Bulan Ramadhan akan selalu
meninggakan kesan tersendiri bagi saya. Ya, saya seorang Katolik dan masa puasa
hingga Lebaran memiliki arti begitu mendalam bagi diri saya pribadi. Ini
pertama kalinya saya menulis tentang perasaan dan pengalaman yang saya rasakan
setiap bulan Ramadhan. Sejak lahir dan besar di lingkungan keluarga kecil
Katolik, saya memiliki kenangan begitu berkesan dari keluarga besar kakek-nenek
yang mana sebagian besar muslim. Tulisan ini mungkin bisa anda lihat sebagai
respon saya terhadap ramainya perbincangan di media sosial perihal boleh
tidaknya warung makan beroperasi selama puasa. Tentu saja anda boleh melihatnya
sebagai sebuah pandangan atas maraknya postingan situs-situs radikal yang
seringkali menebar kebencian serta menyudutkan agama tertentu ketika tidak
sesuai dengan persepsi seseorang.
Tidak pernah terpikir sebelumnya
untuk menulis seperti ini sampai suatu sore saya melihat nenek saya di dapur,
mengangkat sebuah wajan besar. Ketika saya tengok, isinya ternyata adalah opor
ayam yang biasa disantap dengan ketupat. Lalu saya tanya kepadanya,"Lho,
masak lagi? Bukannya tadi sudah menggoreng tempe dan bikin sambel bawang?"
Ia hanya menjawab dengan singkat,"Ini buat nanti puasa. Mau kirim untuk saudara
dan tetangga buat buka puasa."
Sejak kecil saya tinggal dan
dibesarkan oleh kakek dan nenek dari ibu saya yang sudah lama meninggal. Kakek
dan nenek saya seorang Katolik, atau memutuskan menjadi seorang Katolik saat
usia mereka berdua masih belia. Mereka berasal dari keluarga Jawa Timur yang
begitu kental dengan nuansa Islam. Kata nenek saya, keluarga buyut adalah warga
NU yang sangat taat. Saya sempat heran, kok bisa-bisanya sebuah keluarga Jawa
Timur yang dikenal keras bisa memiliki anggota keluarga mbalelo. Seorang Kristiani. Apa jangan-jangan kakek nenek saya ini
sudah tidak dianggap di dalam keluarga buyut? Apa mereka sudah dicap kafir oleh
sebagian besar saudara-saudaranya dan diusir dari rumah kemudian pergi
merantau? Dulu sebelum mengenal sosok Gus Dur, saya kira keluarga buyut adalah
orang-orang yang memiliki pemikiran seperti Hafidz Ary atau Felix Siauw yang cangkem-nya terlalu enteng mengkafirkan
seseorang. Ternyata saya salah.
Dulu, kakek kerap membawa saya
pulang kampung menjelang hari raya Idul Fitri. Kebiasaan mudik lebaran menjadi
momen paling menggembirakan saat itu. Meski sebagai seorang Kristiani, kakek
selalu memilih pulang kampung saat lebaran, bukan saat Natal atau pun Paskah.
Biasanya semua sanak saudara berkumpul di rumah buyut di Jawa Timur. Kalau
tidak salah nama kampungnya Tulakan, Kabupaten Pacitan. Kakek tidak pernah
menganggap ritual pulang kampung ini sebagai sebuah kesempatan untuk berlibur
atau sekedar meramaikan Lebaran. Oh tidak. Kakek dan nenek tidak se-kaya itu untuk
menghambur-hamburkan uang hanya karena ingin ikut macet-macetan di sepanjang
jalur Pantura. Ada kebiasaan yang tidak akan pernah bisa mereka tinggalkan
sebagai orang Jawa. Bersilahturahmi.
Dari seluruh keluarga besar kakek
dan nenek, hanya mereka berdua yang memeluk agama Katolik. Saudara, kakak, dan
adik mereka semuanya adalah pemeluk Islam yang ramah. Saya tidak pernah merasa
dibedakan atau diperlakukan sebagai orang asing. Tidak pernah merasa diasingkan
dengan adanya perbedaan yang cukup mencolok. Kami biasanya tiba di Pacitan
beberapa hari sebelum Idul Fitri. Selama di sana hingga Lebaran, saya sama
sekali tidak pernah dilarang untuk makan dan minum. Pakdhe dan Budhe saya
tidak pernah menunjukkan raut wajah terganggu karena melihat saya makan dan minum
di dapur. Kehidupan berjalan seperti biasa. Budhe
saya tetap menanak nasi di dapur untuk buka puasa. Buyut saya tetap mbabati rumput dan ngangon wedus. Tidak pernah ada larangan makan dan minum pada siang
hari. Justru kakek dan nenek yang sering mengingatkan saya untuk tidak makan
minum di luar rumah. Pada saat hari raya Idul Fitri saya diperlakukan layaknya
seorang muslim. Sungkeman, saling bermaafan dan makan opor ayam.
Jika sedang tidak pulang kampung,
rumah kakek dan nenek di Cilegon pun tidak kalah ramainya saat Lebaran. Bahkan
biasanya lebih ramai ketimbang Natal dan Paskah. Sering anak-anak kecil di
sekitar rumah datang untuk meminta duit Lebaran atau tetangga yang datang hanya
untuk sekedar mencicipi ketupat sayur dan kue kering bikinan sendiri. Semua
kenangan akan hari raya itu saya alami selama masa kanak-kanak, dan saya sadari
sekarang bahwa hal itu telah menjadi proses pembelajaran mengenal makna
toleransi sesungguhnya. Perasaan memanusiakan manusia lain, tanpa harus
memiliki tendensi untuk menghakimi, tanpa mencari siapa yang benar siapa yang
salah dan siapa yang lebih berhak masuk surga.
Setelah cukup dewasa, tinggal di
kota besar, saya menjadi tidak terlalu polos untuk menyadari bahwa sering kali
manusia hidup dalam pengkotak-kotakan. Saya jengah ketika melihat begitu banyak
konflik sosial yang terjadi karena perbedaan agama. Sudah begitu lama saya
tidak lagi merasakan perasaan yang sama ketika ikut merayakan lebaran di
Pacitan. Saya tidak lagi menemukan makna sesungguhnya dari kata toleransi yang
hari ini begitu sering dipelintir sedemikian rupa oleh banyak orang. Kita mudah
sekali diganggu dengan hal-hal sepele seperti boleh tidaknya warung makan
ketika puasa, siapa harus menghormati siapa. Sama dangkalnya ketika orang-orang
yang meributkan perkara boleh atau tidak mengucapkan selamat Natal menjelang
bulan Desember.