Terlepas
dari konteks eksekusi mati terhadap delapan terpidana mati kasus narkoba, saya
adalah salah satu orang yang tidak setuju penerapan hukuman mati di Indonesia.
Ya, saya sepakat bahwa pengedar narkoba, pembunuh, penjahat perang, juga pelaku
genosida harus dihukum seberat-beratnya. Tapi, apakah harus dengan penerapan
hukuman mati? Apakah benar penerapan hukuman mati mampu menegakkan supremasi
hukum dan memberikan rasa keadilan serta ketentraman bagi masyarakat?
Sebuah
diskusi ringan sehari sebelum eksekusi melahirkan banyak pertanyaan. Bagaimana
Negara mendapatkan otoritas untuk menerapkan hukuman mati? Apa yang
melegitimasi negara untuk menjalankan eksekusi terhadap terpidana mati? Apakah negara
berhak mengambil nyawa seseorang, berdasarkan kedaulatan hukum, meski kualitas
penegakan hukum di Indonesia masih diragukan? Apakah negara berhak menerapkan
hukuman mati ketika negara sendiri pernah terlibat ataupun melakukan pembiaran
ketika kejahatan kemanusiaan terjadi di Indonesia? Jika menggunakan alasan
narkoba adalah kejahatan luar biasa yang pantas dihadiahi hukuman mati bagi
pelakunya, lalu bagaimana dengan tragedi kemanusiaan yang terjadi di masa lalu?
Tidak mungkin negara tidak memiliki andil dalam kasus tersebut.
Kemudian,
saya juga sangat menyesalkan pernyataan presiden Jokowi dan pejabat pemerintah
lain yang terkesan dangkal. Presiden mengatakan bahwa ancaman hukuman mati
diterapkan sebagai cara untuk menekan angka korban jiwa yang lebih banyak
akibat penyalahgunaan narkoba. Penerapan hukuman mati sebagai bentuk kedaulatan
hukum dan khawatir generasi muda bangsa rusak karena narkoba. Pernyataan yang
tidak kalah dangkalnya juga diutarakan oleh anggota DPR-RI Tantowi Yahya. Ia
mengatakan bahwa pemerintah memang perlu menerapkan sanksi tegas untuk sejumlah
kasus kejahatan luar biasa (extraordinary
crime), seperti kasus narkoba. Pemberian sanksi tegas diharapkan dapat
memberikan efek jera kepada para bandar dan pengedar untuk tidak bermain-main
dengan hukum yang berlaku di Indonesia.
Sebagai
orang yang pernah belajar tentang ilmu hukum, saya percaya bahwa hukum dan
undang-undang diperlukan demi
kelangsungan hidup masyarakat. Pembenaran akhir terhadap hukum dan
undang-undang didasarkan pada dicapai atau tidak dicapainya kebaikan dalam
suatu masyarakat pada tempat dan waktu tertentu. Menurut tokoh hukum pidana
klasik Cesare Beccaria, tidak ada otoritas manapun yang mengijinkan sebuah
negara memberlakukan hukuman mati terhadap warganegaranya. Eksekusi mati hanya
bisa dilakukan dalam situasi yang benar-benar mendesak dan diterapkan terhadap
terpidana, yang meski sudah dirampas kebebasannya, masih memiliki kekuatan dan
koneksi yang membahayakan keamanan negara.
Eksekusi
itupun hanya bisa dilakukan dalam kondisi-kondisi tertentu, seperti pada negara
yang sedang berada di ambang kehancuran, di awal masa perebutan kemerdekaan,
keadaan di mana sebuah negara sudah memiliki kemandirian dan kekuatan untuk
menahan serangan dalam bentuk apapun. Dan yang paling terpenting negara sudah
memiliki sistem hukum yang mampu memberikan keadilan dan kebenaran bagi warganya.
Sebuah negara di mana si Kaya hanya mampu membeli kesenangan, tetapi tidak bisa
membeli hukum dan kekuasaan.
"Hukuman
mati itu memiliki efek yang merusak bagi masyarakat. Sebuah contoh kebiadaban.
Jika hawa nafsu atau perang telah mengajarkan manusia untuk menumpahkan darah
sesamanya, maka hukum yang dimaksudkan untuk memoderasi keganasan manusia,
tidak harus memperburuknya dengan contoh kebiadaban. Apakah masuk akal jika
undang-undang harus melakukan pembunuhan terlebih dulu untuk mencegah
pembunuhan? Apa hukum yang benar dan paling berguna?" tulis Beccaria dalam
Of The Punishment of Death.
Pemikir
lainnya memberikan perspektif yang kurang lebih sama terhadap pertanyaan di
kepala saya. Menurut filsuf Prancis, Albert Camus, hukuman mati tidak hanya tak
berguna, melainkan juga terang-terangan merusak. Ia tidak melihat esensi yang
tersirat dari hukuman mati, kecuali sebagai suatu bentuk hukuman dan suatu
ketidakteraturan. Senada dengan Camus, Arthur Koestler berpendapat bahwa
hukuman mati menjatuhkan martabat masyarakat, sementara para pendukung hukuman
mati tidak mampu memberi alasan-alasan yang masuk akal.
Masyarakat
sendiri tidak yakin akan nilai hukuman mati dapat dijadikan contoh atau tidak.
Tidak ada bukti nyata yang menunjukkan penerapan hukuman mati bisa membuat
seorang pembunuh menjadi sadar bila niatnya sudah bulat. "Jika keyakinan
itu memang ada, pastilah kepala-kepala tanpa tubuh akan dipajang dan
dipamerkan. Hukuman mati hanya mempertegas nilai kekejian yang akibatnya tidak
dapat diduga," tulis Camus.
Berabad-abad
lamanya hukuman mati telah dijadikan alat untuk menebar kengerian agar
masyarakat dapat dikuasai oleh yang memerintah. Berangkat dari teori yang
diungkapkan oleh Francis Bacon, Camus memiliki kesimpulan bahwa meski hukuman
mati yang ada sejak ratusan tahun lalu telah mencoba mencegah kejahatan, namun
dalam kenyataannya, kejahatan tetap ada. Dalam kenyataannya, hukuman mati tidak
mampu menekan angka kejahatan.
Hal
ini disebabkan karena rasa takut terhadap kematian atau maut tidak akan pernah
cukup membendung hasrat manusia. Benarlah kata-kata Bacon yang menyatakan bahwa
tidak ada hasrat yang sedemikian lemah, sehingga tidak mampu menghadapi dan
mengatasi ketakutan terhadap maut. Pergolakan naluri dalam dada manusia
bukanlah kekuatan konstan yang selalu berimbang. Naluri ini terus menerus
pasang-surut. Gerak pencarnya dari keadaan seimbang memupuk kehidupan batin
pikiran sebagaimana halnya getaran listrik, yang apabila cukup dekat, mampu
menimbulkan arus. Dasar inilah yang memunculkan pendapat hukuman mati tidak
benar-benar ditakuti orang. Penjahat akan takut mati sesudah hukuman
dijatuhkan, bukan sebelum kejahatan dilakukan.
Seyogianya,
hukum dan peraturan tidak diciptakan untuk memenuhi hasrat individu untuk
membalas dendam. Hukum tidak pernah didaulat untuk menjadi instrumen menuju
kematian, karena itu di hadapan hukum tidak seorang pun berhak memutus harapan
masa depan orang lain, kecuali sesudah orang itu mati. Tidak seorang pun di
antara kita yang dapat bertindak sebagai hakim mutlak dan menjatuhkan hukuman
dengan melenyapkan orang paling jahat dari mereka yang bersalah untuk
selama-lamanya. Tidak seorang pun di antara kita yang boleh menganggap dirinya
mutlak tidak pernah salah. Hukum haus darah akan melahirkan kebiasaan haus
darah pula.
Manusia
yang hidup berdasarkan hukum dan peraturan tidak akan pernah benar-benar bisa
berlaku adil. Menurut Camus, yang ada hanya nurani berlebihan atau
berkekurangan terhadap rasa keadilan. Hidup membuat kita paham sedikitnya akan
hal ini dan membuat kita sedikitnya berbuat kebajikan untuk mengimbangi
kejahatan yang telah kita perbuat di dunia ini. Hak hidup seperti ini, yang
memberi kesempatan pada kita untuk memperbaiki diri, adalah hak alami semua
manusia. Bahkan, mereka yang paling jahat sekalipun. Tanpa hak tersebut,
kehidupan moral menjadi mustahil.
Mengutip
apa yang pernah dikatakan oleh Francart, pelajaran dari tiang gantungan yang
kita terima adalah hidup manusia tidak lagi dianggap mulia ketika membunuhnya
menjadi lebih berguna.
Culture
of Violence
Hal
lain yang sangat mengerikan dari penerapan hukuman mati adalah melekatnya
kultur kekerasan di masyarakat yg belakangan coba diredam oleh kalangan aktivis
kemanusiaan. Sejarah mencatat Indonesia memiliki peristiwa sarat kekerasan yang
panjang dan kelam. Bisa jadi ini diperburuk dengan adanya publikasi hukuman
mati.
Belajar
dari Eropa, culture of violence
tersebut pernah menjangkiti masyarakat Prancis di abad ke-17 sampai awal abad
20. Negara itu dikenal memiliki cara eksekusi yang sadis. Hukuman pancung
menggunakan guillotine diterapkan
selama lebih dari 200 tahun. Kultur yang mengakar dan melekat di kepala
orang-orang Prancis. Saat terjadinya Revolusi Prancis dan penyerbuan Bastille
pun, kebencian rakyat terhadap pemerintah dirayakan dengan memancung kepala
Louis XVI dan Marie Antoinette.
Kejadian
itu tidak menutup kemungkinan dapat terjadi di Indonesia apabila keputusan menghilangkan
nyawa menjadi lumrah. History repeats
itself, begitu menurut para pemikir. Tinggal menunggu waktu sampai masyarakat
Indonesia benar-benar benci, kemudian menembak mati satu persatu pejabat
pemerintahan hingga Presiden yang terbukti melakukan tindak pidana. Terdengar
menyenangkan? The death penalty is a symptom
of a culture of violence, not a solution to law enforcement, Mr. President.
Bicara
tentang masalah kekerasan dan hukuman mati, saya disuguhkan pemikiran Hannah
Arendt dalam Banality of Evil sebagai
bahan diskursus menarik untuk dibicarakan. Jika Arendt merujuk pada Nazisme dan Stalinisme sebagai
contoh terjadinya banalitas kejahatan yang dilakukan oleh negara, lalu apakah
saya juga bisa mengatakan bahwa hukuman mati merupakan sebuah bentuk banalitas
kejahatan oleh negara? Atau mungkin kita bisa menyebutnya sebagai pembunuhan
yang dilegalkan?
Kekerasan,
menurut Arendt, terjadi karena ketiadaan nurani pada manusia yang menular pada
masyarakat. Ia menjelaskan bahwa kekerasan yang dilakukan Negara akan menular
pada masyarakat. Hal ini terjadi karena logika, konstitusi, dan perintah negara
menjadi sistem yang digunakan untuk mengatur masyarakat. Dengan begitu, Negara
berperan penting dalam menanamkan benih kekerasan dalam masyarakat.
Banalitas
kejahatan yang dimaksudkan oleh Arendt adalah situasi sosial dan politik di
mana kejahatan "dianggap" biasa karena seseorang yang berpandangan
dangkal dalam berpikir dan menilai suatu hal. Adanya banalitas kejahatan
disinyalir karena manusia kehilangan spontanitas dalam diri manusia. Hilangnya
spontanitas disebabkan oleh tiga faktor, yaitu ketumpulan hati nurani manusia,
kegagalan berpikir kritis, dangkal dan banal dalam menilai serta menghakimi
sesuatu. Pada kondisi seperti ini, orang akan memahami kejahatan yang dilakukan
negara sebagai sebuah 'kewajiban' yang patut dilaksanakan demi kebaikan
bersama. (Dikutip dari Banalitas
Kejahatan Menurut Hannah Arendt, Jessy Ismoyo)
Berangkat
dari teori tersebut, saya menyebut praktek hukuman mati ini sebagai kekerasan
dalam kekuasaan. Eksekusi mati sebagai sebuah teror, meski skalanya tidak
sebesar yang terjadi di negara-negara totalitarian. Teror yang terjadi selama
berpuluh tahun di republik ini, dikemas serupa efek jera agar masyarakat
menjadi taat hukum kendati tidak terbukti keampuhannya. Seperti yang dikatakan oleh politisi
Prancis pro eksekusi mati Tuaut de le Bouvere (1791), diperlukan pemandangan
mengerikan agar rakyat bisa dikuasai.
Kelemahan Daya Pikir atas
Nasib Manusia
Berdasarkan
laporan tahunan Amnesty International berjudul Death Sentences and Executions tahun 2014, terdapat 130 terpidana
di Indonesia yang dijatuhi hukuman mati, 64 diantaranya terkait kasus peredaran
narkotika. Sementara pada periode tahun 2011-2014, Pemerintah Indonesia melalui
Kementerian Luar Negeri RI secara proaktif mengadvokasi dan berhasil
mengusahakan keringanan hukuman bagi 240 WNI yang dijatuhi hukuman mati di luar
negeri. Hingga saat ini sebanyak 229 warga negara Indonesia masih terancan
hukuman mati, termasuk 15 orang di Cina karena kasus narkotika, 168 orang di
Malaysia (112 kasus narkotika dan 56 kasus pembunuhan), 38 orang di Arab Saudi,
4 orang di Singapura, dan 2 orang lainnya di Laos dan Vietnam, keduanya karena
kasus narkotika.
Hukuman
mati bukan kali ini saja terjadi di Indonesia. Mungkin karena menyangkut
persoalan yang disebut-sebut sebagai kejahatan luar biasa atau lebih seksi
dengan kalimat "Indonesia darurat narkoba" yang mana ramai dibicarakan
orang di media sosial. Kalau masih ingat, sekitar tahun 2006, pemerintah
Indonesia pernah mengeksekusi tiga terpidana mati pelaku kerusuhan Poso pada
tahun 2000, yaitu Fabianus Tibo, Dominggus da Silva dan Marianus Riwu. Berbagai
kalangan mengecam putusan kasus yang sarat dengan muatan politik itu. Bahkan,
ada yang mensinyalir jika eksekusi Tibo merupakan preview dari eksekusi Amrozi CS agar tidak menimbulkan pertentangan
luas dari pemeluk Islam. Hasilnya? sampai saat ini belum jelas siapa aktor
intelektual dibalik kerusuhan yang terjadi di Poso.
Agak
jauh ke belakang, hukuman mati pun sudah diterapkan sejak masa pergolakan revolusi
di Indonesia dan pasca-proklamasi kemerdekaan. Tahun 1965 merupakan tahun yang
menandai sejarah kelam bangsa Indonesia. Konflik politik dan ideologi mencapai
puncaknya. Kebijakan pemberantasan orang-orang PKI dan para simpatisannya
menyulut api pembunuhan yang membakar Jawa dan Bali. Hal ini terus menyebar ke
daerah lain. Jutaan orang dieksekusi mati. Ada yang melalui proses drama
peradilan, ada juga yang tidak. Algojo bermunculan. Atas nama dendam pribadi,
keyakinan, atau tugas negara, para algojo berdarah dingin mencabut nyawa mereka
yang dicap PKI. Mayat mereka dibuang begitu saja. Serupa seperti gejala yang
pernah diungkap oleh Hannah Arendt, para pelaku tak merasa bersalah atas
perbuatannya. (Pengakuan Algojo 1965: Investigasi TEMPO Perihal Pembantaian
1965)
Kemudian
belakangan ini, eksekusi delapan terpidana mati kasus narkoba menimbulkan polemik
di media massa dan mengundang reaksi keras dari berbagai kalangan, termasuk
dunia internasional. Franz Magnis-Suseno, rohaniwan sekaligus guru besar di
Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara mengungkapkan empat alasan prinsipil kenapa
hukuman mati harus dihapuskan.
Dalam
opini yang dimuat oleh sebuah surat kabar nasional, ia menulis alasan pertama
adalah karena sistem yudisial Indonesia belum bersih dari praktik korup.
Membunuh orang tidak mungkin berdasar atas keputusan lembaga-lembaga yang tidak
dapat dipastikan kejujurannya. Alasan kedua, hukuman mati satu-satunya hukuman
yang tidak dapat dicabut sesudah dilaksanakan. Padahal, kemungkinan kekeliruan
selalu ada. Sistem terbaik pun tidak dapat 100% menjamin bahwa suatu putusan
pengadilan tidak keliru. Ketiga, ini menyangkut harkat kemanusiaan. Membunuh
orang, kecuali untuk membela diri atau dalam pertempuran militer resmi, adalah
tindakan yang tidak termasuk wewenang manusia. Kemudian, alasan keempat,
seperti yang pernah dikatakan Beccaria dan Camus, hukuman mati tidak memiliki
efek jera.
Selain
keempat alasan di atas, dalam laporannya Amnesty International mengungkapkan
bahwa beberapa negara yang masih menerapkan hukuman mati, memiliki indikasi
tidak adil ketika menjalankan proses peradilan. Mereka menemukan di Cina, Iran
dan Irak, yaitu tiga negara dengan jumlah eksekusi mati terbanyak, menggunakan
cara-cara penyiksaan dalam proses interogasi. Tidak jarang hukuman mati pun lekat
dengan praktik diskriminasi dan demi meraih kemenangan politik kekuasaan. Seperti
kita tahu, banyak kasus hukuman mati terjadi karena golongan masyarakat miskin
tidak memiliki akses yang setara atas keadilan.
Di
balik segala alasan penolakan ataupun dukungan, seharusnya negara mampu melihat
betapa bobroknya sistem hukum sebagai dasar pertimbangan penerapan hukuman
mati. Indonesia belum berada dalam kondisi ideal yang benar-benar mampu
memberikan keadilan dan kepastian hukum secara merata. Jika benar ingin
menunjukkan ketegasan dan kedaulatan hukum di mata dunia internasional, seharusnya
negara dapat memulainya dengan usaha menyelesaikan kasus kejahatan kemanusiaan
masa lalu. Pembunuhan mahasiswa dan warga sipil secara tersistematis serta
meluas tentu tidak kalah penting dengan kasus narkoba. Mungkin benar apa yang
pernah dikatakan seorang pemikir, ketika daya pikir menjadi lemah — kata-kata akan menjadi tanpa makna. Sekelompok
masyarakat akan buta dan tuli terhadap nasib seorang manusia.
Satu lagi, Pak Presiden, saya rasa penyebab utama rusaknya generasi muda Indonesia bukan disebabkan oleh narkoba, tetapi karena tidak membaca. Kegagalan berpikir kritis dan tumpulnya hati nurani membuat kita tidak lebih pintar dari masyarakat Prancis di abad ke-17.
*Ilustrasi: Toto Prastowo