alasan penerbit lokal menolak novel fiksi tentang dunia supranatural dan konspirasi berjudul Chronicles of The Fallen: Rebellion sangat sederhana. “Kami belum berani menerbitkan novel dalam bahasa Inggris.   Kalau mau, kamu harus menerjemahkannya dulu dalam bahasa Indonesia lalu kirim ke kami lagi,” tutur salah seorang anggota redaksi kepada gadis itu.

Penolakan itu tidak lantas membuat penulis yang memiliki nama pena Aya Lancaster itu kehilangan asa. Print out dan flash disk berisi draf naskah novelnya itu pun dibawa pulang. Ia bergeming dengan saran penerbit untuk mengubah naskah ke dalam bahasa Indonesia. Alasannya, Aya merasa lebih nyaman menulis menggunakan bahasa Inggris ketimbang bahasa Indonesia. Menurutnya, menulis novel dengan bahasa Indonesia memiliki tingkat kesulitan yang lebih tinggi, dan sebagai penulis pemula, dia tidak memiliki latar belakang sastra Indonesia yang baik. Sejak duduk di bangku sekolah menengah pertama, Tasya sudah terbiasa membaca novel berbahasa Inggris. Kebiasaan itu pula yang membuatnya memiliki kemampuan lebih dalam menulis cerita dalam bahasa Inggris.

Memilih bergeming dengan naskah berbahasa Inggris, Tasya sadar dia harus terus memupuk harapan agar bisa menemukan penerbit besar yang bersedia menerima naskahnya. Ia pun tak surut langkah mengajukan kembali manuskrip novelnya ke penerbit besar lainnya. Bahasa menjadi kendala, tak pelak kali ini jawaban penerbit pun tak banyak berbeda. Tasya disarankan agar mengajukannya ke penerbit luar negeri. Redaksi penerbitan berdalih, hampir semua penerbit lokal kesulitan memasarkan buku berbahasa asing di Indonesia.
Penolakan kali ini memang bernada lebih halus. Tapi tak urung membuat Tasya menarik nafas panjang. Rupanya butuh kesabaran ektra untuk merintis jalan menjadi penulis pemula. Mencari penerbit asing  yang bersedia menerbitkan naskahnya disadari oleh Tasya  bukan perkara mudah. Namun setelah menolak pilihan pertama, tak ada lagi pilihan tersisa selain mengikuti pilihan kedua.

Banyak jalan menuju Roma. Begitulah kira-kira pepatah ini telah bekerja merajut asa. Dalam keadaan bingung, secara tidak sengaja Tasya melihat sebuah iklan di internet tentang AuthorHouse, sebuah perusahaan penyedia layanan self publishing. Akhirnya, Tasya memutuskan untuk menerbitkan sendiri novel pertamanya dengan bantuan AuthorHouse. Tidak lama setelah melalui proses komunikasi dan diskusi dengan pihak redaksi, novel ‘Chronicles of The Fallen: Rebellion’ diterbitkan dan dijual di beberapa toko buku online, seperti amazon.com, ebay.com, dan Barnes and Noble, toko buku tertua di Inggris. 

Mendobrak Ritme Konvensional
Sebenarnya, trend self publishing ini bukanlah satu hal yang baru. Di negara-negara maju seperti Amerika dan Inggris, trend ini telah mewabah sejak beberapa tahun lalu. Menurut Publisher Weekly,dalam sejarah penerbitan buku di dunia, sepanjang tahun 2008 tercatat sebanyak 289.729 judul buku telah diterbitkan melalui cara self publishing dan mengalami peningkatan menjadi 764.448 judul buku pada tahun 2009.
Self Publishing menjadi sebuah trend pendobrak kekakuan dalam dunia penerbitan buku. Dalam era konvensional, banyak orang berpikir bahwa untuk menerbitkan sebuah buku, seorang penulis hanya bisa bekerja sama dengan penerbit-penerbit besar, tentunya setelah melalui berbagai proses seleksi naskah yang ketat. Artinya, jika sebuah karya itu ingin diterbitkan, maka isi naskah harus sesuai dengan pandangan bisnis si penerbit.

Kini eranya telah berubah. Saat ini, self publishing mulai populer dan diminati. Setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi seorang penulis terkenal. Secara mandiri, setiap orang bisa menerbitkan dan mempublikasikan karya tulisnya. Sebuah usaha mandiri dengan melakukan kegiatan publikasi di luar ritme konvensional.

Bagi penulis yang memilih self publishing, ia tidak perlu mengirim draft naskahnya ke penerbit konvensional. Ia cukup me-layout, mendesain, mencetak, dan mendistribusikan sendiri hasil karyanya. Kendatipun mandiri, penulis bebas bekerja sama dengan editor, desainer grafis, maupun distributor. Semua bebas sesuai dengan kemauan kreatif penulis tanpa perlu terpengaruh oleh siapapun.

Banyak manfaat positif yang diperoleh sejumlah penulis saat mereka merintis karir menjadi penulis debutan melalui jalur self publishing. Setidaknya, hal itu disampaikan Dewi Lestari, penulis serial novel Supernova. Meski memiliki resiko dan konsekuensi sendiri, Dee menilai self publishing masih lebih baik bagi penulis dibanding menggantungkan harapan kepada sejumlah penerbit besar, yang justru bisa meredam kreativitas dan semangat kepenulisan. Apa yang dikatakan Dee berarti penulis lebih baik  berpaling ke self publishing saat karya ditolak oleh penerbit mainstream. Dengan cara itu, seorang penulis terus berkarya, menyerap masukan, dan mendengar kritikan pembaca. Penulis yang bergumul dan berkelindan dengan prosef kreatif seperti itu akan memiliki kesempatan luas menghasilkan karya besar. 

Selain Tasya, saat ini banyak penulis pemula yang memutuskan untuk menerbitkan karyanya sendiri tanpa harus mengandalkan penerbit besar. Lutfi Retno Wahyudyanti, termasuk di antaranya. Penulis sekaligus pegiat LSM di Yogya ini berhasil menerbitkan novel pertama berjudul “Para Pemuja Matahari” secara mandiri atau self publishing. Lutfi memilih keluar dari ritme konvensional dalam menerbitkan karya karena dilandasi rasa keingintahuannya memiliki penerbitan buku.

“Saya suka mencoba hal baru dan ini menyenangkan. Selain itu, saya merasa sayang kalau buku yang saya kerjakan dengan sungguh-sungguh hanya jadi barang dagangan penerbit besar karena mereka punya banyak sekali buku lain. Akhirnya saya memilih membongkar tabungan untuk menerbitkan “Para Pemuja Matahari”,” ungkap Lutfi.

Sebelumnya, Lutfi pun pernah mengalami pengalaman pahit yang tidak jauh berbeda dengan apa yang dialami oleh Tasya. Ia pernah mencoba mengirimkan naskah novelnya ke penerbit besar, tetapi ditolak. Lutfi menilai penolakan tersebut wajar lantaran draf pertama dan kedua yang dikirimkannya masih jauh dari kelaikan terbit. “Waktu itu saya mengirim dengan harapan mendapat komentar atau saran perbaikan dari editor ahli. Sayang, naskahnya hanya dikembalikan tanpa catatan,” tambahnya kemudian. Sikap penerbit itu membuat lutfi kecewa karena bagi dirinya komentar maupun koreksi penting sebagai pembelajaran.

Seorang penulis sehebat Dewi Lestari pun menyimpan kisah saat mengawali karir sebagai penulis dengan menempuh jalur self publishing. Itu terjadi saat Dee menerbitkan manuskrip perdana “Supernova”. Saat itu, ia tak begitu percaya diri bahwa “Supernova” akan diterima oleh penerbit besar. Apalagi waktunya terbilang mepet. Jarak antara selesainya penulisan naskah dengan ulah tahun Dee hanya empat bulan. Jelas tak cukup untuk menunggu terbitnya buku yang membutuhkan waktu berbulan-bulan. Sementara, ia ingin sekali menerbitkan “Supernova” menjadi buku sebagai hadiah ulang tahun ke-25 untuk dirinya sendiri. “Tujuan saya self publishing waktu itu sangat sederhana, yaitu menghadiahi diri sendiri kado ulang tahun berupa buku. Saya nggak peduli bakal laku atau tidak, jadi tenar atau tidak,” jelas Dee.

Ketatnya Seleksi Penerbit Konvensional
Penerbit-penerbit konvensional memang menerapkan proses seleksi yang ketat terhadap naskah-naskah yang akan diterbitkan. Ada syarat umum yang harus dipenuhi oleh setiap penulis jika karyanya ingin diterbitkan.

Vincentius Sugeng Hardoyo, pemimpin redaksi PT. Elex Media Komputindo, mengatakan bahwa setidaknya ada empat syarat yang menjadi dasar penilaian redaksi terhadap sebuah naskah yang akan diterbitkan. Pertama, soal tema utamanya, apakah tema dari naskah tersebut sedang populer atau tidak. Kedua, mengenai historis penjualan buku dari tema sejenis. Terkadang tema yang diangkat memang populer, tetapi ternyata hasil penjualannya tidak bagus. Ketiga, tentang kedalaman dari materinya itu sendiri. Apakah cenderung ringan atau terlalu detail. Keempat, soal cara penyajiannya dan gaya bahasa. Buku yang diminati oleh pembaca umum biasanya buku yang menggunakan bahasa yang praktis dan populer.

Lamanya proses penilaian untuk tiap jenis buku pun berbeda-beda. Untuk buku tentang teknologi paling cepat satu minggu. Sedangkan untuk jenis buku manajemen dan novel dibutuhkan sekitar satu bulan karena naskahnya perlu dibahas secara detil, dari awal hingga akhir.


Setelah melewati proses penilaian, naskah kemudian diedit dari sisi pengetikan, ejaan, tata bahasa, dan sebagainya. Proses ini penting untuk mengetahui apakah konten dari sebuah naskah itu layak atau tidak untuk dikonsumsi oleh pembaca. Proses editing memakan waktu sekitar 1-2 minggu. Setelah editing, kemudian masuk proses lay out. Proses lay out memakan waktu sekitar dua minggu. Setelah selesai lay out, naskah sudah menjadi bentuk proof yang akan diperiksa lagi oleh redaksi. Ketika redaksi sudah menyatakan tidak ada kesalahan, maka proof tersebut bisa langsung naik cetak. Jadi, waktu yang dibutuhkan penerbit untuk bisa menerbitkan sebuah buku hingga siap untuk dijual di toko memang cukup lama, sekitar 2-3 bulan. 

Publish Your Dream
Memilih jalur self publishing bukan berarti membuat segala sesuatunya menjadi lebih mudah. Menerbitkan buku bukan perkara mudah walaupun penulis memiliki kontrol penuh terhadap nasib karyanya, tanpa harus bergantung kepada penerbit besar. Penulis yang memberanikan diri untuk melakukan self publishing biasanya memiliki  modal yang cukup kuat dan memiliki jaringan yang luas untuk kepentingan promosinya, selain pentingnya keyakinan bahwa bukunya akan laku keras.

Lalu bagaimana dengan penulis-penulis muda yang belum berpengalaman dalam menerbitkan sebuah buku? Bagaimana dengan penulis yang tidak memiliki cukup dana untuk menerbitkan karyanya?
Dengan maraknya tren menerbitkan buku secara mandiri, maka bermunculan pula perusahaan-perusahaan yang menyediakan pelayanan self publishing, secara gratis ataupun berbayar. Apa yang dilakukan Tasya Agustina bisa menjadi salah satu solusi yang layak untuk ditiru. Untuk menerbitkan novel Chronicles of The Fallen: Rebellion, Tasya memilih bekerja sama dengan AuthorHouse.

AuthorHouse merupakan sebuah perusahaan penerbitan di Inggris yang melayani jasa self publishing (self publishing company). Dalam website-nya, AuthorHouse menyediakan beberapa paket penerbitan, mulai dari paket seharga 499 sampai 1.499 poundsterling (sekitar 7 juta-21 juta rupiah), tergantung dari format buku seperti apa yang diinginkan oleh si penulis. Tidak hanya menerbitkan, AuthorHouse juga mengurusi masalah promosi dan distribusi di beberapa negara seperti Inggris dan Amerika Serikat.

Di dalam negeri pun bermunculan perusahaan penerbitan sejenis AuthorHouse, salah satunya adalah nulisbuku.com. Menariknya, nulisbuku.com tidak membebankan biaya awal kepada penulis, alias gratis.  Setiap keuntungan yang berasal dari penjualan buku akan dibagi dua, untuk penulis dan penerbit. Jadi penulis tidak akan dibebankan biaya awal yang terlalu besar untuk menerbitkan buku.

Aulia Halimatussadiah, salah satu pendiri nulisbuku.com, menjelaskan bahwa ide awal menekuni bisnis jasa pelayanan self publishing adalah untuk menjadi alternatif penerbitan mandiri di Indonesia, agar memudahkan penulis-penulis baru dalam menerbitkan karyanya. Dengan begitu produktivitas menulis di kalangan anak-anak muda akan semakin meningkat.

Seperti self publisher pada umumnya, nulisbuku.com menggunakan sistem kerja yang disebut print on demand (POD). Artinya jumlah buku yang dicetak hanya berdasarkan jumlah pesanan yang ada, tanpa ada stock cadangan buku di gudang. Setelah pemesanan, butuh kira-kira 10 hari untuk melakukan proses cetak, post-press dan pengiriman sampai ke tangan si pemesan. Sistem inilah yang membedakan sebuah self publisher dengan penerbit konvensional.

Selain sistem POD, hal apa yang benar-benar membedakan nulisbuku.com dengan penerbit konvensional? “Karena mereka melakukan investasi di setiap buku yang diterbitkan, setiap penerbit konvensional pasti menyaring naskah yang masuk. Apakah sesuai dengan idealisme mereka atau apakah benar-benar bisa menjual. Sedangkan nulisbuku.com tidak ada filter sama sekali. Setiap orang yang memiliki naskah tinggal upload saja ke kita, kalau ada yang beli baru dicetak. Jadi ini benar-benar seperti ajang latihan bagi penulis muda untuk mulai berani menerbitkan naskahnya,” ungkap wanita yang akrab disapa Ollie ini.

Lalu bagaimana cara menerbitkan buku di nulisbuku.com? Setiap penulis yang memiliki naskah bisa mendaftar terlebih dahulu secara gratis di situs nulisbuku.com. Setelah mendaftar mereka akan diberikan template yang berguna untuk mengirimkan naskah secara online ke redaksi. Sebelum dikirimkan, template itu harus diubah formatnya ke dalam bentuk jpg. Naskah yang dikirimkan harus disertakan dengan data diri si penulis naskah dan rencana jumlah halaman buku yang akan diterbitkan.

Setelah itu, nulisbuku.com akan memberitahukan harga jual buku dan royalti yang akan diterima oleh penulis. Uniknya, dalam proses ini penulis bisa ikut menentukan berapa besarnya harga jual buku dan royalti. Persentase yang biasanya digunakan dalam menentukan royalti adalah 60% untuk penulis, 40% untuk penerbit. Persentase royalti tersebut masih berada di atas angka yang umumnya digunakan oleh penerbit konvensional, yaitu sebesar 10%.

Setelah melewati proses tersebut, kemudian masuk dalam proses proof read. Pihak nulisbuku.com akan mencetak satu sample buku yang akan dikirimkan ke penulis untuk diperiksa secara detil mengenai penulisan, desain, cover, sampai soal tata letak. Setelah semua sesuai dengan keinginan, penulis bisa memberikan persetujuan (approval) kepada pihak redaksi bahwa buku ini siap untuk diiklankan di website nulisbuku.com dan siap untuk dijual.

Menghargai Proses
Kendati Self Publishing merupakan alternatif bagi para penulis, namun tak lantas  mereka bisa terbebas dari resiko dan konsekuensi. Salah satunya kemungkinan berupa rendahnya respon dari pasar atau calon pembeli. Hal itu bisa terjadi sebagai ekses dari anggapan miring, yang menganggap buku produk self publishing kurang berkualitas karena ditolak oleh penerbit besar. Selaku pendiri jasa layanan self publishing, Ollie tak merasa risau. Ia mengajak para penulis untuk terus berkarya agar mampu menghasilkan karya yang spektakuler. Menurutnya, sikap positif itu efektif untuk menghapus kesan miring atas karya self publishing.

“Saya menghargai proses, bahwa tidak semua penulis bisa langsung menghasilkan karya yang spektakuler. Jadi memang ada proses-prosesnya. Latihan dan banyak  menerbitkan hasil karya bisa meningkatkan kemampuan menulis menjadi excellent dan kemudian layak untuk diterbitkan secara major,” ungkap Ollie menanggapi komentar miring terhadap self publishing.

Menjadi seorang penulis handal tentu bukan suatu hal yang bisa diraih secara instan. Butuh proses bagi seseorang untuk meningkatkan kemampuan menulisnya. Menurut pengalamannya sebagai seorang penulis buku, Ollie mengatakan bahwa penulis itu harus terus melatih kemampuan menulisnya dan senang ketika karyanya mendapat apresiasi. Dengan menulis dan diapresiasi, seseorang akan lebih bersemangat untuk mengeluarkan karya-karya berikutnya yang mungkin saja akan lebih baik.

Mungkin kita bisa menyepakati apa yang dikatakan oleh Dee. Self Publishing bisa menjadi jalur alternatif yang baik bagi penulis-penulis muda untuk membangkitkan kreatifitas dan semangat menulis, tanpa harus bersandar pada kesempatan yang dibuka oleh penerbit-penerbit konvensional. “Berani gagal, berani mencoba lagi, dan berani menghadapi kesuksesan. Semuanya itu memiliki konsekuensi. Yang jelas, menulislah apa yang kita suka. Tulislah buku yang ingin kita baca,” Ungkap Dee.

Kalau tidak mencoba menerbitkan karya-karya kita sendiri, bagaimana kita bisa mengetahui kesalahan dan potensi diri sebagai seorang penulis?


*Artikel ini telah dimuat dalam rubrik Special Report majalah VOICE+ Vol 2 edisi September 2012)*


2 comments: