Sabtu (31/10) yang lalu, saya diminta oleh beberapa kawan di
organisasi pers mahasiswa FH Atma Jaya, Viaduct, untuk menjadi salah satu
fasilitator pelatihan organisasi yang mereka adakan. Tugas saya sangat
sederhana, saya hanya diminta untuk menceritakan kembali bagaimana kondisi
ketika saya dulu masih aktif menjadi anggota di sana.
Jujur saya tidak terlalu paham jika diminta untuk memberikan
teori terkait bagaimana berorganisasi yang baik dan benar, pengembangan
kompetensi dan mengelola konflik. Ilmu organisasi saya dapatkan lebih banyak
dari pengalaman dan menjalankan organisasi. Untungnya, segala teori tersebut menjadi tugas
fasilitator yang jauh lebih berpengalaman dari saya.
Kira-kira dua belas jam lamanya kawan-kawan viaduct menyimak
informasi yang diberikan oleh para fasilitator. Mereka belajar tentang tujuh
nilai organisasi, seperti integritas, kepedulian, menghargai, unggul dan
inovatif, tanggung jawab, persatuan, dan pertumbuhan.
Kemudian saya baru menyadari satu hal yang esensial sepulangnya dari sana. Saya sebagai fasilitator pun banyak belajar dari
kawan-kawan anggota aktif Viaduct, dan yang paling penting, saya mengingat
kembali segala keputusan dan pilihan yang telah membawa ke titik di mana saya
sekarang berpijak.
Segala sesuatu bermula dari pertanyaan mendasar yang menjadi
acuan seseorang berdialektika. Apa itu organisasi? Kenapa kita berorganisasi?
Dan bagaimana kita berorganisasi? Sesederhana itu saya kira. Karena manusia
adalah makhluk sosial, maka kita akan cenderung untuk berkelompok ketika
memiliki satu nilai dan tujuan yang sejalan. Lihat bagaimana banyak komunitas bermunculan di Indonesia. Lihatlah bagaimana setiap masyarakat adat
memiliki kebiasaan untuk duduk bersama dalam sebuah tempat untuk bermusyawarah
dan bermufakat. Pada dasarnya, kita adalah manusia yang akan selalu membutuhkan
sesamanya.
Saya coba mengingat kembali hal-hal yang membuat saya
mencatatkan diri menjadi anggota aktif Viaduct pada tahun 2005, ketika pertama
kali masuk kuliah. Dari banyaknya unit kegiatan mahasiswa yang ada di Atma Jaya
Jakarta, kenapa saya justru memilih Viaduct. Dulu tidak pernah terpikir untuk
terlihat keren dengan bergabung organisasi pers yang menerbitkan
tulisan-tulisan berbau pergerakan atau menjadi bagian dari gerakan pers yang
ikut menumbangkan pemerintahan orde baru.
Alasannya justru karena saya adalah anak daerah yang baru
pertama kali mengenyam pendidikan di luar kota. Saya tidak punya banyak teman
di Jakarta, sehingga saya butuh tempat untuk berteman dan setidaknya nongkrong
usai kuliah. Maklum, bagi mahasiswa dari daerah dan anak kost, memiliki tempat
nongkrong adalah sebuah kewajiban.
Dalam perjalanannya kemudian, Viaduct menjadi tempat yang
sangat baik untuk berproses dan mengaktualisasikan diri. Saya belajar untuk
mengerti tentang nilai, memiliki tujuan, bagaimana memiliki visi dan misi,
berintegritas, dan tentunya bagaimana seharusnya menjadi manusia. Saya
ingat sekali bagaimana ruang sekretariat Viaduct menjadi tempat nongkrong dan
berdiskusi. Tidak hanya bagi anggotanya, namun juga mahasiswa antar-fakultas.
Kita bicara dari hal-hal yang sepele hingga persoalan bangsa. Canda tawa itu
biasa terjadi, gontok-gontokan apalagi. Ya namanya juga mahasiswa.
Mengambil peran dalam organisasi saya rasa tidak jauh
berbeda seperti ketika berada dalam unit terkecil dari masyarakat, yaitu
keluarga. Saya belajar bagaimana memimpin dan dipimpin. Saya belajar bagaimana
membutuhkan dan dibutuhkan. Saya belajar bagaimana memahami, mengenal dan
menghargai orang lain. Yang terpenting adalah bagaimana caranya memberikan
penghargaan, bukan bagaimana caranya mendapat penghargaan. Karena seringkali
kita memberikan nilai yang terlalu tinggi bagi diri kita sendiri. Akibatnya,
orang lain akan selalu dipandang sebelah mata. Dan ini akan sulit saat
seseorang dihadapkan pada sebuah konflik.
Setiap organisasi pasti akan selalu memiliki konflik. Itu
tidak akan bisa dihindari. Namun konflik itulah yang akan membuat organisasi
selalu bergerak dinamis. Di situlah kita akan tahu bagaimana memosisikan diri
sebagai yang dipimpin atau yang memimpin. Semua tergantung dari bagaimana cara
kita mengolah konflik yang ada. Bukan berarti konflik harus melulu diselesaikan
oleh seorang pemimpin. Menjadi ketua atau Pemimpin Redaksi bukan berarti kita
akan terus-terusan memimpin, karena itu hanyalah sekedar label dalam menentukan
fungsi dan peran dalam organisasi. Pada akhirnya, tujuan sejati yang akan
dicapai adalah sebuah perkembangan tiap individu menuju kebaikan. Melalui
konflik tiap individu akan berkembang dengan sendirinya secara natural.
Pada prakteknya, seringkali konflik timbul dari pergesekan karakter yang dimiliki oleh tiap individu. Justru tidak bermula dari sistem yang diterapkan oleh sebuah organisasi. Se-ideal apapun sebuah sistem, tidak akan bekerja dengan baik apabila tiap anggotanya selalu mengalami benturan.
Dari tiap benturan tersebut, seleksi alam yang sesungguhnya tengah berlangsung. Akan terlihat seberapa baik karakter dan kompetensi anggota dalam menyelesaikan konflik. Apakah ia berjiwa besar untuk mengaku salah kemudian memperbaikinya, atau berkeras hati mengikuti kemauan diri sendiri. Seharusnya itu bisa menjadi pelajaran bagaimana kita bisa bersikap ketika dipimpin maupun memimpin.
Lalu bagaimana saat benturan tersebut terus terjadi? Apakah kita harus memberikan pemakluman karena menyangkut sikap dan karakter seseorang? Menurut pengalaman saya, memilih untuk melupakan konflik dan membiarkannya berlalu adalah langkah yang tidak baik dalam berorganisasi. Apapun konflik yang muncul, sebaiknya diselesaikan sesegera mungkin. Konflik akan menjadi borok yang menggerogoti dari dalam apabila tidak diobati sampai sembuh. Cara apapun bisa dipilih untuk menyelesaikannya, ketimbang diberi pemakluman dan berusaha dilupakan. Kuncinya adalah komunikasi. Bicarakan segala sesuatunya bersama-sama, mencari kata mufakat melalui musyawarah. Bukankah itu salah satu alasan mengapa kita berorganisasi?
Saya beruntung bisa belajar berorganisasi saat kuliah dulu.
Jika ditanya apakah bermanfaat, tentu saja. Mungkin Viaduct tidak akan
mempermudah dirimu untuk mendapat pekerjaan usai kuliah, atau membantumu
mendapat pekerjaan dengan upah di atas UMR. Atau membuatmu menjadi selebritis
populis yang pada akhirnya hanya meramaikan dunia maya.
Tapi dari Viaduct, saya belajar bagaimana saya memandang
orang lain, bagaimana saya memberi perlakuan terhadap sesama, dan bagaimana
saya hidup dengan sepenuh hati tanpa harus linglung di persimpangan jalan. Dari
Viaduct, saya tahu harus bagaimana memulai segala sesuatunya, akan melangkah ke
mana dan harus menjadi apa.
It is only with the heart that one can see rightly; what
is essential is invisible to the eye.
No comments:
Post a Comment