Beberapa waktu belakangan ini, saya menerima undangan melayat yang hampir sama
banyaknya dengan undangan pernikahan. Entah itu kematian seseorang yang saya
kenal ataupun keluarga dan sanak saudara dari seorang teman.
Kemudian saya jadi berpikir, di samping pertanyaan "Kapan nikah?", pertanyaan "Kapan mati?" itu seharusnya
sering pula ditanyakan. Tidak ada bedanya toh?
Kedua pertanyaan itu memiliki level teror yang sejajar, memberikan beban
yang sama kepada yang ditanya. Mungkin juga akan memicu reaksi serupa dari
orang-orang yang menerima pertanyaan itu.
Jika seseorang membuat sebuah perencanaan untuk menghadapi
persiapan perkawinan, seharusnya ia juga melakukan perencanaan untuk
mempersiapkan kematian. Sayang sekali, tidak banyak yang bertanya bagaimana
nanti jika saya mati, jadi saya sering lupa menyiapkan diri untuk menghadapi
hal itu. Ah siapa juga yang berencana akan mati? Saya sangat
senang hati membuat rencana ketika pacar bertanya kapan akan menikah, ketimbang
ia bertanya, "Kamu ada rencana ditabrak mobil hari ini?".
Sebenarnya saya tidak terlalu menyukai suasana di rumah duka
ketika melayat. Terlalu banyak kesedihan yang ditunjukkan. Derai air mata dan
jerit histeris orang-orang yang ditinggal mati terasa seperti mengiris ulu
hati. Berpisah dengan orang-orang yang kita cintai tentu menjadi peristiwa yang
sangat memilukan. Saya pun pernah mengalaminya. Siapa yang bisa melupakan
begitu saja pengalaman melantunkan doa di telinga orang yang kita cintai saat sakratulmaut?
Tamu-tamu yang datang silih berganti memberikan penghiburan.
Mereka bersalaman, mengucapkan turut bela sungkawa, berdoa, atau ikut menangis
untuk menunjukkan rasa empatinya. "Mereka sebenarnya menangisi diri mereka
sendiri," ujar salah seorang teman dalam sebuah upacara pemakaman.
"Kamu pernah dengar ucapan Dumbledore ke Harry Potter? Do not pity the dead, Harry. Pity the
living, and, above all those who live without love," bisiknya kemudian
sambil terkekeh. Setiap melayat, saya berusaha untuk tidak bersedih, mencoba
untuk tidak menangis. Melayat bagi saya merupakan usaha menghormati bagi mereka
yang mati. Sebuah salam perpisahan untuk mengenang setiap perjumpaan.
Usai melayat, saya dan seorang teman terlibat percakapan
yang cukup menarik. Serangkaian pertanyaan muncul di antara kami berdua. Seberapa sering orang-orang
membicarakan tentang kematian? Dan bagaimana seharusnya manusia memberikan
respon terhadap kematian? Apakah kematian merupakan peristiwa yang harus selalu
diisi dengan tangisan dan kesedihan?
Teman saya ini mulai bercerita tentang sebuah buku kumpulan
esai Pastor Louis Leahy SJ yang membahas masalah kematian. Katanya, dalam buku
itu, kesadaran akan kematianlah yang membuat umat manusia dan individu-individu
menjadi matang secara spiritual. Andre Malraux pun pernah menulis bahwa
memikirkan kematian itulah yang membuat manusia menjadi manusia. Pantas
dirayakan hari di mana manusia untuk pertama kalinya membicarakan tema kematian
karena hari tersebut menandai peralihan ke kematangan. Manusia baru lahir waktu
dia, untuk pertama kali, berbisik di depan sebuah mayat, "mengapa?".
Namun, pembicaraan mengenai kematian ini masih dianggap
tabu. Lebih tabu dari membicarakan soal hubungan seks. Saya rasa tidak banyak
orang akan memilih kematian sebagai bahan pembicaraan ketika sedang berduaan
dengan pacarnya. Ada pula anggapan yang menyatakan jika berpikir tentang
kematian atau membicarakannya adalah tidak sehat. Bisa mengganggu dan
membahayakan keseimbangan psikologis.
Apakah ini artinya manusia tidak menerima kematian dirinya
sendiri sebagai suatu kejadian normal dan biasa saja? Apakah jauh di dalam
dirinya manusia menolak siklus kehidupan, yang mulai dengan kelahiran dan
berujung dengan kematian? Hal demikian, menurut Blaise Pascal yang dikutip dari
esai Louis Leahy SJ, terjadi karena manusia tidak bisa menghilangkan rasa takut
akan kematian, kesengsaraan dan ketidaktahuan. Ia mencari akal untuk tetap
bahagia. Caranya adalah dengan tidak memikirkannya.
Dalam esainya yang berjudul Obsesi Akan kematian, Louis Leahy SJ memaparkan sebuah hasil
wawancara dengan Profesor Henry Baruk, seorang ahli psikologi. Menurut penuturan Baruk, kehidupan dan kematian
terikat satu sama lain. Mempertimbangkan kematian adalah mempertimbangkan
kehidupan.
Setiap orang harus menghadapi eksistensi manusiawi secara
langsung dan menjadi sadar bahwa hidup ini berakhir dengan kematian. Jadi,
seseorang perlu mempertimbangkan masalah-masalah yang muncul dari kematian itu.
Martabat manusia serta kesehatan spiritual dan psikologisnya menuntut orang
untuk menghadapi semua realitas dengan keberanian, termasuk yang paling berat
dan penting, yaitu kematian.
Lebih jauh Baruk juga mengkritik pada zaman ini, banyak
orang cenderung untuk melihat semua dari segi teknis dan material saja. Yang
dinilai penting adalah apa yang bisa ditangkap oleh panca indra. Faktor-faktor
dari dalam dan tersembunyi tetapi yang sungguh-sungguh menentukan peristiwa,
seperti faktor psikologis dan spiritual, kurang diberi perhatian penuh. Hanya
problem-problem dangkal yang tidak berakar pada kebenaran yang lebih dalam,
yang dipandang.
Padahal, kekuatan yang mengizinkan manusia untuk hidup
secara otentik hanya bisa berasal dari kebenaran yang dalam. Orang akan mudah
sekali tersesat ketika mengalami peristiwa tragis, jika segi esensial manusia
kekurangan gizi, kemudian menjadi sinis, pesimis dan tidak mau berjuang lagi.
membiarkan diri untuk tidak berjuang lagi bisa mempercepat datangnya kematian.
Kematian seseorang yang dicintai sering mengakibatkan keputusasaan
pada orang yang ditinggal. Setelah kematian beberapa orang terdekat, saya
memilih untuk meyakini apa yang dikatakan oleh seorang pastor dalam homili di
sebuah misa arwah. Vita mutatur, non
tollitur. Hidup hanya diubah, bukan ditiadakan. Jika dikira bahwa semua
selesai dengan kematian, maka hilangnya seseorang yang dicintai tampak jauh
lebih tragis.
Bagi saya, konsep hidup hanya diubah bukan menjadi
penghiburan semata terhadap kita yang sedang menunggu giliran, tapi lebih pada
sebuah keyakinan. Kematian akan menghancurkan suatu kesadaran jika kematian
itu dianggap sebagai peniadaan dari hidup sendiri. Orang yang menyadari bahwa
ada kehidupan lain setelah kematian, akan memeluk hidup ini dalam seluruh
dimensinya dan tidak melihat kematian sebagai sebagai suatu rintangan.
Saya sering melamun, berandai-andai apakah mungkin ketika
saya mati nanti, saya bisa bertemu dengan orang-orang yang saya cintai. Apakah
saya bisa berkumpul lagi dengan ibu, kakek, dan paman saya? Apakah dengan kematian, berarti segala
misteri di dunia ini akan terpecahkan? Jika setelah kematian benar ada dunia
akherat di mana semua jiwa-jiwa orang yang sudah mati berkumpul, berarti saya
harus mulai menulis daftar pertanyaan yang tidak pernah ditemukan jawabnya.
Pertama kali mungkin saya akan mencari tahu siapa yang
sebenarnya telah membunuh JFK. Kedua, memastikan apakah para pemuka-pemuka
agama yang sering berkoar tentang surga itu benar-benar masuk surga. Dan ketiga, saya akan mencari Steve
Jobs kemudian bertanya apakah ia cukup kecewa ketika Apple meluncurkan produk
iPhone 5. Tapi, tanpa bertemu dengan Jobs pun, saya cukup yakin ia kecewa.
Ada banyak konsep yang ditawarkan kepada kita mengenai cara
pandang manusia terhadap kematian. Salah satu yang saya sukai ada di film Lucy.
Setelah mencapai kapasitas otak 100 persen, Lucy sang tokoh utama menjadi tidak
terikat dengan ruang dan waktu. Dengan mudahnya ia melakukan perjalanan ke
masa-masa lalu di mana ia menyaksikan dunia ini berevolusi. Kemudian setelah
itu, tubuhnya berubah menjadi partikel-partikel kecil yang tak kasat mata. Ia
tak lagi terkungkung dalam balutan darah dan daging. Ia menjadi tak terbatas,
ia bisa berada di mana saja dan kapan saja. Otaknya telah membuka daerah-daerah
yang belum pernah dijelajahi oleh siapa pun.
Konsep lain yang tak kalah menariknya saya baca dari buku
Mitch Albom yang berjudul The Five
People You Meet in Heaven. Novel ini bercerita tentang Eddie, seorang teknisi
sebuah taman bermain yang menemukan pelajaran hidup justru setelah ia mati.
Diceritakan setelah kematiannya, Eddie bertemu dengan lima orang yang tanpa
disadari oleh Eddie sendiri telah mengalami perubahan karena dirinya, secara
langsung maupun tidak langsung.
Sekilas buku ini sekedar bercerita tentang pengalaman
seseorang ketika kematian datang menjemput, tapi jika digali lebih dalam, Albom
sebenarnya banyak berbicara tentang kehidupan itu sendiri. Melalui tokoh Eddie,
ia mencoba menunjukkan bahwa arti hidup seseorang ditentukan dari bagaimana ia
menjalaninya dengan penuh kejujuran, cinta dan kebaikan yang membawa perubahan
positif bagi sesamanya.
Melalui novel tersebut, Albom mengajak saya untuk memandang
kehidupan dan kematian sekaligus dari sudut pandang yang berbeda. Segala
kebaikan dalam hidup merupakan buah dari segala tindakan. Semua orang memiliki
potensi untuk melakukan perubahan ke arah yang lebih baik melalui apa yang ia
perbuat, sekecil apapun itu. Setiap tindakan akan memiliki efek yang
bergelombang. Memengaruhi siapa pun, bahkan setelah kematian. Dengan menghargai
kehidupan, maka manusia pun menghargai kematian atas dirinya.
Bicara tentang kematian memang tidak akan pernah ada habisnya. Manusia
akan selalu ditawarkan konsep-konsep pasca kematian. Kita tinggal memilih yang sesuai dengan kemampuan nalar berpikir atau sesuai dengan keyakinan yang kita
anggap baik. Selebihnya mari kita merayakan kehidupan dan menyambut kematian
dengan penuh kegembiraan.
*ilustrasi: Toto Prastowo