Seorang ibu sedang menggendong anaknya melewati jalan desa yang berbatu. |
Ketidakadilan dalam
peluang hidup terus meningkat. Mengurangi ketimpangan peluang hidup antara
kelompok yang mapan dengan kelompok terlantar seharusnya menjadi prioritas.
Kesempatan hidup seorang anak seharusnya tidak bergantung
pada tempat ia dilahirkan, seberapa mapan orangtuanya, atau apa identitas
etnisnya. Namun di seluruh dunia, faktor-faktor tersebut tetap menjadi penentu
apakah seorang anak dapat hidup untuk merayakan ulang tahunnya yang
kelima--faktor-faktor yang bagi seorang anak merupakan persoalan kesempatan
semata. Apa yang disebut dengan pertaruhan kelahiran ini bertentangan dengan
hak setiap anak untuk mendapatkan awal kehidupan yang sama.
Selama beberapa tahun belakangan ini, di banyak negara di
seluruh dunia, peluang anak-anak untuk bertahan hidup sampai usia lima tahun
telah meningkat cukup cepat. Menurut laporan yang dirilis oleh Save The
Children pada bulan Februari 2014 yang lalu, terdapat pengurangan sebanyak
17.000 anak yang meninggal tiap harinya dibandingkan dengan tahun 1990, dan
tingkat kematian anak di bawah usia lima tahun di dunia hampir berkurang
separuhnya, dari 90 turun ke 46 kematian per 1000 kelahiran (tahun 1990 sampai
2013).
Tapi tidak semua negara berhasil meningkatkan peluang hidup
anak-anak. Beberapa negara termiskin di dunia yang sebagian besar hancur karena
konflik dan ketidakstabilan negara, sangat jauh tertinggal. Meskipun telah ada
kemajuan penting dalam mengurangi angka kematian anak di bawah usia lima tahun di
seluruh dunia selama lima belas tahun belakangan ini, namun masih terdapat banyak
negara yang tingkat ketimpangannya justru semakin parah. Kemajuan dalam
mengurangi angka kematian anak lebih lamban untuk beberapa kelompok anak yang
tertinggal dari anak-anak lain yang hidupnya lebih beruntung.
Di balik rata-rata nasional, terungkap adanya
perbedaan-perbedaan drastis tingkat kematian anak antara anak-anak di dalam negara yang sama. Di Indonesia,
seorang anak yang lahir dalam kelompok 40 persen keluarga termiskin di tahun
2012, memiliki peluang meninggal 2,5 kali lebih besar dibandingkan dengan
seorang anak yang lahir di dalam kelompok 10 persen keluarga terkaya.
Ketidakadilan ini telah berlipatganda sejak tahun 2002. Di Honduras, pada tahun
2012, seorang anak yang lahir di wilayah Islas de Bahia memiliki peluang
meninggal 3,5 lebih besar dibandingkan anak yang lahir di wilayah yang lebih
maju di negara tersebut. Kondisi yang lebih parah menimpa anak-anak di Nigeria.
Seorang anak yang lahir di wilayah dengan angka kematian tertinggi di tahun
2012, memiliki peluang meninggal lima kali lebih besar sebelum ulangtahunnya
yang kelima dibandingkan dengan anak yang lahir di wilayah dengan angka
kematian terendah. Ketidakadilan dalam peluang hidup ini telah berlipatganda
sejak tahun 1998.
Seringkali kelompok anak tertentu terus menerus mengalami
resiko kematian yang tinggi, bahkan di negara-negara yang secara umum sudah
mengalami penurunan drastis. Anak-anak tersebut memiliki peluang hidup yang
jauh lebih rendah dibandingkan teman-temannya, dan sekarang semakin merosot,
tertinggal dari kemajuan nasional dan global secara tidak adil. Sebanyak 78
persen dari 87 negara yang diteliti oleh Save The Children setidaknya memiliki
satu kelompok sosial atau ekonomi yang memiliki kemajuan lebih lambat daripada
kelompok yang lebih beruntung , sehingga mereka tertinggal, baik itu
kelompok yang berasal dari lapisan
masyarakat yang paling miskin di wilayah subnasional, daerah perkotaan dan
pedesaan, kelompok etnis dan kelompok ekonomi yang kurang berkembang. Sebanyak
16 persen dari negara-negara tersebut memiliki tingkat ketimpangan peluang
hidup yang terus meningkat.
Potret ketimpangan sosial yang terjadi benar-benar bisa saya
saksikan secara langsung ketika beberapa waktu lalu saya mengunjungi wilayah
kerja Save The Children Indonesia di Kota Bandung. Bersama dengan beberapa
teman mahasiswa, dosen, dan praktisi kesehatan, kami diajak oleh tim program
SELARAS mengunjungi Desa Pangauban, Kecamatan Pacet. Jaraknya tidak terlalu
jauh dari kota, sekitar satu setengah jam berkendara menggunakan kendaraan
pribadi, itu pun ditambah dengan macet langganan setiap akhir pekan di kota
Bandung.
Desa Pangauban memiliki luas sekitar 720 hektar dan terdiri
dari 15 Rukun Warga. Mayoritas masyarakatnya bermatapencaharian sebagai buruh
tani. Di balik keindahannya, desa ini mengalami ketimpangan hak yang sangat
jelas terjadi, terutama perihal akses terhadap kesehatan untuk ibu dan anak.
Meski jaraknya tidak terlalu jauh, namun akses menuju desa terbilang cukup
sulit. Jalan yang kami lewati menuju Pacet sudah dilapisi aspal dan nyaris
tidak berlubang. Begitu memasuki jalan desa, kondisi berubah seratus delapan
puluh derajat. Jalan desa tidak semulus jalan di perkotaan. Terjal dan berbatu.
Jika hujan turun, jalanan berubah menjadi licin dan berlumpur. Saya tidak bisa
membayangkan jika ada seorang ibu yang akan melahirkan, harus menempuh puluhan
kilometer jalan berbatu menuju ponet
(puskesmas) di kecamatan.
Analisa Save The Children menyatakan bahwa, jika
kecenderungan ini terus terjadi, kelompok-kelompok anak tertentu di
negara-negara di seluruh dunia akan terus meninggal akibat hal-hal yang
sebenarnya dapat dicegah. Dalam kerangka pembangunan global pasca-2015, telah
dibahas untuk menyertakan target-target internasional guna mencapai angka
kematian anak di bawah usia lima tahun tidak lebih dari 20 kematian per 1000
kelahiran di seluruh negara pada tahun 2030. Penelitian menunjukkan bahwa jika
negara-negara penyumbang beban kematian anak tertinggi di dunia melanjutkan
kemajuan rata-rata yang sudah dicapai beberapa tahun belakangan, 47 persen akan
mencapai target ini sebagai rata-rata nasional. Namun demikian, dengan melihat
fakta di balik rata-rata nasional, hanya 25 persen yang dapat memenuhi target
untuk seluruh kelompok ekonomi. Sebagian besar negara (53 persen) akan gagal
memenuhi target baik untuk daerah pedesaan maupun perkotaan, dan hanya 14
persen yang dapat mencapai target untuk wilayah subnasional. Kemajuan yang
dipercepat dan lebih adil akan menjadi sangat penting jika target-target
pasca-2015 ingin dicapai untuk seluruh anak-anak.
Sementara itu, dari fakta sejumlah negara yang telah
mencapai tingkat penurunan angka kematian anak sekaligus memastikan
kelompok-kelompok tertentu tidak tertinggal memberi kesan bahwa Pemerintah
sebenarnya dapat membuat berbagai kebijakan untuk kemajuan yang lebih
memungkinkan. Termasuk langkah-langkah untuk mewujudkan Universal Health Coverage
yang progresif guna memastikan kelompok-kelompok miskin dan marjinal mendapat
akses untuk layanan kesehatan berkualitas yang memenuhi kebutuhan mereka, biaya
terjangkau, berdampak tinggi dan terlindungi dari kesulitan finansial. Saat ini
hampir sebagian besar kematian anak di bawah usia lima tahun di seluruh dunia
disebabkan oleh malnutrisi dan porsi yang meningkat dalam kematian anak terjadi pada periode neonatal,
maka pengabaian kebutuhan nutrisi dan kesehatan ibu serta bayi baru lahir harus
diatasi.
Di banyak negara, kelompok marjinal juga mengalami penurunan
angka kematian anak yang drastis sebagai akibat dari upaya untuk mengatasi
segi-segi terkait kemiskinan. Bukti yang terkumpul dari beragam negara, dari
Brazil hingga Bangladesh menitikberatkan pentingnya langkah-langkah untuk
menyikapi persoalan akses kesehatan. Termasuk faktor lain seperti memperkuat
akuntabilitas dan memastikan bahwa kelompok-kelompok yang terlantar dapat
menyuarakan aspirasi mereka, meningkatkan kualitas air, sanitasi dan kebersihan,
akses pendidikan yang berkualitas, dan memastikan bahwa kelompok-kelompok
terlantar dapat menikmati standar hidup yang layak melalui mekanisme
perlindungan sosial dan kebijakan ekonomi. Terdapat banyak bukti, misalnya
anak-anak dari keluarga yang diberdayakan dan berpendidikan memiliki peluang
besar untuk bertahan hidup. Hal tersebut menunjukkan bahwa kebijakan-kebijakan
yang memperhitungkan sifat-sifat kemiskinan yang multidimensional memiliki
peluang lebih besar untuk mencapai penurunan angka kematian anak.
Memastikan adanya investasi sistem kesehatan dan
sektor-sektor sosial lainnya juga tidak kalah penting dalam usaha menempatkan
anak-anak yang tertinggal sebagai prioritas. Negara perlu meningkatkan
pendanaan dalam negeri secara besar-besaran, dengan didukung oleh bantuan yang
jauh lebih efektif. Dengan meningkatnya perbedaan antar daerah, redistribusi
sumber-sumber daya nasional guna memastikan investasi yang maksimal di
daerah-daerah yang tertinggal harus menjadi prioritas.
Selain itu, Pemerintah juga harus memastikan bahwa
kelanjutan Kerangka Pembangunan Millenium Development Goals, yang akan
disepakati pada bulan September 2015, dapat mengubah dunia menuju kemajuan yang
lebih adil. Pada tahun 2030 tidak ada target yang dapat dianggap terpenuhi
kecuali kebutuhan seluruh kelompok sosial dan ekonomi telah dipenuhi. Kerangka
Pembangunan Global Pasca-2015 menawarkan suatu kesempatan penting untuk
mengubah arah pembangunan dunia, guna memastikan bahwa tidak ada lagi
masyarakat yang tertinggal hanya karena perbedaan kelompok sosial, ekonomi atau
geografis mereka.
No comments:
Post a Comment