Wednesday, March 18, 2015

Pertaruhan Si Kaya dan Si Miskin

Seorang ibu sedang menggendong anaknya melewati jalan desa yang berbatu.
Ketidakadilan dalam peluang hidup terus meningkat. Mengurangi ketimpangan peluang hidup antara kelompok yang mapan dengan kelompok terlantar seharusnya menjadi prioritas.

Kesempatan hidup seorang anak seharusnya tidak bergantung pada tempat ia dilahirkan, seberapa mapan orangtuanya, atau apa identitas etnisnya. Namun di seluruh dunia, faktor-faktor tersebut tetap menjadi penentu apakah seorang anak dapat hidup untuk merayakan ulang tahunnya yang kelima--faktor-faktor yang bagi seorang anak merupakan persoalan kesempatan semata. Apa yang disebut dengan pertaruhan kelahiran ini bertentangan dengan hak setiap anak untuk mendapatkan awal kehidupan yang sama.

Selama beberapa tahun belakangan ini, di banyak negara di seluruh dunia, peluang anak-anak untuk bertahan hidup sampai usia lima tahun telah meningkat cukup cepat. Menurut laporan yang dirilis oleh Save The Children pada bulan Februari 2014 yang lalu, terdapat pengurangan sebanyak 17.000 anak yang meninggal tiap harinya dibandingkan dengan tahun 1990, dan tingkat kematian anak di bawah usia lima tahun di dunia hampir berkurang separuhnya, dari 90 turun ke 46 kematian per 1000 kelahiran (tahun 1990 sampai 2013).

Tapi tidak semua negara berhasil meningkatkan peluang hidup anak-anak. Beberapa negara termiskin di dunia yang sebagian besar hancur karena konflik dan ketidakstabilan negara, sangat jauh tertinggal. Meskipun telah ada kemajuan penting dalam mengurangi angka kematian anak di bawah usia lima tahun di seluruh dunia selama lima belas tahun belakangan ini, namun masih terdapat banyak negara yang tingkat ketimpangannya justru semakin parah. Kemajuan dalam mengurangi angka kematian anak lebih lamban untuk beberapa kelompok anak yang tertinggal dari anak-anak lain yang hidupnya lebih beruntung.

Di balik rata-rata nasional, terungkap adanya perbedaan-perbedaan drastis tingkat kematian anak  antara anak-anak di dalam negara yang sama. Di Indonesia, seorang anak yang lahir dalam kelompok 40 persen keluarga termiskin di tahun 2012, memiliki peluang meninggal 2,5 kali lebih besar dibandingkan dengan seorang anak yang lahir di dalam kelompok 10 persen keluarga terkaya. Ketidakadilan ini telah berlipatganda sejak tahun 2002. Di Honduras, pada tahun 2012, seorang anak yang lahir di wilayah Islas de Bahia memiliki peluang meninggal 3,5 lebih besar dibandingkan anak yang lahir di wilayah yang lebih maju di negara tersebut. Kondisi yang lebih parah menimpa anak-anak di Nigeria. Seorang anak yang lahir di wilayah dengan angka kematian tertinggi di tahun 2012, memiliki peluang meninggal lima kali lebih besar sebelum ulangtahunnya yang kelima dibandingkan dengan anak yang lahir di wilayah dengan angka kematian terendah. Ketidakadilan dalam peluang hidup ini telah berlipatganda sejak tahun 1998.

Seringkali kelompok anak tertentu terus menerus mengalami resiko kematian yang tinggi, bahkan di negara-negara yang secara umum sudah mengalami penurunan drastis. Anak-anak tersebut memiliki peluang hidup yang jauh lebih rendah dibandingkan teman-temannya, dan sekarang semakin merosot, tertinggal dari kemajuan nasional dan global secara tidak adil. Sebanyak 78 persen dari 87 negara yang diteliti oleh Save The Children setidaknya memiliki satu kelompok sosial atau ekonomi yang memiliki kemajuan lebih lambat daripada kelompok yang lebih beruntung , sehingga mereka tertinggal, baik itu kelompok  yang berasal dari lapisan masyarakat yang paling miskin di wilayah subnasional, daerah perkotaan dan pedesaan, kelompok etnis dan kelompok ekonomi yang kurang berkembang. Sebanyak 16 persen dari negara-negara tersebut memiliki tingkat ketimpangan peluang hidup yang terus meningkat.

Potret ketimpangan sosial yang terjadi benar-benar bisa saya saksikan secara langsung ketika beberapa waktu lalu saya mengunjungi wilayah kerja Save The Children Indonesia di Kota Bandung. Bersama dengan beberapa teman mahasiswa, dosen, dan praktisi kesehatan, kami diajak oleh tim program SELARAS mengunjungi Desa Pangauban, Kecamatan Pacet. Jaraknya tidak terlalu jauh dari kota, sekitar satu setengah jam berkendara menggunakan kendaraan pribadi, itu pun ditambah dengan macet langganan setiap akhir pekan di kota Bandung.

Desa Pangauban memiliki luas sekitar 720 hektar dan terdiri dari 15 Rukun Warga. Mayoritas masyarakatnya bermatapencaharian sebagai buruh tani. Di balik keindahannya, desa ini mengalami ketimpangan hak yang sangat jelas terjadi, terutama perihal akses terhadap kesehatan untuk ibu dan anak. Meski jaraknya tidak terlalu jauh, namun akses menuju desa terbilang cukup sulit. Jalan yang kami lewati menuju Pacet sudah dilapisi aspal dan nyaris tidak berlubang. Begitu memasuki jalan desa, kondisi berubah seratus delapan puluh derajat. Jalan desa tidak semulus jalan di perkotaan. Terjal dan berbatu. Jika hujan turun, jalanan berubah menjadi licin dan berlumpur. Saya tidak bisa membayangkan jika ada seorang ibu yang akan melahirkan, harus menempuh puluhan kilometer jalan berbatu menuju ponet (puskesmas) di kecamatan.

Di sana kami sempat berbincang dengan Pak Adang, Kepala Rukun Warga 12, dan beberapa warga desa lain yang kebetulan sedang melintas. Beliau menuturkan bahwa permasalahan paling krusial di desanya antara lain adalah soal buruknya infrastruktur dan minimnya fasilitas kesehatan. Untuk melayani seluruh desa seluas 720 hektar itu, mereka hanya memiliki satu mobil ambulan. Angkutan umum pun terbatas, ditambah lagi dengan kondisi jalan antar desa yang merentang sepanjang 20 kilometer itu hanya 50 persen yang layak dilalui. Persoalan lain yang juga tidak kalah pentingnya adalah biaya melahirkan di rumah sakit yang sering kali sulit dijangkau. Akhirnya, melahirkan dengan bantuan Paraji (dukun beranak) menjadi satu-satunya pilihan yang paling memungkinkan untuk dipilih.


Analisa Save The Children menyatakan bahwa, jika kecenderungan ini terus terjadi, kelompok-kelompok anak tertentu di negara-negara di seluruh dunia akan terus meninggal akibat hal-hal yang sebenarnya dapat dicegah. Dalam kerangka pembangunan global pasca-2015, telah dibahas untuk menyertakan target-target internasional guna mencapai angka kematian anak di bawah usia lima tahun tidak lebih dari 20 kematian per 1000 kelahiran di seluruh negara pada tahun 2030. Penelitian menunjukkan bahwa jika negara-negara penyumbang beban kematian anak tertinggi di dunia melanjutkan kemajuan rata-rata yang sudah dicapai beberapa tahun belakangan, 47 persen akan mencapai target ini sebagai rata-rata nasional. Namun demikian, dengan melihat fakta di balik rata-rata nasional, hanya 25 persen yang dapat memenuhi target untuk seluruh kelompok ekonomi. Sebagian besar negara (53 persen) akan gagal memenuhi target baik untuk daerah pedesaan maupun perkotaan, dan hanya 14 persen yang dapat mencapai target untuk wilayah subnasional. Kemajuan yang dipercepat dan lebih adil akan menjadi sangat penting jika target-target pasca-2015 ingin dicapai untuk seluruh anak-anak. 

Sementara itu, dari fakta sejumlah negara yang telah mencapai tingkat penurunan angka kematian anak sekaligus memastikan kelompok-kelompok tertentu tidak tertinggal memberi kesan bahwa Pemerintah sebenarnya dapat membuat berbagai kebijakan untuk kemajuan yang lebih memungkinkan. Termasuk langkah-langkah untuk mewujudkan Universal Health Coverage yang progresif guna memastikan kelompok-kelompok miskin dan marjinal mendapat akses untuk layanan kesehatan berkualitas yang memenuhi kebutuhan mereka, biaya terjangkau, berdampak tinggi dan terlindungi dari kesulitan finansial. Saat ini hampir sebagian besar kematian anak di bawah usia lima tahun di seluruh dunia disebabkan oleh malnutrisi dan porsi yang meningkat dalam kematian  anak terjadi pada periode neonatal, maka pengabaian kebutuhan nutrisi dan kesehatan ibu serta bayi baru lahir harus diatasi.

Di banyak negara, kelompok marjinal juga mengalami penurunan angka kematian anak yang drastis sebagai akibat dari upaya untuk mengatasi segi-segi terkait kemiskinan. Bukti yang terkumpul dari beragam negara, dari Brazil hingga Bangladesh menitikberatkan pentingnya langkah-langkah untuk menyikapi persoalan akses kesehatan. Termasuk faktor lain seperti memperkuat akuntabilitas dan memastikan bahwa kelompok-kelompok yang terlantar dapat menyuarakan aspirasi mereka, meningkatkan kualitas air, sanitasi dan kebersihan, akses pendidikan yang berkualitas, dan memastikan bahwa kelompok-kelompok terlantar dapat menikmati standar hidup yang layak melalui mekanisme perlindungan sosial dan kebijakan ekonomi. Terdapat banyak bukti, misalnya anak-anak dari keluarga yang diberdayakan dan berpendidikan memiliki peluang besar untuk bertahan hidup. Hal tersebut menunjukkan bahwa kebijakan-kebijakan yang memperhitungkan sifat-sifat kemiskinan yang multidimensional memiliki peluang lebih besar untuk mencapai penurunan angka kematian anak.

Memastikan adanya investasi sistem kesehatan dan sektor-sektor sosial lainnya juga tidak kalah penting dalam usaha menempatkan anak-anak yang tertinggal sebagai prioritas. Negara perlu meningkatkan pendanaan dalam negeri secara besar-besaran, dengan didukung oleh bantuan yang jauh lebih efektif. Dengan meningkatnya perbedaan antar daerah, redistribusi sumber-sumber daya nasional guna memastikan investasi yang maksimal di daerah-daerah yang tertinggal harus menjadi prioritas.

Selain itu, Pemerintah juga harus memastikan bahwa kelanjutan Kerangka Pembangunan Millenium Development Goals, yang akan disepakati pada bulan September 2015, dapat mengubah dunia menuju kemajuan yang lebih adil. Pada tahun 2030 tidak ada target yang dapat dianggap terpenuhi kecuali kebutuhan seluruh kelompok sosial dan ekonomi telah dipenuhi. Kerangka Pembangunan Global Pasca-2015 menawarkan suatu kesempatan penting untuk mengubah arah pembangunan dunia, guna memastikan bahwa tidak ada lagi masyarakat yang tertinggal hanya karena perbedaan kelompok sosial, ekonomi atau geografis mereka.

Kerangka pembangunan harus langsung dan terus menerus memerhatikan keperluan anak-anak yang jauh tertinggal, menjunjung keadilan di seluruh aspeknya, termasuk dengan target mengurangi ketimpangan peluang hidup antara kelompok yang mapan dengan kelompok terlantar. Dengan didukung adanya pemilahan, transparansi, dan akses data, maka target ini memiliki potensi sebagai insentif perubahan kebijakan dalam mempercepat kemajuan di antar kelompok-kelompok yang terpinggirkan. Pada tahun 2030, target pasca-2015 dianggap tidak terpenuhi apabila tidak memenuhi kebutuhan seluruh kelompok sosial dan ekonomi.