Thursday, November 19, 2015

Hidup Hanya Diubah, Bukan Ditiadakan


Beberapa waktu belakangan ini, saya menerima  undangan melayat yang hampir sama banyaknya dengan undangan pernikahan. Entah itu kematian seseorang yang saya kenal ataupun keluarga dan sanak saudara dari seorang teman.

Kemudian saya jadi berpikir, di samping pertanyaan "Kapan nikah?", pertanyaan "Kapan mati?" itu seharusnya sering pula ditanyakan. Tidak ada bedanya toh? Kedua pertanyaan itu memiliki level teror yang sejajar, memberikan beban yang sama kepada yang ditanya. Mungkin juga akan memicu reaksi serupa dari orang-orang yang menerima pertanyaan itu.

Jika seseorang membuat sebuah perencanaan untuk menghadapi persiapan perkawinan, seharusnya ia juga melakukan perencanaan untuk mempersiapkan kematian. Sayang sekali, tidak banyak yang bertanya bagaimana nanti jika saya mati, jadi saya sering lupa menyiapkan diri untuk menghadapi hal itu.  Ah siapa juga yang berencana akan mati? Saya sangat senang hati membuat rencana ketika pacar bertanya kapan akan menikah, ketimbang ia bertanya, "Kamu ada rencana ditabrak mobil hari ini?".

Sebenarnya saya tidak terlalu menyukai suasana di rumah duka ketika melayat. Terlalu banyak kesedihan yang ditunjukkan. Derai air mata dan jerit histeris orang-orang yang ditinggal mati terasa seperti mengiris ulu hati. Berpisah dengan orang-orang yang kita cintai tentu menjadi peristiwa yang sangat memilukan. Saya pun pernah mengalaminya. Siapa yang bisa melupakan begitu saja pengalaman melantunkan doa di telinga orang yang kita cintai saat sakratulmaut?

Tamu-tamu yang datang silih berganti memberikan penghiburan. Mereka bersalaman, mengucapkan turut bela sungkawa, berdoa, atau ikut menangis untuk menunjukkan rasa empatinya. "Mereka sebenarnya menangisi diri mereka sendiri," ujar salah seorang teman dalam sebuah upacara pemakaman. "Kamu pernah dengar ucapan Dumbledore ke Harry Potter? Do not pity the dead, Harry. Pity the living, and, above all those who live without love," bisiknya kemudian sambil terkekeh. Setiap melayat, saya berusaha untuk tidak bersedih, mencoba untuk tidak menangis. Melayat bagi saya merupakan usaha menghormati bagi mereka yang mati. Sebuah salam perpisahan untuk mengenang setiap perjumpaan.

Usai melayat, saya dan seorang teman terlibat percakapan yang cukup menarik. Serangkaian pertanyaan muncul di antara kami berdua. Seberapa sering orang-orang membicarakan tentang kematian? Dan bagaimana seharusnya manusia memberikan respon terhadap kematian? Apakah kematian merupakan peristiwa yang harus selalu diisi dengan tangisan dan kesedihan?

Teman saya ini mulai bercerita tentang sebuah buku kumpulan esai Pastor Louis Leahy SJ yang membahas masalah kematian. Katanya, dalam buku itu, kesadaran akan kematianlah yang membuat umat manusia dan individu-individu menjadi matang secara spiritual. Andre Malraux pun pernah menulis bahwa memikirkan kematian itulah yang membuat manusia menjadi manusia. Pantas dirayakan hari di mana manusia untuk pertama kalinya membicarakan tema kematian karena hari tersebut menandai peralihan ke kematangan. Manusia baru lahir waktu dia, untuk pertama kali, berbisik di depan sebuah mayat, "mengapa?".

Namun, pembicaraan mengenai kematian ini masih dianggap tabu. Lebih tabu dari membicarakan soal hubungan seks. Saya rasa tidak banyak orang akan memilih kematian sebagai bahan pembicaraan ketika sedang berduaan dengan pacarnya. Ada pula anggapan yang menyatakan jika berpikir tentang kematian atau membicarakannya adalah tidak sehat. Bisa mengganggu dan membahayakan keseimbangan psikologis. 

Apakah ini artinya manusia tidak menerima kematian dirinya sendiri sebagai suatu kejadian normal dan biasa saja? Apakah jauh di dalam dirinya manusia menolak siklus kehidupan, yang mulai dengan kelahiran dan berujung dengan kematian? Hal demikian, menurut Blaise Pascal yang dikutip dari esai Louis Leahy SJ, terjadi karena manusia tidak bisa menghilangkan rasa takut akan kematian, kesengsaraan dan ketidaktahuan. Ia mencari akal untuk tetap bahagia. Caranya adalah dengan tidak memikirkannya. 

Dalam esainya yang berjudul Obsesi Akan kematian, Louis Leahy SJ memaparkan sebuah hasil wawancara dengan Profesor Henry Baruk, seorang ahli psikologi. Menurut penuturan Baruk, kehidupan dan kematian terikat satu sama lain. Mempertimbangkan kematian adalah mempertimbangkan kehidupan.

Setiap orang harus menghadapi eksistensi manusiawi secara langsung dan menjadi sadar bahwa hidup ini berakhir dengan kematian. Jadi, seseorang perlu mempertimbangkan masalah-masalah yang muncul dari kematian itu. Martabat manusia serta kesehatan spiritual dan psikologisnya menuntut orang untuk menghadapi semua realitas dengan keberanian, termasuk yang paling berat dan penting, yaitu kematian.

Lebih jauh Baruk juga mengkritik pada zaman ini, banyak orang cenderung untuk melihat semua dari segi teknis dan material saja. Yang dinilai penting adalah apa yang bisa ditangkap oleh panca indra. Faktor-faktor dari dalam dan tersembunyi tetapi yang sungguh-sungguh menentukan peristiwa, seperti faktor psikologis dan spiritual, kurang diberi perhatian penuh. Hanya problem-problem dangkal yang tidak berakar pada kebenaran yang lebih dalam, yang dipandang.

Padahal, kekuatan yang mengizinkan manusia untuk hidup secara otentik hanya bisa berasal dari kebenaran yang dalam. Orang akan mudah sekali tersesat ketika mengalami peristiwa tragis, jika segi esensial manusia kekurangan gizi, kemudian menjadi sinis, pesimis dan tidak mau berjuang lagi. membiarkan diri untuk tidak berjuang lagi bisa mempercepat datangnya kematian.

Kematian seseorang yang dicintai sering mengakibatkan keputusasaan pada orang yang ditinggal. Setelah kematian beberapa orang terdekat, saya memilih untuk meyakini apa yang dikatakan oleh seorang pastor dalam homili di sebuah misa arwah. Vita mutatur, non tollitur. Hidup hanya diubah, bukan ditiadakan. Jika dikira bahwa semua selesai dengan kematian, maka hilangnya seseorang yang dicintai tampak jauh lebih tragis.

Bagi saya, konsep hidup hanya diubah bukan menjadi penghiburan semata terhadap kita yang sedang menunggu giliran, tapi lebih pada sebuah keyakinan. Kematian akan menghancurkan suatu kesadaran jika kematian itu dianggap sebagai peniadaan dari hidup sendiri. Orang yang menyadari bahwa ada kehidupan lain setelah kematian, akan memeluk hidup ini dalam seluruh dimensinya dan tidak melihat kematian sebagai sebagai suatu rintangan.

Saya sering melamun, berandai-andai apakah mungkin ketika saya mati nanti, saya bisa bertemu dengan orang-orang yang saya cintai. Apakah saya bisa berkumpul lagi dengan ibu, kakek, dan paman saya?  Apakah dengan kematian, berarti segala misteri di dunia ini akan terpecahkan? Jika setelah kematian benar ada dunia akherat di mana semua jiwa-jiwa orang yang sudah mati berkumpul, berarti saya harus mulai menulis daftar pertanyaan yang tidak pernah ditemukan jawabnya.

Pertama kali mungkin saya akan mencari tahu siapa yang sebenarnya telah membunuh JFK. Kedua, memastikan apakah para pemuka-pemuka agama yang sering berkoar tentang surga itu benar-benar masuk surga. Dan ketiga, saya akan mencari Steve Jobs kemudian bertanya apakah ia cukup kecewa ketika Apple meluncurkan produk iPhone 5. Tapi, tanpa bertemu dengan Jobs pun, saya cukup yakin ia kecewa.

Ada banyak konsep yang ditawarkan kepada kita mengenai cara pandang manusia terhadap kematian. Salah satu yang saya sukai ada di film Lucy. Setelah mencapai kapasitas otak 100 persen, Lucy sang tokoh utama menjadi tidak terikat dengan ruang dan waktu. Dengan mudahnya ia melakukan perjalanan ke masa-masa lalu di mana ia menyaksikan dunia ini berevolusi. Kemudian setelah itu, tubuhnya berubah menjadi partikel-partikel kecil yang tak kasat mata. Ia tak lagi terkungkung dalam balutan darah dan daging. Ia menjadi tak terbatas, ia bisa berada di mana saja dan kapan saja. Otaknya telah membuka daerah-daerah yang belum pernah dijelajahi oleh siapa pun.

Konsep lain yang tak kalah menariknya saya baca dari buku Mitch Albom yang berjudul The Five People You Meet in Heaven. Novel ini bercerita tentang Eddie, seorang teknisi sebuah taman bermain yang menemukan pelajaran hidup justru setelah ia mati. Diceritakan setelah kematiannya, Eddie bertemu dengan lima orang yang tanpa disadari oleh Eddie sendiri telah mengalami perubahan karena dirinya, secara langsung maupun tidak langsung.

Sekilas buku ini sekedar bercerita tentang pengalaman seseorang ketika kematian datang menjemput, tapi jika digali lebih dalam, Albom sebenarnya banyak berbicara tentang kehidupan itu sendiri. Melalui tokoh Eddie, ia mencoba menunjukkan bahwa arti hidup seseorang ditentukan dari bagaimana ia menjalaninya dengan penuh kejujuran, cinta dan kebaikan yang membawa perubahan positif bagi sesamanya.

Melalui novel tersebut, Albom mengajak saya untuk memandang kehidupan dan kematian sekaligus dari sudut pandang yang berbeda. Segala kebaikan dalam hidup merupakan buah dari segala tindakan. Semua orang memiliki potensi untuk melakukan perubahan ke arah yang lebih baik melalui apa yang ia perbuat, sekecil apapun itu. Setiap tindakan akan memiliki efek yang bergelombang. Memengaruhi siapa pun, bahkan setelah kematian. Dengan menghargai kehidupan, maka manusia pun menghargai kematian atas dirinya.

Bicara tentang kematian memang tidak akan pernah ada habisnya. Manusia akan selalu ditawarkan konsep-konsep pasca kematian. Kita tinggal memilih yang sesuai dengan kemampuan nalar berpikir atau sesuai dengan keyakinan yang kita anggap baik. Selebihnya mari kita merayakan kehidupan dan menyambut kematian dengan penuh kegembiraan.


*ilustrasi: Toto Prastowo

No comments:

Post a Comment