Saturday, August 16, 2014

Self Publishing di Mata Dewi Lestari

Self publishing mampu menjadi alat untuk menjaga semangat penulis pemula untuk terus berkarya, dan mengajak penulis menyelami seluk beluk industri buku. Dewi Lestari pernah menerbitkan serial pertama buku Supernova-nya melalui jalur self publishing. Dan masyarakat luas pun mengapresiasi Supernova sebagai buku berkualitas. Karena itu, ia kurang sepakat bila self publishing dijadikan ukuran rendahnya mutu buku seseorang.

Berikut hasil wawancara singkat saya melalui email dengan Dewi Lestari mengenai pengalamannya menyelami seluk beluk industri penerbitan buku melalui jalur self publishing. Artikel ini pernah dimuat di majalah VOICE+ Vol 2 edisi September 2012.


Apa yang melatarbelakangi  anda banyak menulis buku tentang sebuah “pencerahan”?
Untuk menulisnya sendiri sudah hobi dari kecil. Tapi saat saya menuliskan Supernova pada tahun 2000, itu memang didorong oleh peristiwa pribadi yang terjadi pada hidup saya. Singkat kata, Supernova adalah refleksi dari perjalanan spiritualitas saya.

Bisa diceritakan latar belakang anda menerbitkan novel secara self publishing?
Keputusan saya self publishing sebetulnya seperti “kecemplung”. Waktu itu saya tidak  begitu percaya diri bahwa Supernova akan diterima penerbit. Sementara saya ingin menerbitkan Supernova menjadi buku sebagai hadiah ulang tahun saya yang ke-25. Jarak antara manuskrip selesai ke ultah saya hanya 4 bulan. Saya pikir itu  terlalu mepet untuk dibawa ke penerbit karena ada resiko harus antre dan sebagainya. Jadi, saya putuskan untuk menerbitkannya sendiri.

Lalu bagaimana dengan terbitan sesudahnya?
Selebihnya sih karena sudah terlanjur menjalankan saja. Setelah terasa kerepotan baru saya melirik kerjasama dengan penerbit lain.

Sebelum anda meluncurkan novel pertama Supernova: Ksatria, Puteri, dan Bintang Jatuh, apakah pernah menawarkan naskah awal ke penerbit?
Saya nggak sampai menawarkan ke penerbit saat itu.

Bagaimana anda memandang banyaknya penulis yang menerbitkan karya melalui self publishing?
Menurut saya, jalur self publishing adalah jalur alternatif yang baik. Tentu ada resiko dan konsekuensi sendiri. Tapi jika hanya bersandar pada kesempatan yang dibuka oleh penerbit-penerbit besar, menurut saya itu juga akan meredam kreativitas dan semangat kepenulisan.

Dari pengalaman anda, syarat apa saja yang harus dipenuhi untuk menerbitkan karya melalui jalur self publishing?
Sebagai catatan, karya saya yang murni self publishing sebenarnya hanya satu, yakni Supernova episode pertama. Pada Akar, Petir, dan Filosofi Kopi, saya sudah bekerja sama dengan penerbit lain. Saya masih memproduseri, tapi sudah ada penerbit yang mem-back up saya. Untuk self publishing sendiri tentunya yang dibutuhkan adalah modal (tergantung bukunya laku atau tidak, semakin laku, otomatis modal cetak yang dibutuhkan lebih besar lagi). Lalu SDM, yakni staf atau orang-orang yang menjalankan produksi, pengecekan ke distributor, promosi, dan hal-hal administratif lainnya.

Apa strategi yang harus dimiliki penulis pemula jika ingin menerbitkan karyanya melalui jalur self publishing?
Memiliki semua yang saya sebutkan di atas. Self publishing sangat tergantung dari animo pembaca yang menyambutnya. Jika sambutannya sederhana, maka penerbitan bukunya pun bisa sederhana, bahkan mungkin bisa dijalankan sendirian oleh penulisnya. Semakin bukunya bergaung dan diminati secara luas, sistem kerja dan modal yang dibutuhkan juga akan semakin kompleks. Jadi minimal si penulis harus mengecek betul kesiapannya: modal, SDM, tekad, dan kesiapan untuk repot.

Apa sisi positif dan negatif bagi penulis jika memilih self publishing?
Positifnya, penulis memiliki kendali yang lebih luas, sistem yang otomatis lebih transparan, dan banyak pengalaman bermanfaat. Tantangannya, lebih repot, energi dan fokus terkuras, bisa-bisa akan kehabisan tenaga untuk menulis buku berikutnya, dan kemungkinan rugi secara finansial.

Bagaimana dengan pengalaman anda sendiri?
Yang saya rasakan juga kurang lebih sama. Dengan pernah menerbitkan sendiri, saya jadi paham betul proses produksi dan cara kerja industri perbukuan itu seperti apa. Repotnya juga banyak, antara lain saya harus mengurus staf,  administrasi, dan banyak hal-hal teknis lain yang menguras energi.

Bagaimana anda melihat masa depan self publishing di Indonesia?
Entah ke depannya. Yang jelas, sekarang ini semakin banyak mitra-mitra independen untuk menerbitkan buku, terutama dengan adanya sistem Print On Demand (POD), yang bisa membantu penulis untuk tidak terbebani dengan modal cetak yang besar di awal proses menerbitkan buku. Begitu juga dengan perkembangan buku digital. Rantai antara penulis dan pembaca semakin pendek karena tidak lagi harus berurusan dengan toko buku fisik, distribusi fisik dan lain-lain. Jadi pasti akan ada perkembangan yang menarik.

Ada saran bagi penggemar anda yang ingin menjadi penulis?

Berani gagal, berani memiliki karya yang tidak selesai, berani mencoba lagi, dan berani menghadapi kesuksesan. Semuanya itu memiliki konsekuensi. Yang jelas, menulislah apa yang kita suka. Tulislah buku yang ingin kita baca.

2 comments:

  1. terimakasih info nya sangat bermanfaat, jangan lupa kunjungi kami http://bit.ly/2wFUPf3

    ReplyDelete
  2. Keren...
    Makasih banyak atas wawancaranya

    ReplyDelete