Monday, November 30, 2015

Album Finnegan's Hell "Drunk, Sick and Blue"


Kamu yang suka mendengarkan musik punk dengan sentuhan tradisional Irlandia, pasti familiar dengan band-band seperti Dropkick Murphys dan Flogging Molly. Jika dibandingkan dengan genre punk lain, memang saat ini belum banyak band-band seperti mereka yang suaranya sudah terdengar hingga ke Asia. 

Kemarin malam saya sempat mengunjungi akun soundcloud Heptown Records dan menemukan sebuah album celtic punk berjudul Drunk, Sick and Blue milik Finnegan's Hell. Saya baru pertama kali mendengarkan musik mereka. Tidak buruk. Layaknya pendahulu mereka di genre Celtic Punk, Finnegan's hell menawarkan musik yang seluruhnya energik dengan lirik-lirik berbau politik, sosial, agama, working class pride dan hal-hal sepele seperti berkelahi di bar karena terlalu mabuk.

Finnegan's Hell sendiri terbentuk pada tahun 2010 di Swedia dan baru mengeluarkan album perdananya Drunk, Sick and Blue pada 2014 lalu. Sebelumnya mereka pernah merilis sebuah EP dan sebuah video klip berjudul The Molly Macguires pada tahun 2011.

Berikut 10 track dari album perdana mereka yang harus kamu dengarkan untuk menemani rasa malas bangun pagi dan menjalani rutinitas sehari-hari. Enjoy the music! Here’s to long life and a merry one. A quick death and an easy one. A pretty girl and an honest one. A cold beer — and another one! Cheers!

Thursday, November 19, 2015

Hidup Hanya Diubah, Bukan Ditiadakan


Beberapa waktu belakangan ini, saya menerima  undangan melayat yang hampir sama banyaknya dengan undangan pernikahan. Entah itu kematian seseorang yang saya kenal ataupun keluarga dan sanak saudara dari seorang teman.

Kemudian saya jadi berpikir, di samping pertanyaan "Kapan nikah?", pertanyaan "Kapan mati?" itu seharusnya sering pula ditanyakan. Tidak ada bedanya toh? Kedua pertanyaan itu memiliki level teror yang sejajar, memberikan beban yang sama kepada yang ditanya. Mungkin juga akan memicu reaksi serupa dari orang-orang yang menerima pertanyaan itu.

Jika seseorang membuat sebuah perencanaan untuk menghadapi persiapan perkawinan, seharusnya ia juga melakukan perencanaan untuk mempersiapkan kematian. Sayang sekali, tidak banyak yang bertanya bagaimana nanti jika saya mati, jadi saya sering lupa menyiapkan diri untuk menghadapi hal itu.  Ah siapa juga yang berencana akan mati? Saya sangat senang hati membuat rencana ketika pacar bertanya kapan akan menikah, ketimbang ia bertanya, "Kamu ada rencana ditabrak mobil hari ini?".

Sebenarnya saya tidak terlalu menyukai suasana di rumah duka ketika melayat. Terlalu banyak kesedihan yang ditunjukkan. Derai air mata dan jerit histeris orang-orang yang ditinggal mati terasa seperti mengiris ulu hati. Berpisah dengan orang-orang yang kita cintai tentu menjadi peristiwa yang sangat memilukan. Saya pun pernah mengalaminya. Siapa yang bisa melupakan begitu saja pengalaman melantunkan doa di telinga orang yang kita cintai saat sakratulmaut?

Tamu-tamu yang datang silih berganti memberikan penghiburan. Mereka bersalaman, mengucapkan turut bela sungkawa, berdoa, atau ikut menangis untuk menunjukkan rasa empatinya. "Mereka sebenarnya menangisi diri mereka sendiri," ujar salah seorang teman dalam sebuah upacara pemakaman. "Kamu pernah dengar ucapan Dumbledore ke Harry Potter? Do not pity the dead, Harry. Pity the living, and, above all those who live without love," bisiknya kemudian sambil terkekeh. Setiap melayat, saya berusaha untuk tidak bersedih, mencoba untuk tidak menangis. Melayat bagi saya merupakan usaha menghormati bagi mereka yang mati. Sebuah salam perpisahan untuk mengenang setiap perjumpaan.

Usai melayat, saya dan seorang teman terlibat percakapan yang cukup menarik. Serangkaian pertanyaan muncul di antara kami berdua. Seberapa sering orang-orang membicarakan tentang kematian? Dan bagaimana seharusnya manusia memberikan respon terhadap kematian? Apakah kematian merupakan peristiwa yang harus selalu diisi dengan tangisan dan kesedihan?

Teman saya ini mulai bercerita tentang sebuah buku kumpulan esai Pastor Louis Leahy SJ yang membahas masalah kematian. Katanya, dalam buku itu, kesadaran akan kematianlah yang membuat umat manusia dan individu-individu menjadi matang secara spiritual. Andre Malraux pun pernah menulis bahwa memikirkan kematian itulah yang membuat manusia menjadi manusia. Pantas dirayakan hari di mana manusia untuk pertama kalinya membicarakan tema kematian karena hari tersebut menandai peralihan ke kematangan. Manusia baru lahir waktu dia, untuk pertama kali, berbisik di depan sebuah mayat, "mengapa?".

Namun, pembicaraan mengenai kematian ini masih dianggap tabu. Lebih tabu dari membicarakan soal hubungan seks. Saya rasa tidak banyak orang akan memilih kematian sebagai bahan pembicaraan ketika sedang berduaan dengan pacarnya. Ada pula anggapan yang menyatakan jika berpikir tentang kematian atau membicarakannya adalah tidak sehat. Bisa mengganggu dan membahayakan keseimbangan psikologis. 

Apakah ini artinya manusia tidak menerima kematian dirinya sendiri sebagai suatu kejadian normal dan biasa saja? Apakah jauh di dalam dirinya manusia menolak siklus kehidupan, yang mulai dengan kelahiran dan berujung dengan kematian? Hal demikian, menurut Blaise Pascal yang dikutip dari esai Louis Leahy SJ, terjadi karena manusia tidak bisa menghilangkan rasa takut akan kematian, kesengsaraan dan ketidaktahuan. Ia mencari akal untuk tetap bahagia. Caranya adalah dengan tidak memikirkannya. 

Dalam esainya yang berjudul Obsesi Akan kematian, Louis Leahy SJ memaparkan sebuah hasil wawancara dengan Profesor Henry Baruk, seorang ahli psikologi. Menurut penuturan Baruk, kehidupan dan kematian terikat satu sama lain. Mempertimbangkan kematian adalah mempertimbangkan kehidupan.

Setiap orang harus menghadapi eksistensi manusiawi secara langsung dan menjadi sadar bahwa hidup ini berakhir dengan kematian. Jadi, seseorang perlu mempertimbangkan masalah-masalah yang muncul dari kematian itu. Martabat manusia serta kesehatan spiritual dan psikologisnya menuntut orang untuk menghadapi semua realitas dengan keberanian, termasuk yang paling berat dan penting, yaitu kematian.

Lebih jauh Baruk juga mengkritik pada zaman ini, banyak orang cenderung untuk melihat semua dari segi teknis dan material saja. Yang dinilai penting adalah apa yang bisa ditangkap oleh panca indra. Faktor-faktor dari dalam dan tersembunyi tetapi yang sungguh-sungguh menentukan peristiwa, seperti faktor psikologis dan spiritual, kurang diberi perhatian penuh. Hanya problem-problem dangkal yang tidak berakar pada kebenaran yang lebih dalam, yang dipandang.

Padahal, kekuatan yang mengizinkan manusia untuk hidup secara otentik hanya bisa berasal dari kebenaran yang dalam. Orang akan mudah sekali tersesat ketika mengalami peristiwa tragis, jika segi esensial manusia kekurangan gizi, kemudian menjadi sinis, pesimis dan tidak mau berjuang lagi. membiarkan diri untuk tidak berjuang lagi bisa mempercepat datangnya kematian.

Kematian seseorang yang dicintai sering mengakibatkan keputusasaan pada orang yang ditinggal. Setelah kematian beberapa orang terdekat, saya memilih untuk meyakini apa yang dikatakan oleh seorang pastor dalam homili di sebuah misa arwah. Vita mutatur, non tollitur. Hidup hanya diubah, bukan ditiadakan. Jika dikira bahwa semua selesai dengan kematian, maka hilangnya seseorang yang dicintai tampak jauh lebih tragis.

Bagi saya, konsep hidup hanya diubah bukan menjadi penghiburan semata terhadap kita yang sedang menunggu giliran, tapi lebih pada sebuah keyakinan. Kematian akan menghancurkan suatu kesadaran jika kematian itu dianggap sebagai peniadaan dari hidup sendiri. Orang yang menyadari bahwa ada kehidupan lain setelah kematian, akan memeluk hidup ini dalam seluruh dimensinya dan tidak melihat kematian sebagai sebagai suatu rintangan.

Saya sering melamun, berandai-andai apakah mungkin ketika saya mati nanti, saya bisa bertemu dengan orang-orang yang saya cintai. Apakah saya bisa berkumpul lagi dengan ibu, kakek, dan paman saya?  Apakah dengan kematian, berarti segala misteri di dunia ini akan terpecahkan? Jika setelah kematian benar ada dunia akherat di mana semua jiwa-jiwa orang yang sudah mati berkumpul, berarti saya harus mulai menulis daftar pertanyaan yang tidak pernah ditemukan jawabnya.

Pertama kali mungkin saya akan mencari tahu siapa yang sebenarnya telah membunuh JFK. Kedua, memastikan apakah para pemuka-pemuka agama yang sering berkoar tentang surga itu benar-benar masuk surga. Dan ketiga, saya akan mencari Steve Jobs kemudian bertanya apakah ia cukup kecewa ketika Apple meluncurkan produk iPhone 5. Tapi, tanpa bertemu dengan Jobs pun, saya cukup yakin ia kecewa.

Ada banyak konsep yang ditawarkan kepada kita mengenai cara pandang manusia terhadap kematian. Salah satu yang saya sukai ada di film Lucy. Setelah mencapai kapasitas otak 100 persen, Lucy sang tokoh utama menjadi tidak terikat dengan ruang dan waktu. Dengan mudahnya ia melakukan perjalanan ke masa-masa lalu di mana ia menyaksikan dunia ini berevolusi. Kemudian setelah itu, tubuhnya berubah menjadi partikel-partikel kecil yang tak kasat mata. Ia tak lagi terkungkung dalam balutan darah dan daging. Ia menjadi tak terbatas, ia bisa berada di mana saja dan kapan saja. Otaknya telah membuka daerah-daerah yang belum pernah dijelajahi oleh siapa pun.

Konsep lain yang tak kalah menariknya saya baca dari buku Mitch Albom yang berjudul The Five People You Meet in Heaven. Novel ini bercerita tentang Eddie, seorang teknisi sebuah taman bermain yang menemukan pelajaran hidup justru setelah ia mati. Diceritakan setelah kematiannya, Eddie bertemu dengan lima orang yang tanpa disadari oleh Eddie sendiri telah mengalami perubahan karena dirinya, secara langsung maupun tidak langsung.

Sekilas buku ini sekedar bercerita tentang pengalaman seseorang ketika kematian datang menjemput, tapi jika digali lebih dalam, Albom sebenarnya banyak berbicara tentang kehidupan itu sendiri. Melalui tokoh Eddie, ia mencoba menunjukkan bahwa arti hidup seseorang ditentukan dari bagaimana ia menjalaninya dengan penuh kejujuran, cinta dan kebaikan yang membawa perubahan positif bagi sesamanya.

Melalui novel tersebut, Albom mengajak saya untuk memandang kehidupan dan kematian sekaligus dari sudut pandang yang berbeda. Segala kebaikan dalam hidup merupakan buah dari segala tindakan. Semua orang memiliki potensi untuk melakukan perubahan ke arah yang lebih baik melalui apa yang ia perbuat, sekecil apapun itu. Setiap tindakan akan memiliki efek yang bergelombang. Memengaruhi siapa pun, bahkan setelah kematian. Dengan menghargai kehidupan, maka manusia pun menghargai kematian atas dirinya.

Bicara tentang kematian memang tidak akan pernah ada habisnya. Manusia akan selalu ditawarkan konsep-konsep pasca kematian. Kita tinggal memilih yang sesuai dengan kemampuan nalar berpikir atau sesuai dengan keyakinan yang kita anggap baik. Selebihnya mari kita merayakan kehidupan dan menyambut kematian dengan penuh kegembiraan.


*ilustrasi: Toto Prastowo

Tuesday, November 3, 2015

Untuk Jembatan Aspirasi Mahasiwa


Sabtu (31/10) yang lalu, saya diminta oleh beberapa kawan di organisasi pers mahasiswa FH Atma Jaya, Viaduct, untuk menjadi salah satu fasilitator pelatihan organisasi yang mereka adakan. Tugas saya sangat sederhana, saya hanya diminta untuk menceritakan kembali bagaimana kondisi ketika saya dulu masih aktif menjadi anggota di sana.

Jujur saya tidak terlalu paham jika diminta untuk memberikan teori terkait bagaimana berorganisasi yang baik dan benar, pengembangan kompetensi dan mengelola konflik. Ilmu organisasi saya dapatkan lebih banyak dari pengalaman dan menjalankan organisasi. Untungnya, segala teori tersebut menjadi tugas fasilitator yang jauh lebih berpengalaman dari saya.

Kira-kira dua belas jam lamanya kawan-kawan viaduct menyimak informasi yang diberikan oleh para fasilitator. Mereka belajar tentang tujuh nilai organisasi, seperti integritas, kepedulian, menghargai, unggul dan inovatif, tanggung jawab, persatuan, dan pertumbuhan.

Kemudian saya baru menyadari satu hal yang esensial sepulangnya dari sana. Saya sebagai fasilitator pun banyak belajar dari kawan-kawan anggota aktif Viaduct, dan yang paling penting, saya mengingat kembali segala keputusan dan pilihan yang telah membawa ke titik di mana saya sekarang berpijak.

Segala sesuatu bermula dari pertanyaan mendasar yang menjadi acuan seseorang berdialektika. Apa itu organisasi? Kenapa kita berorganisasi? Dan bagaimana kita berorganisasi? Sesederhana itu saya kira. Karena manusia adalah makhluk sosial, maka kita akan cenderung untuk berkelompok ketika memiliki satu nilai dan tujuan yang sejalan. Lihat bagaimana banyak komunitas bermunculan di Indonesia. Lihatlah bagaimana setiap masyarakat adat memiliki kebiasaan untuk duduk bersama dalam sebuah tempat untuk bermusyawarah dan bermufakat. Pada dasarnya, kita adalah manusia yang akan selalu membutuhkan sesamanya.

Saya coba mengingat kembali hal-hal yang membuat saya mencatatkan diri menjadi anggota aktif Viaduct pada tahun 2005, ketika pertama kali masuk kuliah. Dari banyaknya unit kegiatan mahasiswa yang ada di Atma Jaya Jakarta, kenapa saya justru memilih Viaduct. Dulu tidak pernah terpikir untuk terlihat keren dengan bergabung organisasi pers yang menerbitkan tulisan-tulisan berbau pergerakan atau menjadi bagian dari gerakan pers yang ikut menumbangkan pemerintahan orde baru. 

Alasannya justru karena saya adalah anak daerah yang baru pertama kali mengenyam pendidikan di luar kota. Saya tidak punya banyak teman di Jakarta, sehingga saya butuh tempat untuk berteman dan setidaknya nongkrong usai kuliah. Maklum, bagi mahasiswa dari daerah dan anak kost, memiliki tempat nongkrong adalah sebuah kewajiban.   

Dalam perjalanannya kemudian, Viaduct menjadi tempat yang sangat baik untuk berproses dan mengaktualisasikan diri. Saya belajar untuk mengerti tentang nilai, memiliki tujuan, bagaimana memiliki visi dan misi, berintegritas, dan  tentunya bagaimana seharusnya menjadi manusia. Saya ingat sekali bagaimana ruang sekretariat Viaduct menjadi tempat nongkrong dan berdiskusi. Tidak hanya bagi anggotanya, namun juga mahasiswa antar-fakultas. Kita bicara dari hal-hal yang sepele hingga persoalan bangsa. Canda tawa itu biasa terjadi, gontok-gontokan apalagi. Ya namanya juga mahasiswa.

Mengambil peran dalam organisasi saya rasa tidak jauh berbeda seperti ketika berada dalam unit terkecil dari masyarakat, yaitu keluarga. Saya belajar bagaimana memimpin dan dipimpin. Saya belajar bagaimana membutuhkan dan dibutuhkan. Saya belajar bagaimana memahami, mengenal dan menghargai orang lain. Yang terpenting adalah bagaimana caranya memberikan penghargaan, bukan bagaimana caranya mendapat penghargaan. Karena seringkali kita memberikan nilai yang terlalu tinggi bagi diri kita sendiri. Akibatnya, orang lain akan selalu dipandang sebelah mata. Dan ini akan sulit saat seseorang dihadapkan pada sebuah konflik.

Setiap organisasi pasti akan selalu memiliki konflik. Itu tidak akan bisa dihindari. Namun konflik itulah yang akan membuat organisasi selalu bergerak dinamis. Di situlah kita akan tahu bagaimana memosisikan diri sebagai yang dipimpin atau yang memimpin. Semua tergantung dari bagaimana cara kita mengolah konflik yang ada. Bukan berarti konflik harus melulu diselesaikan oleh seorang pemimpin. Menjadi ketua atau Pemimpin Redaksi bukan berarti kita akan terus-terusan memimpin, karena itu hanyalah sekedar label dalam menentukan fungsi dan peran dalam organisasi. Pada akhirnya, tujuan sejati yang akan dicapai adalah sebuah perkembangan tiap individu menuju kebaikan. Melalui konflik tiap individu akan berkembang dengan sendirinya secara natural.

Pada prakteknya, seringkali konflik timbul dari pergesekan karakter yang dimiliki oleh tiap individu. Justru tidak bermula dari sistem yang diterapkan oleh sebuah organisasi. Se-ideal apapun sebuah sistem, tidak akan bekerja dengan baik apabila tiap anggotanya selalu mengalami benturan. 

Dari tiap benturan tersebut, seleksi alam yang sesungguhnya tengah berlangsung. Akan terlihat seberapa baik karakter dan kompetensi anggota dalam menyelesaikan konflik. Apakah ia berjiwa besar untuk mengaku salah kemudian memperbaikinya, atau berkeras hati mengikuti kemauan diri sendiri. Seharusnya itu bisa menjadi pelajaran bagaimana kita bisa bersikap ketika dipimpin maupun memimpin. 

Lalu bagaimana saat benturan tersebut terus terjadi? Apakah kita harus memberikan pemakluman karena menyangkut sikap dan karakter seseorang? Menurut pengalaman saya, memilih untuk melupakan konflik dan membiarkannya berlalu adalah langkah yang tidak baik dalam berorganisasi. Apapun konflik yang muncul, sebaiknya diselesaikan sesegera mungkin. Konflik akan menjadi borok yang menggerogoti dari dalam apabila tidak diobati sampai sembuh. Cara apapun bisa dipilih untuk menyelesaikannya, ketimbang diberi pemakluman dan berusaha dilupakan. Kuncinya adalah komunikasi. Bicarakan segala sesuatunya bersama-sama, mencari kata mufakat melalui musyawarah. Bukankah itu salah satu alasan mengapa kita berorganisasi?

Saya beruntung bisa belajar berorganisasi saat kuliah dulu. Jika ditanya apakah bermanfaat, tentu saja. Mungkin Viaduct tidak akan mempermudah dirimu untuk mendapat pekerjaan usai kuliah, atau membantumu mendapat pekerjaan dengan upah di atas UMR. Atau membuatmu menjadi selebritis populis yang pada akhirnya hanya meramaikan dunia maya.

Tapi dari Viaduct, saya belajar bagaimana saya memandang orang lain, bagaimana saya memberi perlakuan terhadap sesama, dan bagaimana saya hidup dengan sepenuh hati tanpa harus linglung di persimpangan jalan. Dari Viaduct, saya tahu harus bagaimana memulai segala sesuatunya, akan melangkah ke mana dan harus menjadi apa.

It is only with the heart that one can see rightly; what is essential is invisible to the eye.

Wednesday, July 15, 2015

Sex Also Needs a Perfect Playlist

You think you know everything about sex, but in fact you don't. You have no idea about sex, don't you? As I quoted from Nymphomaniac (2013), "Do you think you know everything about sex? The secret ingredient to sex... is love."

Fromm once said that love is the answer to the problem of human existence, the only answer that is satisfactory and sane. So, How you practice sex with your partner depends on your approach and understanding of the existential problems of your life and, at the same time, determines the wholeness you will experience as a human being.

As I know, sex is an expression and a possibility of celebrating love. Therefore, sex requires knowledge and effort. As you celebrate the most important day in your life, sex also need a perfect music. You can play it while trying to tease your lover, cuddling, talking in bed, stroking your lover's arm, and hip-hugging your lover. Definitely, you need a soundtrack for those exertions.

Take it slow, do not be in a rush. Go to dinner first, teased each other the whole time, and play some music. And there are some records, from early nineties to two-thousands, that you can put on during a fun time with your lover. 


1. I Love You by Saigon Kick




2. Miss You in a Heartbeat by Def Leppard



3. Glory Box by Portishead




4. Medicine by The 1975




5. From Eden by Hozier




6. Tear That falls by The Aggrolites




7. Some Other Place by Arcade Fire




8. My Favourite Book by Stars




9. Kiss of Life by Sade




10. Bloom by The Paper Kites




11. I'll Go Crazy by Bluejuice




12. Do You Mind? by The XX




13. Closer by Nine Inch Nails




14. Fade Into You by Mazzy Stars




15. Let's Get It On by Marvin Gaye





16. Linger by The Cranberries




17. Video Game by Lana del Rey




18. Crazy by Aerosmith




19. Blood Bank by Bon Iver




20. Turn Me On by Norah Jones





Sunday, July 12, 2015

A Playlist I Used To Listen On My Way To Church



I had a strange dream last night. I saw a very bright white light. Shining from a large door with an angel decoration on both sides. From behind that door, there was a figure of a man with black clothes. His hair was long and curly, falls down to his shoulder. I suddenly woke up from the bed and knelt.

"Is that you Jesus?" I asked.

He answered with a deep and wise voice,"Yes i am. The King of Kings. Alpha and Omega."

"Happened to me according to your will," I said.

He paused, then said,"Ask and it will be given. Seek and you will find. Knock and the door will be opened for you. Listen to heavy metal and punk rock, so you will remain awesome."


Then I got up, washed my face and started making this playlist. A playlist that i used to listen on my way to church. Hail to the King!

1. One by Metallica


2. Alive by POD



3. Separation Of Church and Skate by NOFX



4. Walk With Me in Hell by Lamb of God



5. Repentless by Slayer


6. Something to Believe in by Poison



7. I Believe in Miracle by Ramones



8. Through Struggle by As I Lay Dying



9. Salvation by The Cranberries




10. Through Her Eyes by Dream Theatre



11. Born In Winter by Gojira



My Weekend Playlist



I’ve been thinking a lot to the purpose of music lately. I started reflecting on what music means to me and its role it plays in my life. This role has changed in different moments in life, but it’s a good reminder as to how people relate to music. So, this is my weekend playlist, enjoy!

1. Love Blood by Sundara Karma

2. Surreal Exposure by Ducktails

3. Kiloran by Palace

4. My Body Is A Cage by Anna Rose

5. Pure by RYSE

6. Moon by Street Joy

7. Levitate The Pentagon by Publicist UK

8. Everything Is Embarrassing by Sky Ferreira

9. Lost Without Love by The 69 Eyes

10. From Eden by Hozier

Wednesday, June 17, 2015

Kenangan Bulan Ramadhan Seorang Kristen

Bulan Ramadhan akan selalu meninggakan kesan tersendiri bagi saya. Ya, saya seorang Katolik dan masa puasa hingga Lebaran memiliki arti begitu mendalam bagi diri saya pribadi. Ini pertama kalinya saya menulis tentang perasaan dan pengalaman yang saya rasakan setiap bulan Ramadhan. Sejak lahir dan besar di lingkungan keluarga kecil Katolik, saya memiliki kenangan begitu berkesan dari keluarga besar kakek-nenek yang mana sebagian besar muslim. Tulisan ini mungkin bisa anda lihat sebagai respon saya terhadap ramainya perbincangan di media sosial perihal boleh tidaknya warung makan beroperasi selama puasa. Tentu saja anda boleh melihatnya sebagai sebuah pandangan atas maraknya postingan situs-situs radikal yang seringkali menebar kebencian serta menyudutkan agama tertentu ketika tidak sesuai dengan persepsi seseorang.

Tidak pernah terpikir sebelumnya untuk menulis seperti ini sampai suatu sore saya melihat nenek saya di dapur, mengangkat sebuah wajan besar. Ketika saya tengok, isinya ternyata adalah opor ayam yang biasa disantap dengan ketupat. Lalu saya tanya kepadanya,"Lho, masak lagi? Bukannya tadi sudah menggoreng tempe dan bikin sambel bawang?" Ia hanya menjawab dengan singkat,"Ini buat nanti puasa. Mau kirim untuk saudara dan tetangga buat buka puasa."

Sejak kecil saya tinggal dan dibesarkan oleh kakek dan nenek dari ibu saya yang sudah lama meninggal. Kakek dan nenek saya seorang Katolik, atau memutuskan menjadi seorang Katolik saat usia mereka berdua masih belia. Mereka berasal dari keluarga Jawa Timur yang begitu kental dengan nuansa Islam. Kata nenek saya, keluarga buyut adalah warga NU yang sangat taat. Saya sempat heran, kok bisa-bisanya sebuah keluarga Jawa Timur yang dikenal keras bisa memiliki anggota keluarga mbalelo. Seorang Kristiani. Apa jangan-jangan kakek nenek saya ini sudah tidak dianggap di dalam keluarga buyut? Apa mereka sudah dicap kafir oleh sebagian besar saudara-saudaranya dan diusir dari rumah kemudian pergi merantau? Dulu sebelum mengenal sosok Gus Dur, saya kira keluarga buyut adalah orang-orang yang memiliki pemikiran seperti Hafidz Ary atau Felix Siauw yang cangkem-nya terlalu enteng mengkafirkan seseorang. Ternyata saya salah.

Dulu, kakek kerap membawa saya pulang kampung menjelang hari raya Idul Fitri. Kebiasaan mudik lebaran menjadi momen paling menggembirakan saat itu. Meski sebagai seorang Kristiani, kakek selalu memilih pulang kampung saat lebaran, bukan saat Natal atau pun Paskah. Biasanya semua sanak saudara berkumpul di rumah buyut di Jawa Timur. Kalau tidak salah nama kampungnya Tulakan, Kabupaten Pacitan. Kakek tidak pernah menganggap ritual pulang kampung ini sebagai sebuah kesempatan untuk berlibur atau sekedar meramaikan Lebaran. Oh tidak. Kakek dan nenek tidak se-kaya itu untuk menghambur-hamburkan uang hanya karena ingin ikut macet-macetan di sepanjang jalur Pantura. Ada kebiasaan yang tidak akan pernah bisa mereka tinggalkan sebagai orang Jawa. Bersilahturahmi.

Dari seluruh keluarga besar kakek dan nenek, hanya mereka berdua yang memeluk agama Katolik. Saudara, kakak, dan adik mereka semuanya adalah pemeluk Islam yang ramah. Saya tidak pernah merasa dibedakan atau diperlakukan sebagai orang asing. Tidak pernah merasa diasingkan dengan adanya perbedaan yang cukup mencolok. Kami biasanya tiba di Pacitan beberapa hari sebelum Idul Fitri. Selama di sana hingga Lebaran, saya sama sekali tidak pernah dilarang untuk makan dan minum. Pakdhe dan Budhe saya tidak pernah menunjukkan raut wajah terganggu karena melihat saya makan dan minum di dapur. Kehidupan berjalan seperti biasa. Budhe saya tetap menanak nasi di dapur untuk buka puasa. Buyut saya tetap mbabati rumput dan ngangon wedus. Tidak pernah ada larangan makan dan minum pada siang hari. Justru kakek dan nenek yang sering mengingatkan saya untuk tidak makan minum di luar rumah. Pada saat hari raya Idul Fitri saya diperlakukan layaknya seorang muslim. Sungkeman, saling bermaafan dan makan opor ayam.

Jika sedang tidak pulang kampung, rumah kakek dan nenek di Cilegon pun tidak kalah ramainya saat Lebaran. Bahkan biasanya lebih ramai ketimbang Natal dan Paskah. Sering anak-anak kecil di sekitar rumah datang untuk meminta duit Lebaran atau tetangga yang datang hanya untuk sekedar mencicipi ketupat sayur dan kue kering bikinan sendiri. Semua kenangan akan hari raya itu saya alami selama masa kanak-kanak, dan saya sadari sekarang bahwa hal itu telah menjadi proses pembelajaran mengenal makna toleransi sesungguhnya. Perasaan memanusiakan manusia lain, tanpa harus memiliki tendensi untuk menghakimi, tanpa mencari siapa yang benar siapa yang salah dan siapa yang lebih berhak masuk surga.

Setelah cukup dewasa, tinggal di kota besar, saya menjadi tidak terlalu polos untuk menyadari bahwa sering kali manusia hidup dalam pengkotak-kotakan. Saya jengah ketika melihat begitu banyak konflik sosial yang terjadi karena perbedaan agama. Sudah begitu lama saya tidak lagi merasakan perasaan yang sama ketika ikut merayakan lebaran di Pacitan. Saya tidak lagi menemukan makna sesungguhnya dari kata toleransi yang hari ini begitu sering dipelintir sedemikian rupa oleh banyak orang. Kita mudah sekali diganggu dengan hal-hal sepele seperti boleh tidaknya warung makan ketika puasa, siapa harus menghormati siapa. Sama dangkalnya ketika orang-orang yang meributkan perkara boleh atau tidak mengucapkan selamat Natal menjelang bulan Desember.

Awal bulan Ramadhan tahun ini memberikan makna tersendiri bagi diri saya sebagai seorang Katolik. Kurang lebih, saya juga merasa ikut merayakan suasana Lebaran. Tentu saja saya memaknai Ramadhan secara berbeda dengan saudara-saudara Muslim. Saya tidak ikut sholat tarawih berjamaah. Saya tidak ikut berpuasa. Saya tidak ikut menunaikan Sholat Ied. Tetapi saya percaya momen ini menjadi kesempatan saya untuk kembali belajar--setidaknya dari keluarga saya--menjadi seorang manusia yang humanis. Seorang manusia yang sejatinya tidak hidup dalam kotak-kotak berlabel SARA. Selama sebulan ini saya akan kembali diingatkan tentang bagaimana caranya hidup berdampingan tanpa harus ada institusi mengatur apa yang boleh dan apa yang tidak boleh. Tanpa harus diminta, saya akan menghormati siapa saja yang pantas saya hormati. Dari Lebaran, saya kembali belajar menjadi manusia yang toleran. "Ah, mungkin saya hanya terlalu rindu akan kenangan masa lalu," ucap saya dalam hati. Selesai menulis, saya menghampiri nenek dan mencium pipinya, menyapa dia dengan panggilan darling. Entah kenapa. Saya hanya ingin melakukannya. 

Monday, June 15, 2015

One Fine Day at RPC

For me, capturing children's face as the object of human interest photography is the most fun activity. They have an innocent facial expression, a happy face, and also touching. Last week, i had an exciting experience. I had an opportunity to photograph children who live in Ciangsana, Bogor. There is always a story in every images. So this is my story.

Saturday June 13th 2015, i came to Pabuaran Wetan village, Ciangsana, Bogor, for the first time. My girlfriend asked me to visit Rumah Pintar Ciangsana. At the same day, they were celebrating their fourth birthday. I have heard about Rumah Pintar Ciangsana before. My girlfriend used to tell about activities that has been held there. She's quite active as social activity junkie.

Rumah Pintar Ciangsana was established in June 2012 as an initiative of a bunch of young people. The mission is very simple. They want to make a public library and a place to learn for kids. A place that very accessible and reachable for kids who live in Pabuaran Wetan village. So, they will have an interest in studying and reading a book. Beside that, I think those anxiety also departs from the fact that not all Indonesian children have an equal access to education. Well, a group of youths who have a high commitment and dedication are the seed of revolution, right?

Please do not think that RPC's building is fancy. The building is not much different from people's houses around. Inconspicuous and alongside each other. It was about 6 x 3 meters. There is a banner with RPC name on it and garbage dump in front of the house.

Even the building is not big and fancy, the children love to learn in there. Kids will always be kids. They absorb everything around them in various ways. Learning while playing, so the volunteers have to be so creative. Teaching and learning activities are usually carried out with themes. For example; english day, art day, earth-loving day, and social day. Forms of teaching and learning? It depends on teacher's creativity.

Four years is not a short time and its not easy to go through while maintaining a non-profit organization. Volunteers come and go. They are even not paid. Although not as active as before, my girlfriend still take time to come and visit the children. "Children really love a gift. Yesterday i came and brought a dozen of piggy bank for them, so they can start to save money. At the end, they asked me for a princess Elsa doll as a reward for the one who has the biggest amount of savings," she said as she laughed.














Sunday, May 3, 2015

Kekerasan Dalam Kekuasaan: Hukuman Mati, Teror Bagi Kemanusiaan.

"Many dictatorships and theocracies in the world retain the death penalty as a terror weapon."

Terlepas dari konteks eksekusi mati terhadap delapan terpidana mati kasus narkoba, saya adalah salah satu orang yang tidak setuju penerapan hukuman mati di Indonesia. Ya, saya sepakat bahwa pengedar narkoba, pembunuh, penjahat perang, juga pelaku genosida harus dihukum seberat-beratnya. Tapi, apakah harus dengan penerapan hukuman mati? Apakah benar penerapan hukuman mati mampu menegakkan supremasi hukum dan memberikan rasa keadilan serta ketentraman bagi masyarakat?

Sebuah diskusi ringan sehari sebelum eksekusi melahirkan banyak pertanyaan. Bagaimana Negara mendapatkan otoritas untuk menerapkan hukuman mati? Apa yang melegitimasi negara untuk menjalankan eksekusi terhadap terpidana mati? Apakah negara berhak mengambil nyawa seseorang, berdasarkan kedaulatan hukum, meski kualitas penegakan hukum di Indonesia masih diragukan? Apakah negara berhak menerapkan hukuman mati ketika negara sendiri pernah terlibat ataupun melakukan pembiaran ketika kejahatan kemanusiaan terjadi di Indonesia? Jika menggunakan alasan narkoba adalah kejahatan luar biasa yang pantas dihadiahi hukuman mati bagi pelakunya, lalu bagaimana dengan tragedi kemanusiaan yang terjadi di masa lalu? Tidak mungkin negara tidak memiliki andil dalam kasus tersebut.

Kemudian, saya juga sangat menyesalkan pernyataan presiden Jokowi dan pejabat pemerintah lain yang terkesan dangkal. Presiden mengatakan bahwa ancaman hukuman mati diterapkan sebagai cara untuk menekan angka korban jiwa yang lebih banyak akibat penyalahgunaan narkoba. Penerapan hukuman mati sebagai bentuk kedaulatan hukum dan khawatir generasi muda bangsa rusak karena narkoba. Pernyataan yang tidak kalah dangkalnya juga diutarakan oleh anggota DPR-RI Tantowi Yahya. Ia mengatakan bahwa pemerintah memang perlu menerapkan sanksi tegas untuk sejumlah kasus kejahatan luar biasa (extraordinary crime), seperti kasus narkoba. Pemberian sanksi tegas diharapkan dapat memberikan efek jera kepada para bandar dan pengedar untuk tidak bermain-main dengan hukum yang berlaku di Indonesia.

Sebagai orang yang pernah belajar tentang ilmu hukum, saya percaya bahwa hukum dan undang-undang  diperlukan demi kelangsungan hidup masyarakat. Pembenaran akhir terhadap hukum dan undang-undang didasarkan pada dicapai atau tidak dicapainya kebaikan dalam suatu masyarakat pada tempat dan waktu tertentu. Menurut tokoh hukum pidana klasik Cesare Beccaria, tidak ada otoritas manapun yang mengijinkan sebuah negara memberlakukan hukuman mati terhadap warganegaranya. Eksekusi mati hanya bisa dilakukan dalam situasi yang benar-benar mendesak dan diterapkan terhadap terpidana, yang meski sudah dirampas kebebasannya, masih memiliki kekuatan dan koneksi yang membahayakan keamanan negara.

Eksekusi itupun hanya bisa dilakukan dalam kondisi-kondisi tertentu, seperti pada negara yang sedang berada di ambang kehancuran, di awal masa perebutan kemerdekaan, keadaan di mana sebuah negara sudah memiliki kemandirian dan kekuatan untuk menahan serangan dalam bentuk apapun. Dan yang paling terpenting negara sudah memiliki sistem hukum yang mampu memberikan keadilan dan kebenaran bagi warganya. Sebuah negara di mana si Kaya hanya mampu membeli kesenangan, tetapi tidak bisa membeli hukum dan kekuasaan.

"Hukuman mati itu memiliki efek yang merusak bagi masyarakat. Sebuah contoh kebiadaban. Jika hawa nafsu atau perang telah mengajarkan manusia untuk menumpahkan darah sesamanya, maka hukum yang dimaksudkan untuk memoderasi keganasan manusia, tidak harus memperburuknya dengan contoh kebiadaban. Apakah masuk akal jika undang-undang harus melakukan pembunuhan terlebih dulu untuk mencegah pembunuhan? Apa hukum yang benar dan paling berguna?" tulis Beccaria dalam Of The Punishment of Death.

Pemikir lainnya memberikan perspektif yang kurang lebih sama terhadap pertanyaan di kepala saya. Menurut filsuf Prancis, Albert Camus, hukuman mati tidak hanya tak berguna, melainkan juga terang-terangan merusak. Ia tidak melihat esensi yang tersirat dari hukuman mati, kecuali sebagai suatu bentuk hukuman dan suatu ketidakteraturan. Senada dengan Camus, Arthur Koestler berpendapat bahwa hukuman mati menjatuhkan martabat masyarakat, sementara para pendukung hukuman mati tidak mampu memberi alasan-alasan yang masuk akal. 

Masyarakat sendiri tidak yakin akan nilai hukuman mati dapat dijadikan contoh atau tidak. Tidak ada bukti nyata yang menunjukkan penerapan hukuman mati bisa membuat seorang pembunuh menjadi sadar bila niatnya sudah bulat. "Jika keyakinan itu memang ada, pastilah kepala-kepala tanpa tubuh akan dipajang dan dipamerkan. Hukuman mati hanya mempertegas nilai kekejian yang akibatnya tidak dapat diduga," tulis Camus.

Berabad-abad lamanya hukuman mati telah dijadikan alat untuk menebar kengerian agar masyarakat dapat dikuasai oleh yang memerintah. Berangkat dari teori yang diungkapkan oleh Francis Bacon, Camus memiliki kesimpulan bahwa meski hukuman mati yang ada sejak ratusan tahun lalu telah mencoba mencegah kejahatan, namun dalam kenyataannya, kejahatan tetap ada. Dalam kenyataannya, hukuman mati tidak mampu menekan angka kejahatan.

Hal ini disebabkan karena rasa takut terhadap kematian atau maut tidak akan pernah cukup membendung hasrat manusia. Benarlah kata-kata Bacon yang menyatakan bahwa tidak ada hasrat yang sedemikian lemah, sehingga tidak mampu menghadapi dan mengatasi ketakutan terhadap maut. Pergolakan naluri dalam dada manusia bukanlah kekuatan konstan yang selalu berimbang. Naluri ini terus menerus pasang-surut. Gerak pencarnya dari keadaan seimbang memupuk kehidupan batin pikiran sebagaimana halnya getaran listrik, yang apabila cukup dekat, mampu menimbulkan arus. Dasar inilah yang memunculkan pendapat hukuman mati tidak benar-benar ditakuti orang. Penjahat akan takut mati sesudah hukuman dijatuhkan, bukan sebelum kejahatan dilakukan.

Seyogianya, hukum dan peraturan tidak diciptakan untuk memenuhi hasrat individu untuk membalas dendam. Hukum tidak pernah didaulat untuk menjadi instrumen menuju kematian, karena itu di hadapan hukum tidak seorang pun berhak memutus harapan masa depan orang lain, kecuali sesudah orang itu mati. Tidak seorang pun di antara kita yang dapat bertindak sebagai hakim mutlak dan menjatuhkan hukuman dengan melenyapkan orang paling jahat dari mereka yang bersalah untuk selama-lamanya. Tidak seorang pun di antara kita yang boleh menganggap dirinya mutlak tidak pernah salah. Hukum haus darah akan melahirkan kebiasaan haus darah pula.

Manusia yang hidup berdasarkan hukum dan peraturan tidak akan pernah benar-benar bisa berlaku adil. Menurut Camus, yang ada hanya nurani berlebihan atau berkekurangan terhadap rasa keadilan. Hidup membuat kita paham sedikitnya akan hal ini dan membuat kita sedikitnya berbuat kebajikan untuk mengimbangi kejahatan yang telah kita perbuat di dunia ini. Hak hidup seperti ini, yang memberi kesempatan pada kita untuk memperbaiki diri, adalah hak alami semua manusia. Bahkan, mereka yang paling jahat sekalipun. Tanpa hak tersebut, kehidupan moral menjadi mustahil.

Mengutip apa yang pernah dikatakan oleh Francart, pelajaran dari tiang gantungan yang kita terima adalah hidup manusia tidak lagi dianggap mulia ketika membunuhnya menjadi lebih berguna.


Culture of Violence

Hal lain yang sangat mengerikan dari penerapan hukuman mati adalah melekatnya kultur kekerasan di masyarakat yg belakangan coba diredam oleh kalangan aktivis kemanusiaan. Sejarah mencatat Indonesia memiliki peristiwa sarat kekerasan yang panjang dan kelam. Bisa jadi ini diperburuk dengan adanya publikasi hukuman mati.

Belajar dari Eropa, culture of violence tersebut pernah menjangkiti masyarakat Prancis di abad ke-17 sampai awal abad 20. Negara itu dikenal memiliki cara eksekusi yang sadis. Hukuman pancung menggunakan guillotine diterapkan selama lebih dari 200 tahun. Kultur yang mengakar dan melekat di kepala orang-orang Prancis. Saat terjadinya Revolusi Prancis dan penyerbuan Bastille pun, kebencian rakyat terhadap pemerintah dirayakan dengan memancung kepala Louis XVI dan Marie Antoinette. 

Kejadian itu tidak menutup kemungkinan dapat terjadi di Indonesia apabila keputusan menghilangkan nyawa menjadi lumrah. History repeats itself, begitu menurut para pemikir. Tinggal menunggu waktu sampai masyarakat Indonesia benar-benar benci, kemudian menembak mati satu persatu pejabat pemerintahan hingga Presiden yang terbukti melakukan tindak pidana. Terdengar menyenangkan? The death penalty is a symptom of a culture of violence, not a solution to law enforcement, Mr. President.

Bicara tentang masalah kekerasan dan hukuman mati, saya disuguhkan pemikiran Hannah Arendt dalam Banality of Evil sebagai bahan diskursus menarik untuk dibicarakan. Jika Arendt merujuk  pada Nazisme dan Stalinisme sebagai contoh terjadinya banalitas kejahatan yang dilakukan oleh negara, lalu apakah saya juga bisa mengatakan bahwa hukuman mati merupakan sebuah bentuk banalitas kejahatan oleh negara? Atau mungkin kita bisa menyebutnya sebagai pembunuhan yang dilegalkan?

Kekerasan, menurut Arendt, terjadi karena ketiadaan nurani pada manusia yang menular pada masyarakat. Ia menjelaskan bahwa kekerasan yang dilakukan Negara akan menular pada masyarakat. Hal ini terjadi karena logika, konstitusi, dan perintah negara menjadi sistem yang digunakan untuk mengatur masyarakat. Dengan begitu, Negara berperan penting dalam menanamkan benih kekerasan dalam masyarakat.

Banalitas kejahatan yang dimaksudkan oleh Arendt adalah situasi sosial dan politik di mana kejahatan "dianggap" biasa karena seseorang yang berpandangan dangkal dalam berpikir dan menilai suatu hal. Adanya banalitas kejahatan disinyalir karena manusia kehilangan spontanitas dalam diri manusia. Hilangnya spontanitas disebabkan oleh tiga faktor, yaitu ketumpulan hati nurani manusia, kegagalan berpikir kritis, dangkal dan banal dalam menilai serta menghakimi sesuatu. Pada kondisi seperti ini, orang akan memahami kejahatan yang dilakukan negara sebagai sebuah 'kewajiban' yang patut dilaksanakan demi kebaikan bersama. (Dikutip dari Banalitas Kejahatan Menurut Hannah Arendt, Jessy Ismoyo)

Berangkat dari teori tersebut, saya menyebut praktek hukuman mati ini sebagai kekerasan dalam kekuasaan. Eksekusi mati sebagai sebuah teror, meski skalanya tidak sebesar yang terjadi di negara-negara totalitarian. Teror yang terjadi selama berpuluh tahun di republik ini, dikemas serupa efek jera agar masyarakat menjadi taat hukum kendati tidak terbukti keampuhannya.  Seperti yang dikatakan oleh politisi Prancis pro eksekusi mati Tuaut de le Bouvere (1791), diperlukan pemandangan mengerikan agar rakyat bisa dikuasai.


Kelemahan Daya Pikir atas Nasib Manusia

Berdasarkan laporan tahunan Amnesty International berjudul Death Sentences and Executions tahun 2014, terdapat 130 terpidana di Indonesia yang dijatuhi hukuman mati, 64 diantaranya terkait kasus peredaran narkotika. Sementara pada periode tahun 2011-2014, Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Luar Negeri RI secara proaktif mengadvokasi dan berhasil mengusahakan keringanan hukuman bagi 240 WNI yang dijatuhi hukuman mati di luar negeri. Hingga saat ini sebanyak 229 warga negara Indonesia masih terancan hukuman mati, termasuk 15 orang di Cina karena kasus narkotika, 168 orang di Malaysia (112 kasus narkotika dan 56 kasus pembunuhan), 38 orang di Arab Saudi, 4 orang di Singapura, dan 2 orang lainnya di Laos dan Vietnam, keduanya karena kasus narkotika.

Hukuman mati bukan kali ini saja terjadi di Indonesia. Mungkin karena menyangkut persoalan yang disebut-sebut sebagai kejahatan luar biasa atau lebih seksi dengan kalimat "Indonesia darurat narkoba" yang mana ramai dibicarakan orang di media sosial. Kalau masih ingat, sekitar tahun 2006, pemerintah Indonesia pernah mengeksekusi tiga terpidana mati pelaku kerusuhan Poso pada tahun 2000, yaitu Fabianus Tibo, Dominggus da Silva dan Marianus Riwu. Berbagai kalangan mengecam putusan kasus yang sarat dengan muatan politik itu. Bahkan, ada yang mensinyalir jika eksekusi Tibo merupakan preview dari eksekusi Amrozi CS agar tidak menimbulkan pertentangan luas dari pemeluk Islam. Hasilnya? sampai saat ini belum jelas siapa aktor intelektual dibalik kerusuhan yang terjadi di Poso.

Agak jauh ke belakang, hukuman mati pun sudah diterapkan sejak masa pergolakan revolusi di Indonesia dan pasca-proklamasi kemerdekaan. Tahun 1965 merupakan tahun yang menandai sejarah kelam bangsa Indonesia. Konflik politik dan ideologi mencapai puncaknya. Kebijakan pemberantasan orang-orang PKI dan para simpatisannya menyulut api pembunuhan yang membakar Jawa dan Bali. Hal ini terus menyebar ke daerah lain. Jutaan orang dieksekusi mati. Ada yang melalui proses drama peradilan, ada juga yang tidak. Algojo bermunculan. Atas nama dendam pribadi, keyakinan, atau tugas negara, para algojo berdarah dingin mencabut nyawa mereka yang dicap PKI. Mayat mereka dibuang begitu saja. Serupa seperti gejala yang pernah diungkap oleh Hannah Arendt, para pelaku tak merasa bersalah atas perbuatannya. (Pengakuan Algojo 1965: Investigasi TEMPO Perihal Pembantaian 1965)

Kemudian belakangan ini, eksekusi delapan terpidana mati kasus narkoba menimbulkan polemik di media massa dan mengundang reaksi keras dari berbagai kalangan, termasuk dunia internasional. Franz Magnis-Suseno, rohaniwan sekaligus guru besar di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara mengungkapkan empat alasan prinsipil kenapa hukuman mati harus dihapuskan.

Dalam opini yang dimuat oleh sebuah surat kabar nasional, ia menulis alasan pertama adalah karena sistem yudisial Indonesia belum bersih dari praktik korup. Membunuh orang tidak mungkin berdasar atas keputusan lembaga-lembaga yang tidak dapat dipastikan kejujurannya. Alasan kedua, hukuman mati satu-satunya hukuman yang tidak dapat dicabut sesudah dilaksanakan. Padahal, kemungkinan kekeliruan selalu ada. Sistem terbaik pun tidak dapat 100% menjamin bahwa suatu putusan pengadilan tidak keliru. Ketiga, ini menyangkut harkat kemanusiaan. Membunuh orang, kecuali untuk membela diri atau dalam pertempuran militer resmi, adalah tindakan yang tidak termasuk wewenang manusia. Kemudian, alasan keempat, seperti yang pernah dikatakan Beccaria dan Camus, hukuman mati tidak memiliki efek jera.

Selain keempat alasan di atas, dalam laporannya Amnesty International mengungkapkan bahwa beberapa negara yang masih menerapkan hukuman mati, memiliki indikasi tidak adil ketika menjalankan proses peradilan. Mereka menemukan di Cina, Iran dan Irak, yaitu tiga negara dengan jumlah eksekusi mati terbanyak, menggunakan cara-cara penyiksaan dalam proses interogasi. Tidak jarang hukuman mati pun lekat dengan praktik diskriminasi dan demi meraih kemenangan politik kekuasaan. Seperti kita tahu, banyak kasus hukuman mati terjadi karena golongan masyarakat miskin tidak memiliki akses yang setara atas keadilan.

Di balik segala alasan penolakan ataupun dukungan, seharusnya negara mampu melihat betapa bobroknya sistem hukum sebagai dasar pertimbangan penerapan hukuman mati. Indonesia belum berada dalam kondisi ideal yang benar-benar mampu memberikan keadilan dan kepastian hukum secara merata. Jika benar ingin menunjukkan ketegasan dan kedaulatan hukum di mata dunia internasional, seharusnya negara dapat memulainya dengan usaha menyelesaikan kasus kejahatan kemanusiaan masa lalu. Pembunuhan mahasiswa dan warga sipil secara tersistematis serta meluas tentu tidak kalah penting dengan kasus narkoba. Mungkin benar apa yang pernah dikatakan seorang pemikir, ketika daya pikir menjadi lemah kata-kata akan menjadi tanpa makna. Sekelompok masyarakat akan buta dan tuli terhadap nasib seorang manusia.

Satu lagi, Pak Presiden, saya rasa penyebab utama rusaknya generasi muda Indonesia bukan disebabkan oleh narkoba, tetapi karena tidak membaca. Kegagalan berpikir kritis dan tumpulnya hati nurani membuat kita tidak lebih pintar dari masyarakat Prancis di abad ke-17.



*Ilustrasi: Toto Prastowo