Sunday, April 3, 2016

Sejak Mei 1998, Maria Sanu Masih Menunggu Anaknya Pulang...

JAKARTA, KOMPAS.com - Sudah hampir dua dasawarsa lalu Tragedi Mei 1998 terjadi. Namun, hingga saat ini Maria Sanu (68) tetap belum menemukan kejelasan nasib putranya, Stevanus Sanu, yang saat itu berusia 16 tahun.
"Ya Tuhan kalau memang dia takut pulang karena ikut menjarah, tolonglah bimbing dia pulang kembali sampai rumah. Kalau memang dia ikut terbakar, mohon ampuni segala dosanya. Itu doa saya sampai saat ini," ucap Maria.
Kamis siang, 14 Mei 1998, Maria pergi ke luar rumah untuk mencari Stevanus, yang saat itu duduk di bangku kelas dua SMP. Stevanus belum juga pulang sejak pukul 12.00 WIB untuk makan siang.
Maria mencari anaknya itu ke sebuah lapangan bola tempat biasanya Stevanus bermain. Namun, Stevanus tidak ditemui di lapangan bola dekat masjid itu.
"Saya tanya ke temannya, temannya bilang dia pergi ke mal Yogya Plaza. Saya tanya ada apa, katanya ada penjarahan," ujar Maria, menceritakan kembali saat anaknya menghilang.
Rumahnya yang terletak di Perumnas Klender memang tidak terlalu jauh dengan Yogya Plaza. Dia melihat orang-orang saat itu berlarian sambil membawa barang-barang jarahan seperti televisi, kulkas, kipas angin, setrika, dan lain sebagainya.
"Saya takut, enggak jadi pergi ke pasar untuk beli persediaan obat di rumah untuk anak-anak. Biasanya kalau kerusuhan seperti itu banyak toko tutup, makanya saya sempetin beli obat. Tapi tetangga bilang di pasar juga sedang ramai penjarahan," tuturnya.
Malam harinya, Stevanus belum juga pulang. Maria tengah bersiap untuk pergi berdoa Rosario di rumah salah satu kerabatnya.
Dia memutuskan untuk tetap menunggu. Sebab, pada paginya Stevanus sudah berjanji akan menemaninya pergi.
Kemudian, Maria melanjutkan, ada seorang ibu yang cerita anaknya harus pulang jalan kaki dari sekolah, karena tidak ada angkutan umum yang mau ke lewat Perumnas Klender.
"Saya bilang saya juga sedang nunggu Stevanus, sampai sekarang belum pulang," ucapnya.
"Biasanya dia aktif dan rajin ikut doa rosario. Stevanus pasti tahu kalau Kamis malam akan ada doa rosario," ujarnya.
Dua hari berlalu sejak terbakarnya Yogya Plaza, Maria belum juga menerima kabar dari Stevanus.
Dari berita di televisi ia mendengar kabar bahwa ada ratusan korban kebakaran yang sudah tidak bisa diidentifikasi dan akan dikuburkan secara massal.
Maria semakin khawatir anaknya ikut menjadi salah satu korban. Sanak saudaranya dari berbagai daerah menelepon, menanyakan kabar dan berasumsi kalau Stevanus menjadi salah satu korban yang akan dikuburkan secara massal.
"Hari Minggu, anak saya pergi ke RSCM, tapi tidak bisa menemukan Stevanus, karena banyak dari korban itu sudah enggak bisa dikenali," tutur Maria.
Maria juga sudah lapor ke Polsek Duren Sawit. Namun, sampai sekarang pun jeja Stevanus belum juga terlihat.
"Akhirnya saya hanya bisa pasrahkan kepada Tuhan," ucap Maria.
Pelanggaran HAM Berat
Terbakarnya mal Yogya Plaza termasuk salah satu rentetan peristiwa kerusuhan yang terjadi pada 13-15 Mei 1998.
Laporan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) menyebutkan bahwa peristiwa kerusuhan tersebut terjadi secara sistematis, massif dan meluas. Artinya, peristiwa itu memenuhi syarat dugaan telah terjadi pelanggaran HAM berat.
TGPF berkeyakinan, bahwa peristiwa tanggal 13-15 Mei 1998 tidak dapat dilepaskan dari konteks keadaan dan dinamika sosial-politik masyarakat sat itu.
Peristiwa-peristiwa sebelumnya, seperti Pemilu 1997, penculikan sejumlah aktivis, krisis ekonomi, Sidang Umum MPR-RI 1998, unjukrasa/demonstrasi mahasiswa yang terus-menerus, serta tewas tertembaknya mahasiswa Universitas Trisakti, semuanya berkaitan erat dengan peristiwa tanggal 13-15 Mei 1998.
Untuk peristiwa kebakaran Yogya Plaza Klender sendiri, TGPF menemukan fakta-fakta bahwa ada sekolompok provokator yang memancing massa untuk menjarah, mengunci pintu masuk, kemudian membakar gedung.
Para provokator ini tidak ikut menjarah dan segera meninggalkan lokasi setelah gedung atau barang terbakar.
Maria Sanu hanyalah salah satu dari sekian banyak orangtua yang anaknya menjadi korban peristiwa kerusuhan Mei 1998.
Saat ini, Maria mengaku pasrah, mengaku tidak mungkin lagi meminta pemerintah untuk mengembalikan anaknya.
Maria hanya minta kasus masa lalu itu diungkap kebenarannya dan mendapatkan keadilan. Dia juga meminta ketegasan PresidenJoko Widodo untuk merealisasikan janji kampanyenya terdahulu untuk menyelesaikan kasus pelanggaran berat HAM.
"Ibu kan buta hukum. Saya hanya ingin kejelasan kasus ini. Siapa yang paling bertanggung jawab," tuturnya.
"Saya dengar waktu itu Munir sudah memegang nama-nama penanggungjawab kasus Mei 1998, tapi ya keburu diracun. Pak Jokowi harus tegas. Satu saja kasus yang bisa mengungkap, maka yang lain akan ikut terungkap" ujar Maria Sanu.


*************
Artikel ini telah dimuat di Kompas.com, Minggu 31 Januari 2016

Soeharto Dalam Ingatan: Runtuhnya Ambisi Kekuasaan Bapak Pembangunan

AKARTA, KOMPAS.com - Di antara beberapa tokoh yang pernah memimpin bangsa Indonesia, mungkin figur Presiden Soeharto-lah yang paling memiliki keunikan tersendiri. 

Bagaikan dua sisi mata uang, dia disegani sekaligus dikagumi. Di sisi lain, ada juga yang tidak menyukai dan cenderung membenci. 

Meski demikian, hingga saat ini, Soeharto masih lekat dengan julukan Bapak Pembangunan. Dia dianggap berhasil membangun Indonesia dari segi infrastruktur. Pasca menduduki kursi presiden, berbagai kebijakan dia ciptakan agar roda pembangunan terus berjalan. 

Konsep pembangunan Soeharto dilandaskan pada stabilitas dan kekuasaan yang kuat. Dengan begitu program pembangunan lima tahun terus dicanangkan. 

Visi pembangunan

Seorang karyawan swasta, Marlon Hutajulu (32), mengenang Soeharto sebagai seorang perencana yang baik dalam pembangunan.

"Terlepas apapun hasilnya, paling tidak sebagai pemimpin telah membuktikan bahwa beliau memiliki visi dalam membangun Indonesia," ujar Marlon ketika diwawancarai Kompas.com di Jakarta, Rabu (27/1/2016).

Menurut Marlon, Presiden Soeharto mempunyai gaya kepemimpinan yang khas. Dia mengatur negara seperti memimpin sebuah perusahaan, menciptakan keteraturan dalam satu komando, kemudian berdampak pada keamanan dan ketertiban dalam masyarakat. 

(Baca: Senja Kala dan Setetes Air Mata Soeharto...)

Namun, ambisi untuk menjadi orang paling kuat selama 32 tahun justru membuatnya jatuh dari kursi kekuasaan. 

"Saya termasuk orang yang hanya menonton televisi saat beliau mundur dari jabatannya sebagai Presiden akibat tuntutan masyarakat dan mahasiswa. Namun demikian, Presiden Soeharto tetaplah salah satu tokoh besar Indonesia," ujar Marlon.

Ambisius

Hal yang tidak jauh berbeda juga diungkapkan oleh Jessy (25), seorang jurnalis dari salah satu majalah di Jakarta. 

Dia melihat Soeharto begitu melekat dengan program REPELITA (Rencana Pembangunan Lima Tahun), Gerakan Nasional Orang Tua Asuh (GN-OTA), tingkat pengangguran yang rendah, swasembada pangan dan perannya dalam penumpasan G30S/PKI yang berusaha mengambil alih kedaulatan negara. 

"Sebagai orang yang dibesarkan dalam lingkungan keluarga militer dan hanya menyaksikan separuh waktu dari keseluruhan masa orde baru, sebenarnya saya tidak punya kesan mendalam terhadap Soeharto. Yang saya tahu hanya itu," ujarnya ketika dihubungi Kompas.com, Rabu (27/1/2016). 

Layaknya anak-anak pada umumnya, ia mengaku bukan tipe yang sadar secara sosial dan politik. Hal tersebut terus berjalan hingga masuk dalam lingkungan universitas. 

Dunia kampus mulai memberikan perspektif baru terhadap pandangannya mengenai Presiden kedua tersebut. Ia melahap banyak diskusi tentang kejahatan kemanusiaan dan peristiwa G30S. 

(Baca: Hanya Bu Tien yang Bisa Buat Soeharto Minder)

Ia juga mulai membedah bagaimana Soeharto menjalankan politik semasa Orde Baru hingga akhirnya mengundurkan diri pada Kamis, 21 Mei 1998. 

"Tidak hanya bias fakta sejarah, kuliah juga membawa kesadaran dan pengetahuan tentang Orde Baru yang juga dianggap melakukan rekayasa politik untuk meruntuhkan Orde Lama," ungkap Jessy.

Dalam kepemimpinan Soeharto, dia pun mulai menyadari fenomena serba terbatas mulai dari pemilu, kebebasan pers, besarnya peran ABRI dalam kancah sosial politik, hingga fusi partai politik yang menjadi hanya tiga partai. 

Setelah itu, Jessy menyadari bahwa kepemimpinan Presiden Soeharto punya dampak lebih dari yang ia kira. Menurutnya, kekuasaan seseorang harus tetap dibatasi. Seorang pemimpin yang berkuasa lebih dari lima tahun rentan dengan penyalahgunaan kekuasaan. 

Ketika dulu ia melihatnya sebagai Bapak Pembangunan, sekarang ia melihatnya sebagai seorang ambisius yang jatuh karena tak tahu kapan waktunya untuk berhenti. 

"Saya rasa Indonesia belajar banyak dari kesalahan masa lalu, setidaknya kita paham bahwa tidak ada penguasa yang boleh dibiarkan melenggang terlalu lama," tutur Jessy. 

Suara "wong cilik"
Lain lagi dengan Pak Didin. Pria penjual kopi yang sehari-hari menjajakan dagangannya di sekitar Rumah Sakit Pertamina Pusat ini mengaku lebih mudah menjalankan usahanya saat Soeharto masih menjadi Presiden. 

Masa kepemimpinan Soeharto justru lebih banyak memberikan kenyamanan dari segi perekonomian. 

"Saya jualan kopi sejak tahun 1982. Dulu duit 100 ribu bisa bawa pulang berkardus-kardus kopi. Cari duit gampang. Sekarang duit segitu udah enggak ada harganya. Apa-apa mahal dan biaya sekolah anak juga tinggi," ujarnya. 

(Kumpulan foto: Sewindu Meninggalnya Soeharto) 

Sementara, bagi Siti Nurbaiti, seorang pemilik warung kelontong di daerah Bendungan Hilir, hal yang sulit ditemukan lagi saat ini adalah rasa aman. Meski dari sisi ekonomi tidak jauh berbeda, namun zaman Soeharto jarang sekali terjadi kasus kekerasan seperti terorisme. 

"Dulu sepertinya jarang ada teror bom kayak kemarin itu. Korupsi juga nggak terlalu kelihatan, sekarang hampir tiap hari ada berita korupsi," ujar Siti. 

Namun ia juga mengakui bahwa setelah Soeharto lengser, pemerintah menjadi lebih terbuka. Seperti tidak ada jarak antara pejabat dengan masyarakat. 

"Sekarang kan pemimpin benar-benar turun ke jalan. Kalau dulu rasanya pejabat kurang dekat dengan rakyatnya," ungkapnya.

*******

Artikel ini telah dimuat di Kompas.com, Kamis 28 Januari 2016

http://nasional.kompas.com/read/2016/01/28/11070161/Soeharto.Dalam.Ingatan.Runtuhnya.Ambisi.Kekuasaan.Bapak.Pembangunan?page=all

Soeharto, Sosok Presiden yang Penuh Misteri

JAKARTA, KOMPAS.com — Sosok Presiden Soeharto meninggalkan kesan yang begitu mendalam bagi masyarakat Indonesia. 

Tiga puluh dua tahun berkuasa, tentu kiprahnya sebagai Presiden kedua Republik Indonesia masih melekat di ingatan setiap orang yang pernah merasakan kepemimpinannya. 

Begitu juga dengan anak-anak muda yang tumbuh pada pengujung lengsernya Soeharto dari kursi kepresidenan. 

Mereka, yang lebih banyak mengetahui kiprah Presiden Soeharto itu dari bangku sekolah, buku, artikel berita, dan cerita dari orang-orang terdekat, ternyata juga memiliki kesan tersendiri. 

"Tahun 1998, umur saya baru empat tahun. Terang saja saya enggak tahu apa-apa soal reformasi, apalagi soal Bapak (Soeharto) itu," ujar Nisrina Nadhifah Rahman, seorang pegiat lembaga swadaya masyarakat, ketika ditemui Kompas.com di Jakarta Pusat, Rabu (27/1/2016). 

(Baca: Soeharto dan Perjalanan Rahasianya)

Ia menceritakan pengalaman yang ia rasakan saat reformasi bergejolak pada tahun 1998. Saat itu, ia sedang makan bersama ibunya di salah satu restoran di Kota Bogor. 

Tidak beberapa lama, lampu di restoran tersebut mati dan orang-orang berteriak menyuruh mereka keluar dari restoran. 

"Itu pengalaman yang saya ingat pada masa-masa reformasi dan kejatuhan Soeharto. Meski di Bogor, ternyata jarak juga tidak berpengaruh sama sekali. Saya ikut merasakan hawa mencekam reformasi," ungkap Nisrina. 

Sebagai anak muda yang tidak begitu merasakan masa Orde Baru, Nisrina hanya mengenal Presiden Soeharto lewat buku-buku pelajaran sejarah di sekolah dan penjelasan dari gurunya. Ia mengetahui bahwa Soeharto adalah mantan Presiden RI yang paling lama menjabat. 

(Baca: Cerita Dicky Sondani, Kapolsek yang Mengungkap Meninggalnya Pak Harto)

Ia heran kenapa seorang presiden bisa menjabat selama 32 tahun. Rasa ingin tahunya itu membuat Nisrina bertanya kepada banyak orang, termasuk ibunya. 

"Beliau jelasin soal Soeharto yang rezimnya disebut rezim Orde Baru. Soeharto dijulukin sebagai 'Bapak Pembangunan' karena dulu dia getol banget membangun ekonomi kerakyatan lewat pertanian dan segala macam. Tetapi, di samping itu, selama 32 tahun berkuasa, ada banyak juga kebijakan dan peristiwa kemanusiaan yang terjadi," tuturnya. 

Setelah beranjak dewasa, Nisrina mulai banyak menemukan hal-hal menarik seputar Soeharto dari berbagai sumber. Pemahamannya terhadap langkah politik dan gaya kepemimpinan Soeharto semakin bertambah. 

(Baca: Astana Giribangun, Peristirahatan Terakhir Soeharto)


Saat duduk di bangku SMA, ia kemudian tertarik untuk mendalami isu-isu hak asasi manusia dan jender. Menurut dia, banyak kebijakan Presiden Soeharto yang tidak ramah dengan kemanusiaan. Beberapa peristiwa pelanggaran HAM juga banyak terjadi pada masa Orde Baru. 

Sejak saat itu, dia melihat Soeharto sebagai figur pemimpin yang represif dan diktator. Tidak ada kebebasan sipil kala itu karena semua dikontrol oleh satu orang. 

"Kebetulan pas SMP dan SMA, saya jadi reporter relawan sebuah media non-profit yang fokus pada isu jender dan HAM. Makanya, pengetahuan dan pemahaman saya soal HAM yang ada kaitannya dengan sejarah Soeharto juga jadi bertambah," ujarnya. 

(Baca: Sikap SBY Ketika Soeharto Meninggal)

Bagi Nisrina, sosok Soeharto tetap menjadi figur yang penuh misteri. Setelah wafat sewindu yang lalu, Soeharto banyak meninggalkan sejarah dan hal-hal yang tak terungkap. 

"Ada banyak hal, sejarah, dan kisah yang beliau tinggalkan, termasuk soal utang keadilan terhadap korban pelanggaran HAM masa lalu yang hingga kini belum dijawab negara," katanya. 

Delapan tahun setelah wafat, Soeharto tetap meninggalkan berbagai macam kisah yang menunggu untuk diungkap.

*Artikel ini telah dimuat di Kompas.com, Rabu 27 Januari 2016
http://nasional.kompas.com/read/2016/01/27/11591951/Soeharto.Sosok.Presiden.yang.Penuh.Misteri?page=all

Kisah Sri Rahayu Keluar dari "Cengkeraman" ISIS di Suriah

JAKARTA, KOMPAS.com — Sebanyak 33 warga negara Indonesia berhasil dipulangkan dari Raqqah, Suriah, kembali ke Tanah Air. Raqqah dianggap sebagai pusat operasi kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS).
Mereka dipulangkan ke Indonesia, pada Selasa (29/3/2016) pagi sekitar pukul 07.40 WIB.
Salah satu WNI yang dipulangkan yaitu Sri Rahayu binti Masdin Nur. Ia tinggal selama tiga tahun di kota tersebut, sebelum akhirnya berhasil keluar menuju kota Aleppo, Suriah.
Kemudian, pada 12 Maret 2016, Rahayu dievakuasi oleh Kedutaan Besar RI ke Damaskus.
Ia sempat menceritakan kisahnya keluar dari Suriah kepada wartawan saat melakukan konferensi pers di kantor Kementerian Luar Negeri RI yang dihadiri oleh Juru Bicara Kemenlu Armanatha Nasir dan Direktur Perlindungan WNI Lalu Muhammad Iqbal, Selasa (29/3/2016).
Sri menceritakan kondisi di Suriah, terutama di kota Raqqah tempat ia bekerja, sudah sangat tidak aman. Anggota ISIS mengambil rumah dan harta benda yang ditinggalkan oleh penghuninya untuk mengungsi.
"Rumah yang ditinggalkan oleh penghuninya diambil oleh anggota ISIS. Rumah majikan saya tidak, tapi kebanyakan rumah-rumah tetangga saya diambil oleh ISIS. Barang dan hartanya juga diambil," ucapnya.
Setelah merasa benar-benar tidak aman, ia lalu meminta pertolongan seorang temannya warga Suriah untuk menghubungi Kedutaan Besar Republik Indonesia agar membantunya keluar dari Raqqah.
Saat itu ia mengaku ingin segera pulang ke Indonesia tapi tidak mengetahui cara untuk menghubungi pihak KBRI. Akhirnya temannya bersedia untuk membantu.
Setelah berhasil terhubung, ia dijemput oleh seorang pengacara berkebangsaan Suriah utusan dari KBRI untuk keluar dari Raqqah dan menuju kota Aleppo.
Bukan perkara mudah untuk keluar dari kota Raqqah. Menurut penuturan Direktur Perlindungan WNI, tidak sembarang orang bisa keluar masuk dengan mudah di Raqqah.
Beruntung, KBRI memiliki seorang pengacara asal Suriah yang mau melakukan tugas evakuasi. Dia mempunyai akses untuk masuk ke Raqqah dan kenal dengan pihak ISIS maupun pemerintah.
Sri dan pengacara asal Suriah itu harus berjalan secara sembunyi-sembunyi melewati jalur pegunungan selama 6 hari.
Ia tidak bisa menggunakan jalur yang biasa digunakan karena beberapa titik perbatasan di Raqqah telah dijaga ketat oleh anggota ISIS bersenjata lengkap.
Ia pun harus menggunakan cadar untuk menutup mukanya dan mengaku sebagai istri dari pengacara tersebut apabila bertemu dengan orang lain.
"Saya pakai cadar dan sarung tangan supaya tidak terlihat. Di jalan banyak kemah dan ditanya oleh orang-orang selama di jalan. Jadi mereka tidak tahu saya orang Indonesia. Kalau mereka tahu saya bisa dipenjara," kata Sri.
Setelah tiba di Aleppo ia melanjutkan perjalanan ke kota Damaskus selama 15 hari. Damaskus merupakan kota di mana proses pemulangan ke Indonesia dilakukan oleh KBRI.
Selama perjalanan itu Sri mengaku tidak sempat membawa barang-barang pribadinya.
"Keluar dari Raqqah saya tidak bawa barang apapun. Yang penting selamat," ujarnya.
Selama 3 tahun bekerja di Raqqah, sudah banyak kekejaman ISIS yang ia saksikan sendiri. Ia membenarkan berita mengenai kepala-kepala manusia yang diletakkan di pinggir jalan oleh anggota ISIS.
Sri berkisah, saat itu ia sedang berbelanja sayur kebutuhan majikannya. Kemudian, ia melihat kumpulan orang yang sedang berdiri di pinggir jalan.
"Saya tanya ke penjual sayur itu apa yang sedang mereka saksikan, kata orang penjual sayur lebih baik saya jangan ke sana," kata Sri.
Karena penasaran akhirnya ia hampiri kerumunan orang tersebut dan ia melihat ada 8 kepala manusia diletakkan berjajar di pinggir jalan.
"Setelah itu lalu saya pulang, sayur-sayur di tangan saya buang karena tidak kuat melihat hal itu. Untung saya tidak melihat proses eksekusinya," tutur Sri.
Sri menjelaskan, sudah setahun belakangan ini dia mencari cara agar bisa keluar dari Suriah. Konflik berkepanjangan antara ISIS dengan pemerintah telah membuat kota Raqqah dihujani bom sepanjang hari.
Sebuah bom pun pernah meledak di depan rumah majikannya dan membuat bagian depan rumah tersebut hancur berantakan.
"Saya sangat takut dengan ISIS, karena itu saya putuskan untuk pulang ke Indonesia," ucap Sri.


*Artikel ini telah dimuat di Kompas.com, Rabu 30 Maret 2016
http://nasional.kompas.com/read/2016/03/30/06060071/Kisah.Sri.Rahayu.Keluar.dari.Cengkeraman.ISIS.di.Suriah

Polemik Taksi "Online", Antara Kebutuhan Perut dan Tuntutan Perubahan

JAKARTA, KOMPAS.com - Ribuan sopir taksi konvensional yang tergabung dalam Paguyuban Pengemudi Angkutan Darat (PPAD) dan Forum Komunikasi Masyarakat Penyelenggara Angkutan Umum (FK-MPAU) melakukan demonstrasi besar-besaran di Jakarta, Selasa (22/3/2016). 

Mereka menuntut penutupan perusahaan penyedia jasa transportasi online yang masih bebas beroperasi. Para sopir juga meminta Kemenkominfo untuk membekukan operasi perusahaan angkutan yang menggunakan kendaraan berpelat hitam, seperti Uber dan Grab. 

Unjuk rasa tersebut menimbulkan kemacetan di beberapa titik di Jakarta. Sayangnya, demonstrasi tersebut harus diwarnai dengan sejumlah aksi kekerasan yang menjalar menjadi aksi saling serang antara pengemudi taksi dengan pengendara Go-Jek.

(Baca: Mereka yang Gagap Menghadapi Perubahan)

Ironis rasanya melihat antar sopir yang sama-sama bekerja menafkahi keluarganya itu saling menyerang. Mereka tak lagi melihat bahwa kepentingan yang mereka bawa sebenarnya sama, yakni berjuang untuk perut mereka dan keluarga. Tak ada yang lain. 

Ketimpangan pendapatan rupanya menjadi pemicu yang cukup kuat untuk meledakkan emosi para sopir taksi konvensional. Pemerintah diminta bersikap, tidak bisa lagi membiarkan masalah ini mengambang yang semakin membuat para sopir menjerit.

Perkembangan teknologi dan konsep sharing economy yang kini mulai menjangkiti generasi milenial tidak bisa lagi dielakan. Namun, tetap saja perkembangan zaman ini membutuhkan regulasi yang mampu mencerminkan kondisi terkini.

Segera revisi UU dan batas tarif

Peneliti kebijakan dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Muhammad Faiz Aziz, menyayangkan terjadinya demonstrasi yang dilakukan oleh supir taksi konvensional tersebut. 

Menurut Faiz, pemerintah harus segera mengambil tindakan dengan membuat regulasi yang dapat mengikat perusahaan aplikasi transportasi, penyedia jasa angkutan berbasis aplikasi, dan konsumen. 

(Baca: Polisi Tetapkan Satu Tersangka Terkait Aksi "Sweeping" Transportasi)

Langkah yang bisa diambil adalah segera merevisi UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu lintas dan Angkutan Jalan dan Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2014 tentang Angkutan Jalan. Revisi itu harus memasukan pengaturan transportasi publik berbasis aplikasi dalam regulasi. 

"Pemerintah seharusnya mengatur transportasi berbasis aplikasi. Kalau tidak akan selalu terjadi pertemuan konflik antardua kepentingan," ujar Faiz ketika dihubungi Kompas.com, Selasa (22/3/2016). 

Faiz menjelaskan, selama ini pemerintah belum bisa mengakomodasi konflik kepentingan antarpenyedia jasa, supir taksi dan pengguna layanan. Konflik tersebut terjadi karena tidak adanya pembatasan mengenai penerapan tarif yang jelas. 

Perusahaan taksi konvensional berkeberatan dengan penerapan tarif taksi berbasis online yang relatif murah. Mereka menginginkan pengaturan tarif yang adil. Sedangkan konsumen menginginkan tarif yang murah dan fasilitas yang nyaman serta aman. 

"Pemerintah harus membuat peraturan yang seimbang untuk mengakomodasi seluruh kepentingan tersebut," kata dia. 

Faiz menambahkan, pemerintah juga harus memperhatikan adanya dugaan praktik jual rugi atau predatory pricing yang selama ini dialamatkan pada perusahaan jasa angkutan berbasis online. Jika tidak diatur, maka hal itu akan menimbulkan monopoli. 

(Baca: Dua Solusi Ini Dapat Dilakukan Pemerintah untuk Atasi Polemik Taksi "Online")

Predatory pricing merupakan praktik yang dilarang, di mana sebuah perusahaan akan menerapkan harga semurah mungkin agar kompetitor lain tidak mampu bersaing dan terlempar dari pasar. 

Setelah itu, secara perlahan perusahaan akan memonopoli pasar dan menaikan harga. 

"Ada semacam dugaan penerapan jual rugi atau predatory pricing yang bisa membuat perusahaan taksi konvensional gulung tikar. Praktik seperti ini dilarang dalam pasal 20 UU Nomor 5 Tahun 1990," kata Faiz.

Ia pun mengusulkan, selain membuat peraturan hukum, Pemerintah juga harus menerapkan tarif batas bawah, seperti yang pernah dilakukan Menteri Perhubungan dengan menentukan tarif batas bawah di sektor penerbangan untuk kelas ekonomi. 

"Peristiwa ini seharusnya kembali menjadi momentum bagi pemerintah untuk melihat lebih dalam lagi untuk serius membenahi kerangka hukum untuk memfasilitasi transportasi berbasis aplikasi sehingga kontroversi semacam ini tidak terulang kembali," pungkasnya. 

Pemerintah belum temukan solusi

Pemerintah bukannya tidak sadar akan persoalan yang terjadi. Diskusi yang alot antara Menteri Perhubungan Ignasius Jonan dan Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara tak kunjung membuahkan hasil.

Demikian pula pertemuan antara Rudiantara dengan perwakilan demonstran yang tak menempukan kata sepakat. Rudiantara menolak memblokir aplikasi, yang bukan menjadi wewenangnya.

Rapat pun ditingkatkan ke level Kementerian Politik, Hukum, dan Keamanan di bawah kendali Luhut Binsar Pandjaitan.

Luhut menyampaikan bahwa Presiden Joko Widodo (Jokowi) menginstruksikan agar jajaran kementerian mengedepankan aspek keadilan dalam menyelesaikan polemik taksi online ini.

Setelah rapat yang cukup lama, lagi-lagi tak ada solusi yang dihasilkan. Luhut menyadari bahwa demonstrasi hebat kemarin dipicu adanya ketidakadilan yang terjadi antara taksi konvensional dengan taksi yang berbasis aplikasi.

Luhut mencontohkan, bentuk ketidakadilan yang dimaksud ialah soal pajak dan izin. Angkutan konvensional dan angkutan berbasis aplikasi seharusnya sama-sama bayar pajak dan mempunyai izin. 

"Kalau saya bayar pajak, kamu juga harus bayar. Kalau kamu terdaftar, saya juga harus terdaftar. Kalau kamu punya izin, saya harus punya izin juga," ujar Luhut.

Solusi pun diserahkan kembali kepada Jonan dan Rudiantara yang akan kembali bertemu hari ini. Akankah pertemuan itu membuahkan hasil?

Semua pihak berharap demikian. Sehingga, tak ada lagi kerugian yang terjadi pada taksi konvensional, penyedia jasa berbasis aplikasi, dan terutama masyarakat yang membutuhkan layanan transportasi yang baik.


*Artikel ini telah dimuat di Kompas.com, Rabu 23 Maret 2016 
http://nasional.kompas.com/read/2016/03/23/08112691/Polemik.Taksi.Online.Antara.Kebutuhan.Perut.dan.Tuntutan.Perubahan?page=all

Ricuh DPD: Antara Rendahnya Kinerja dan Perebutan Fasilitas Jabatan

JAKARTA, Kompas.com - Kericuhan yang terjadi saat rapat paripurna Dewan Perwakilan Daerah di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (17/3/2016) lalu, mendapat kritik pedas dari berbagai pihak. 

Pasalnya, mereka meributkan soal pemangkasan masa jabatan pimpinan DPD dari 5 tahun menjadi 2,5 tahun yang sebenarnya tidak berpengauh pada peningkatan kinerja DPD. 

Pengamat hukum tata negara dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Bivitri Susanti, melihat kericuhan yang terjadi di Dewan Perwakilan Daerah RI adalah tindakan yang kontra produktif. 

Ia menilai, pemangkasan masa jabatan pimpinan DPD merupakan satu hal yang sebenarnya tidak perlu diributkan, karena panjangnya masa jabatan tidak akan membawa pengaruh signifikan terhadap kinerja DPD itu sendiri. 

Sementara, selama dua tahun terakhir, kinerja DPD dianggap tidak terlalu baik. 

Tidak ada RUU dan komentar politik yang dihasilkan. 

"Seharusnya mereka fokus pada perbaikan kinerja, bukan malah meributkan soal masa jabatan pimpinan. Itu tidak penting sama sekali," ujar Bivitri ketika dihubungi Kompas.com, Jumat siang (18/3/2016). 

Lebih lanjut ia mengatakan, sikap yang ditunjukkan oleh DPD membuat masyarakat tidak bersimpati, sementara selama ini masyarakat sipil selalu mendorong agar kewenangan DPD diperkuat. 

Kewenangan DPD selama ini, kata Bivitri, dinilai terlalu lemah. 

DPD tidak memiliki kewenangan untuk membuat UU dan menentukan pejabat publik. 

"Mereka hanya bisa mengajukan rancangan UU dan ikut dalam pembahasan," ungkapnya. 

Sementara itu, Pengamat politik sekaligus dosen Fakultas Komunikasi Politik Universitas Bengkulu, Lely Arrianie, menyayangkan kericuhan yang terjadi. 

Menurutnya, kericuhan tersebut merupakan contoh pembelajaran politik yang buruk, tidak cantik sekaligus mempertontonkan perilaku politik yang tidak layak. 

Sebagai anggota Dewan Perwakilan Daerah, kata Lely, seharusnya pandai mengemas pesan politik termasuk ketidaksepakatan politik dengan argumentasi politik yang santun tapi tepat sasaran.

"Secara pribadi saya tidak menolerir kebodohan sikap politik para senator yang menyelesaikan persoalan apalagi internal dengan kericuhan," ujar Lely saat dihubungi Kompas.com, Jumat (18/3/2016). 

Lely menjelaskan, Ketua DPD Irman Gusman seharusnya bersikap sebagai negarawan. 

Ia harus mengambil sikap sesuai dengan konsistensi pembahasan tata tertib dalam sidang paripurna sebelumnya. 

Lebih lanjut ia menjelaskan, UU 17 tahun 2014 (UU MD3) tidak mengatur tentang teknis pemilihan dan penggantian pimpinan DPD, juga jangka waktu seseorang menjadi menjabat sebagai pimpinan. 

Jangka waktu jabatan pimpinan DPD selama 5 tahun ataupun 2,5 tahun sebagaimana diusulkan menjadi wujud kesepakatan para anggota yang diatur dalam tata tertib. 

Tata tertib tersebut dibuat bersama seluruh unsur terkait dan pembahasannya dilakukan dengan mekanisme yang berlaku yakni rapat paripurna luar biasa DPD pada 15 Januari 2016. 

"Di dalam UU diatur mengenai siklus 5 tahunan. Artinya jika mereka mau 2,5 tahun atau 5 tahun dalam satu siklus penggantian pimpinan ya nggak apa-apa. Asal jangan lebih dari 6 tahun. Rasanya tidak ada salahnya diikuti sebagai kesepakatan bersama," ucapnya. 

Kenapa Ricuh? 

Bivitri Susanti menduga kericuhan yang terjadi di Dewan Perwakilan Daerah disebabkan oleh persoalan fasilitas dan gaji. 

Menurut Bivitri, fasilitas dan gaji yang diterima oleh pimpinan DPD jauh berbeda dengan anggota biasa. 

"Misalnya soal gaji. Itu berbeda dngan anggota biasa. Dari fasilitas, jenis mobil dan plat nomer juga berbeda antara pimpinan dan anggota. Saya menduganya ke situ," ujar Bivitri.

Dugaan tersebut muncul karena kericuhan terkait pemangkasan masa jabatan pimpinan DPD adalah satu hal yang aneh. 

Ia mengungkapkan, dari sisi fungsi, wewenang dan kinerja, kedudukan antara anggota dengan pimpinan itu sama. 

Pimpinan DPD hanya berfungsi layaknya koordinator. Namun, kenyataannya jabatan tersebut seakan ditinggikan. 

Selain itu, menurut Bivitri, panjangnya masa jabatan tidak akan membawa pengaruh signifikan terhadap kinerja DPD itu sendiri. 

Sedangkan Lely Arrianie mencoba menganalisis dari sisi yang berbeda. Menurut Lely, DPD selama ini memang memang nampak kurang bergigi. 

Sementara posisi orang-orang yang sesungguhnya diposisikan sebagai senator itu tidak memiliki posisi tawar yang sejajar dengan DPR, entah karena kapasitas atau manajemen kepemimpinan sebagai lembaga tinggi negara. 



*Artikel ini dimuat di Kompas.com, Sabtu 19 Maret 2016