Sunday, March 16, 2014

Kita Harus Tahu Mimpi Kita












Wawancara dengan Billy Boen
Sukses memimpin perusahaan dalam dan luar negeri, Billy Boen berbagi cerita tentang pengalaman, pandangannya atas Indonesia, dan juga keluarga.
Bagaimana ceritanya hingga anda menulis buku Young On Top?
Suatu saat ada seorang teman yang bilang “Ayo dong Bil, nulis buku”. Malamnya saya tidak bisa tidur, saya berpikir keren juga ya kalau saya bisa menulis buku.
Apa yang ingin anda sampaikan di buku tersebut?
Buku itu saya tulis untuk memuaskan rasa penasaran saya. Kenapa banyak orang bekerja tapi ya kondisinya begitu-begitu saja. Saya sendiri dulu pekerja, jad saya bisa mengamati, bisa merasakan kenapa banyak pekerja yang levelnya sudah tidak bisa naik ke atas lagi.
Kenapa?
Attitude
Jadi boleh dibilang attitude itu kunci kesuksesan?
Sebenarnya jika kita ingin sukses dalam hal karir, pertama kita harus melakukan sesuatu yang sesuai dengan passion kita. Banyak dari kita melakukan sesuatu yang tidak kita sukai dan itulah kenapa banyak orang bilang “i hate monday”. Saya tidak pernah merasakan itu. Dari detik pertama kerja di Nike saya tidak pernah sekali pun mengeluh, karena saya suka brand-nya, suka dengan strateginya. Intinya adalah karena saya melakukan hal yang saya suka. Kedua, kita harus punya mimpi besar. Lebih baik bermimpi tinggi, jika tidak tercapai tetap hasilnya akan lebih tinggi dibandingkan dengan orang yang bermimpi kecil, meskipun tercapai. Nah, ketiga adalah attitude. Kita harus memiliki ketiganya. Kita harus tahu apa mimpi kita, apa passion kita dan kita harus punya attitude yang baik.
Dari yang semula hanya sebuah buku, Young On Top kini berkembang jadi acara radio, TV, dan talk show. Bagaimana bisa begitu?
Ketika Young On Top terbit, saya terima satu email dari seorang anak kurang mampu, tinggal di Medan, dia bilang “Mas Billy saya ini berasal dari keluarga tidak mampu, tidak mampu kuliah dan segala macam, minggu lalu saya menemukan buku mas Billy di toko buku, saya baca, dan saya merasa dunia kembali terbuka buat saya”. Saya menangis saat membaca email itu, karena saya berpikir bahwa saya selama ini memimpin perusahaan, career oriented, memikirkan semua keputusan yang saya berikan dan kemudian tim saya bilang terima kasih, itu sudah hal yang biasa. Nah ini, dari motivasi yang aneh, yang cuma buat keren-kerenan doang, tapi ternyata apa yang saya bagikan itu ternyata bisa mengubah hidup seseorang di luar sana. Meski saya tidak mengenalnya, tapi ia bilang terima kasih. Waktu itu saya menangis, dan di situ menjadi turning point of my life. Yang tadinya saya berpikir harus sukses sendirian, keren, dan mengejar karir. 
Apa yang anda lakukan setelah itu?
Saya ingin lebih banyak berbagi dan berpikir untuk resign. Waktu itu saya masih bekerja di MRA Group dan saya berpikir harus berhenti jika ingin punya waktu lebih banyak untuk berbagi ke berbagai kampus dan tempat-tempat lain. Memang waktu itu saya diijinkan oleh Pak Soetikno Soedarjo (CEO MRA Group) untuk tetap memimpin perusahaan. Saya bilang tidak fair jika saya meminta tim saya bekerja Senin sampai Jumat, sementara saya lebih banyak ke luar kantor. Akhirnya saya pun memutuskan untuk resign agar bisa lebih banyak berbagi.
Apa yang anda rasakan setelah  resign dari kerjaan dan lebih banyak memberikan seminar ke kampus-kampus?
Setelah saya memberikan seminar ke kampus-kampus, muncul pertanyaan dalam benak saya, mereka yang mendengarkan ini akan berubah nggak ya hidupnya? Apakah mereka akan terinspirasi? Mungkin saja setelah keluar ruangan mereka lupa. Ini adalah pertanyaan-pertanyaan yang tak akan bisa saya jawab, karena saya tak kenal mereka. Mereka hanya peserta seminar. Kemudian terbersit dalam benak saya untuk membuat sebuah mentorship program. Berbeda dengan seminar, mentorship program butuh keseriusan dari dua belah pihak, dari mentor maupun dari mentee. Saya bikin selama 1 tahun, saya kasih tugas dan segala macamnya. Kalau mereka malas, akan saya keluarkan dari programmentorship, karena orang tak akan bisa dibantu kalau tak mau dibantu. Semula saya hanya sendirian, tapi saya percaya orang yang mau berbuat baik pasti akan diberikan jalan. Lalu saya bertemu dengan beberapa mentor dari beberapageneral manager dan CEO. Saya minta komitmen mereka menjadi mentor. 
Apa yang anda harapkan dari program mentorship ini?
Outputnya adalah ketika saya nanti sudah berumur 50 tahun, dan anak saya sudah besar, Indonesia sudah lebih baik. Saya benci melihat pemimpin kita sekarang ini, mau di pemerintahannya maupun swasta, banyak yang korupsi, andi hate that. Kalau kita bisa suskses dengan integritas, kenapa nggak?! Yang mau saya tanamkan adalah saya percaya yang di atas kita saat ini, pemimpin-pemimpin senior di atas umur 50 tahun, kita sedang mengalami krisis pemimpin. Kalau nanti pemilu, siapa yang akan memimpin, ya orang-orang lama lagi. Yasorry to say yang dulu-dulu kita tahu juga melakukan korupsi. Saya berpikir kita tidak akan merubah mereka, tapi berapa lama sih mereka akan hidup, nggak mungkin selamanya mereka akan berada di dunia politik. Generasi di atas kita memang berwarna hitam kelam, tapi kalau kita bisa melihat generasi yang sekarang ikut mentorship program, umur 18-22 tahun, anggaplah ada 30 orang yang lulus dari program ini, berarti 10 tahun kemudian ada 300 pemimpin yang benar-benar bersih, ya semoga saja benar-benar bersih. Setidaknya generasi mereka sudah berwarna abu-abu, tidak lagi hitam. Kemudian generasi anak saya, mungkin sudah berwarna putih. Harapannya, saya akan sangat senang jika suatu hari nanti saya bisa melihat Indonesia sudah sangat keren, dengan pemimpin-pemimpin yang memiliki integritas.
Anda masih optimis dengan masa depan Indonesia?
Saya pernah ditanya oleh seorang wartawan, “Apa yang mas Billy harapkan dari kebijakan pemerintah?” Saya bilang kalau usaha saya usaha kecil, tidak perlu kebijakan ekspor-impor, tidak perlu segala macam. Jadi saya tidak pernah mengharapkan apa-apa dari pemerintah. Seperti quote terkenalnya Anies Baswedan, “kita jangan marah-marah terus, tapi kita harus bisa menjadi lilin untuk menjadi penerang”. Dalam buku saya, saya menulis kalau kita tidak usah memusingkan sesuatu yang berada di luar kendali kita. Kita fokus saja dengan apa yang bisa kita lakukan. Terserah orang lain mau korupsi seperti apapun, yang penting kita tidak, dan lingkungan di sekitar kita pun tidak.
Apakah anda punya rencana terjun ke dunia politik?
Hahaha… good question. Ehmm, kalau kata tertarik atau tidak sebenarnya dimulai karena kekesalan ini. Politisi yang kotor dulunya mungkin politisi yang idealis. Mereka berpikir bisa melakukan perubahan. Nah saya pun berpikir masa sih saya tidak bisa ngebenerin kondisi seperti itu, kalau kita kelola dengan cara manajemen perusahaan, profesional, merekrutnya juga dengan baik dan segala macam,nggak ada tititpan-titipan, masa sih nggak bisa. Bukan tertarik masuk ke politiknya, tapi rasa penasaran. Masa sih saya nggak bisa benerin Jakarta, kasarnya begitu. Tapi setelah saya ngobrol dengan banyak orang, sepertinya sangat sulit untuk tetap bersih ketika sudah masuk ke DPR. Misalnya, ada sepuluh orang; saya bersih, sembilan sisanya tidak, ketika voting ya kalah terus. Akhirnya yang bersih akan keluar. Pendek kata saya tidak mau masuk ke dunia politik dan juga istri tidak mengijinkan. Semua temen-temen saya bilang “Bil, kalau lo maju kita bantuin semuanya,” tapi kalau teman-teman mahasiswa bilang “mas jangan pernah masuk ke politik ya”. 
Di Young On Top anda banyak bicara tentang kesuksesan. Apa arti sukses buat anda?
Menurut saya, sukses adalah ketika seseorang itu mampu mencapai apa yang dia inginkan. Jika dia menargetkan sesuatu kemudian dia berhasil mencapai itu ya dia sukses. Nah, orang-orang banyak yang berpikir ketika bicara tentang sukses itu adalah sukses dalam hidup. Saya melihat sukses dari hal yang kecil terlebih dulu. Hari ini anda mau kesini, mau wawancara saya jam 2, datang jam 1, anda sudah sukses, anda sudah berhasil datang on time, malah lebih dulu. Itu sukses. Jadi sukses itu dari hal-hal kecil, kita mau apa lalu kita berhasil mencapainya. Kalau sukes dalam ukuran besarnya, tiap orang memiliki definisi sukses yang berbeda-beda. Seorang anak petani yang datang ke Jakarta dengan level supervisor di pekerjaan mungkin itu sudah sukses buat dirinya. Atau mungkin anak konglomerat, menghasilkan 10 miliar namun dianggap gagal oleh bapaknya, bisa saja kan? Bapaknya mengharapkan dia mendapat 1 triliun, tapi hanya 10 milyar, itu bisa dianggap gagal. Jadi, sukses itu tidak bisa kita lihat ukurannya.
Anda pernah mengatakan, dengan berbagi kita akan meraih sukses. Bisa dijelaskan?
Begini, kamu pasti pernah mendengar peribahasa “apa yang kita bagikan akan kita terima 10 kali lipat, atau 100 kali lipat. Mungkin ada di Kitab Suci. Dulu ketika saya baru lulus kuliah dan bekerja, saya mikir, bagaimana caranya saya menyumbang sepuluh ribu kemudian saya mendapatkan seratus ribu? Tidak masuk akal. That’s why saya tidak menyalahkan anak-anak muda sekarang yang masih berpikir “apa yang bisa gue dapat”. Career orientedI was like that. Saya sendiri dulu seperti itu dan tidak ada salahnya. Cuma karena saya sekarang dekat dengan teman-teman mahasiswa, saya mencoba menyadarkan hal itu. Contoh konkretnya, saya menulis buku, ini menjadi satu bukti saya membagikan. Saya tidak berharap bisa kaya raya dari menulis buku. Bagaimana bisa kaya raya dengan menulis dan menjual buku di Indonesia? Tapi dari ilmu yang saya bagikan melalui buku tersebut apa yang bisa saya dapatkan? Bukan sepuluh kali lipat lagi. Akhirnya, bagaimana seorang Billy Boen yang bukan siapa-siapa bisa bermitra bisnis, bisa akrab dengan seorang Andy F.Noya. Bagaimana saya, selama dua setengah tahun terakhir bisa bertemu dengan sekitar 125 CEO, GM, direktur, selebritis, atlet, setiap minggunya di acara radio Young On Top. Bagaimana caranya saya bisa punya program acara televisi sendiri kalau saya tidak punya buku yang bisa saya bagikan, yang saya tulis. Itu kan ibarat saya berbagi hanya sedikit, tapi yang saya dapatkan bisa sebanyak itu. Saya bisa kenal ratusan mahasiswa. Mungkin yang saya bagikan itu hanya 1:10 juta, tapi yang saya dapatkan bisa sebanyak itu. Jadi kalau kita memiliki sesuatu, jangan pernah disimpan sendiri, jangan pernah pelit. Menyumbang itu tidak hanya soal uang, tapi juga soal pikiran, ide, waktu, dan tenaga. 
Kita sudah bicara tentang kesuksesan. Bagaimana dengan soal kegagalan?
Menarik. Saya punya konsep yang sedikit berbeda mengenai kegagalan. Orang biasanya melihat berhasil atau gagal itu dari besaran, saya melihatnya dari kecilan. Tadi kan saya kasih contoh, ketika kamu ke sini bisa on time, berarti kan berhasil, kalau kamu ke sini tidak on time berarti kamu gagal. Nah, banyak orang kan tidak menganggap itu gagal, “ah gue cuma telat 2 menit, cuma 10 detik”. Buat saya, telat 10 detik kalau orangnya sudah menunggu, saya akan merasa gagal. Nah itu yang membedakan. Ketika saya tidak on time, itu saya sadari sebagai sebuah kegagalan, besok saya bisa perbaiki lagi. Kalau ada orang yang tidak menyadari bahwa itu suatu kegagalan, secara psikologis dia tidak akan berusaha memperbaiki. Dia hari ini telat 5 menit, besok lagi telat, besoknya telat lagi, akhirnya tidak ontime itu menjadi sebuah kebiasaaan. Saya banyak mengalami kegagalan kecil dan semuanya itu saya pelajari terus menerus. Kalau saya terus melakukan kegagalan kecil namun segera saya perbaiki, sepertinya kegagalan kecil itu tidak akan mungkin menjadi fatal. Jadi kita harus memperbaiki semua kesalahan kecil, jangan menganggap kegagalan kecil itu bukan kegagalan. Kegagalan kecil itu ya kegagalan yang harus diperbaiki.
Anda bertransformasi dari karyawan menjadi pengusaha. Apakah sudah pernah terpikirkan sebelumnya?
Tidak. Kedua orang tua saya dulu adalah pegawai kantoran. ayah saya bukan pengusaha, ibu saya belakangan memang jadi pengusaha, tapi kita tidak pernah diskusi bisnis di rumah. Jaman dulu ngomongnya masih “kamu kuliah yang bener, balik, cari kerja yang baik”, seperti itulah. Tidak pernah terpikir untuk menjadi seorang pengusaha. Sampai suatu hari ada satu buku yang mempengaruhi saya untuk melirik dunia usaha.  Buku itu adalah Rich Dad Poor Dad karya Robert Kiyosaki. Dari situ saya kepikiran “enak juga ya jadi pengusaha itu”. Kalau kita menjadi bisnis owner, kita punya pekerja, kita punya sistem, saat kita tidur, sedang sakit maupun sedang istirahat, uang akan terus masuk.
Dalam bisnis atau hidup, anda punya idola?
Kedua orang tua saya. Cliche memang, tapi mereka punya value yang sangat kuat. Dari kelas 2 SD saya sudah diajari bagaimana caranya memimpin, bagaimana caranya saya hormat ke semua orang, ke bibi (asisten rumah tangga) di rumah, ke supir, ke satpam. Saya diajarkan mengucapkan terima kasih ketika menerima hal sekecil apapun. Jika saya berbuat salah ke siapapun harus minta maaf tanpa rasa malu. Semua itu attitude (sikap). Jadi inspirasi saya adalah kedua orang tua saya. Kalau ibu saya lebih ke sisi lembutnya, ayah saya lebih kepada sikap kepemimpinan.
Banyak orang sukses dalam berkarir, tapi belum tentu sukses dalam berkeluarga. Bagaimana anda bisa menjaga keduanya?
Pertama, i’m lucky enough mempunyai istri yang bener-bener pengertian, menyokong. Semua orang bilang “Bil, lo beruntung punya istri yang support 100% apa yang lo mau”. Bagimana cara menjaga keduanya sebenarnya balik lagi bahwa kesuksesan atau apapun itu harus datang dari kesadaran diri dulu. Penting tidak buat diri kita? Saya sadar bahwa arti sukses itu tidak sekedar menjadi CEO. Kalau saya bisa jadi CEO, jadi suami yang baik, jadi bapak yang baik, bisa jadi orang yang sehat, setiap minggu pergi ke gereja,  punya yayasan atau kegiatan sosial,why not? Itu yang saya sebut a balanced life. Bisnis tidak ada yang mulus-mulus aja, seharian saya harus meeting, memikirkan bagaimana caranya menaikkan penjualan. Tidak mudah memang, but  i enjoy itHappy terus deh yang penting. Percuma man kalau sukses tapi ga happy (tertawa).
(Hasil wawancara ini telah dimuat dalam rubrik Cocktail majalah VOICE+ Vol 03 edisi Oktober 2012)

No comments:

Post a Comment