Selain masalah teknis, kemampuan mengubah pola pikir
konsumen turut menentukan keberhasilan
usaha pembuatan gitar merek lokal. Produsen sulit bertahan jika gagal
mengatasinya.
Semula
kedua tantangan bisnis pembuatan gitar tersebut sama sekali tak diketahui oleh
Toien Bernadhie, produsen gitar lokal merek Radix. Ia betul-betul awam. Namun
ia memiliki tekad kuat. Hal itu tampak dari keberaniannya mengambil keputusan
penting dalam hidupnya, yaitu berhenti bekerja untuk menjadi pengusaha pada
tahun 1998. Langkah ‘revolusioner’ itu diambil karena Toein tak pernah
bercita-cita menjadi karyawan. Praktis banyak orang-orang dekatnya yang ketar-ketir.
Kekhawatiran mereka masuk akal lantaran Toein menanggalkan status karyawan dan
memulai bisnis saat Indonesia sedang dilanda krisis ekonomi. Dan di depan mata,
saat itu, jumlah perusahaan yang tutup tak bisa dihitung dengan jari.
Toein
menepis semua kekhawatiran itu dan bersama seorang temannya melenggang dengan
rencana bisnis pembuatan jam dinding dari bahan kayu. Ia optimis bahwa
bisnisnya itu akan mendulang untung. Usaha ini sukses, tapi akhirnya hanya
menjadi semacam jembatan penghubung dengan bisnis impiannya di kemudian hari. Kini
banyak orang mengenal nama Toien sebagai seorang pembuat gitar listrik. Namanya
tidak asing lagi di antara gitaris-gitaris Indonesia. Beberapa gitaris terkenal
seperti Eet Syahranie, Rama Satria, sampai Lukman ‘Superglad’ telah menggunakan
gitar buatannya. Bagaimana bisa?
Semua berawal di tahun 1995. Saat itu Indonesia baru saja
mengenal internet. Surfing di dunia
maya menjadi salah satu kebiasaan baru. Beruntung, Toein termasuk salah satu orang yang memiliki aterhadap
koneksi internet di tempatnya bekerja. Perkenalannya dengan internet membuat ia
berpikir untuk mewujudkan obsesi lamanya, membuat gitar. Obsesi ini tergolong unik karena terus dipupuk meski sejak lulus kuliah
pada 1988 Toein tak pernah bermain gitar lagi. Dari internet itu ia
mulai mengumpulkan beberapa brosur dari berbagai merek gitar
terkenal, informasi mengenai cara-cara membuat gitar, sampai mencari blueprint-nya. Setelah mendapatkan seluruh
informasi yang dibutuhkan, ia mulai belajar membuatnya. Namun, sebelum sempat berhasil
membuat sebuah gitar, godaan
berupa tawaran usaha datang menghampiri dirinya.
1998, krisis moneter melanda Indonesia. Banyak pengusaha
gulung tikar, PHK dimana-mana. Tapi ia membuat keputusan besar dalam hidupnya.
Ia berhenti jadi karyawan
dan memilih tawaran temannya untuk memulai usaha pembuatan jam dinding yang
terbuat dari kayu dengan merek Wellington. Usahanya berjalan lancar. Mereka
hanya membutuhkan waktu sekitar satu hingga dua tahun untuk membuat usaha
produksinya set up. Setelah dua tahun berjalan, ia mulai merasa jenuh.
Tantangan sebagai pembuat jam dinding kayu sudah berkurang. Ia membutuhkan tantangan baru
untuk mengusir rasa jenuhnya. Ingatannya pun tertuju pada
pembuatan gitar yang belum kelar beberapa tahun sebelumnya.
Toein pun
memutuskan untuk melanjutkan obsesi lamanya dengan membuat gitar. Tak berbeda
dengan sebelumnya, kali ini pun ia mengerjakannya sendirian: memilih kayu yang
cocok, memotong, mendesain, membeli spare-part,
hingga proses setting akhir. “Gitar
itu menarik, akhirnya saya mencoba membuat gitar hanya dengan panduan dari
internet. Dulu saya nggak punya
contoh fisik gitar saat pertama kali membuat gitar listrik. Saya belajar soal
skala, cara menghitung jarak antar fret
dan lain-lainnya ya melalui internet,” ungkap pria lulusan fakultas Kehutanan
UGM tersebut mengisahkan.
Akhirnya satu gitar berhasil ia buat, namun setelah
dihitung, modal yang ia keluarkan untuk membuat satu gitar saja jumlahnya
sangat banyak. Biayanya cukup untuk membeli satu buah gitar kelas profesional
dari merek terkenal seperti Fender atau Gibson. “Setelah dihitung-hitung,
ternyata habisnya banyak, jumlahnya kalau saya belikan gitar baru dan bagus itu
bisa. Akhirnya, saya memutuskan untuk dijadikan usaha, siapa tahu duitnya
balik, dan harus,” ungkap Toien sambil tertawa.
Selalu Belajar dari Kesalahan
Tahun 2002, ia sudah siap dengan produksi gitar untuk
pemula. Tentu saja gitar-gitar yang dibuat pada awal masa produksi belum
menggunakan spesifikasi profesional. Meski perlahan, Toein melihat bisnis rintisannya itu berjalan. Saat itu,
optimismenya kian meningkat. Alih-alih berharap gitar produksinya dikenal dan
diminati oleh para gitaris pemula, Toein justru baru menyadari bahwa dirinya
tidak mengetahui seluk beluk dunia bisnis gitar sama sekali. Saat itu ia pun
tak mengenal satu orang pun yang bisa membantu menyelami seluk beluk
usaha barunya itu. Namun
masalah itu tak membuat dirinya kehilangan asa. Sebaliknya, ia merasa terus
tertantang.
Pucuk dicinta, ulam pun tiba. Suatu malam ia berbincang dengan seorang kawan lamanya yang berprofesi sebagai jurnalis. Ia
bercerita tentang usaha barunya. Siapa sangka, kawan lamanya itu mendukung apa
yang sedang dirintis oleh Toien, dan berjanji akan mengenalkan dirinya ke salah
satu gitaris dari band besar Indonesia, Mohammad Ridwan Hafiedz, atau lebih
dikenal dengan nama Ridho Slank. Dari pertemuannya dengan Ridho, Toien berhasil
menjalin sebuah kerjasama. Mereka berdua sepakat untuk memproduksi gitar asli
buatan Indonesia. Ridho kemudian mengusulkan nama Marlique sebagai merek
dagangnya.
Kerjasama itu berhasil menaikkan level seorang Toien
Bernadhie sebagai pebisnis
gitar. Ia semakin percaya diri dengan produk gitar yang ia hasilkan bersama
Ridho. Gitarnya tak lagi
dipandang sebagai gitar kelas pemula. Spesifikasi Marlique besutan Ridho tak diragukan lagi. “Tahun
2003, gitar pertama Marlique yang saya buat berwarna putih dengan motif
bunga-bunga, sekarang dipajang di Hard Rock Cafe Bali,” ujarnya dengan bangga.
“Setelah saya mampu memasang iklan, Marlique adalah produk alat musik pertama
yang menggunakan musisi lokal sebagai ikon dan berani untuk menyebutkan bahwa
produk ini adalah made in Indonesia,”
lanjutnya.
Sekitar bulan November 2003, Toien memberanikan diri untuk
mengikutkan produk gitar buatannya dalam sebuah pameran industri musik terbesar
di Indonesia, Jakarta Audiopro Expo (JaPEx). Saat itu adalah kali pertama ia
mengikuti sebuah pameran dan menunjukkan
profil Marlique kepada para
pengunjung. Setelah pameran itu, ia bertekad untuk mengerahkan seluruh energinya dalam
menjalankan bisnis pembuatan gitar. “Break out-nya itu kira-kira di bulan
November 2003, setelah pameran JaPEx pertama itulah saya tidak bisa mundur
lagi, sudah ada dealer yang mau
memasarkan produk Marlique,” ujar Toien. Sayang, tahun 2008 kerja sama dengan
Ridho tidak bisa diteruskan. Nama Marlique tak lagi dipakai sebagai nama merek. Atas usulan Sony Ismail
Robbayani, gitaris dari J-Rocks, Toien mengganti namanya menjadi Radix, diambil
dari namanya sendiri.
“Sekarang banyak orang tahu saya adalah seorang pembuat
gitar, tapi beberapa tahun lalu, saya tidak tahu cara memasang tremolo. Pernah dulu saya membeli spare part tremolo yang paling sederhana dari Fender, padahal saya tidak tahu
cara memasangnya, itu memalukan,”ujarnya sambil terbahak. Konsistensi, saya
rasa itu yang dimiliki oleh seorang Toien Bernadhie. Saya membayangkan
bagaimana beratnya proses yang ia harus lalui hingga berada di posisinya saat
ini. Dulu ketika ia bertekad untuk belajar membuat gitar, ia hanya mengandalkan
koneksi internet. Menyerap semua informasi sampai mengaplikasikannya. Mengalami
kegagalan? Itu sudah hal yang sudah biasa ia alami. “Ketika saya mulai membuat
beberapa sampel gitar
dengan teman-teman lama saat nge-band
dulu, banyak kesalahan yang terjadi, gitar pertama yang saya buat tidak
langsung menjadi gitar sempurna dengan kualitas yang baik. Bahkan saya pernah
salah memasang tuas volume di gitar,”
tambahnya.
Tak Takut Bersaing
Menjadi pebisnis gitar di Indonesia bukan menjadi hal mudah
untuk dijalankan. Apalagi jika produk yang dihasilkan memiliki label buatan
lokal. Konsumen di Indonesia cenderung mempercayai produk-produk buatan luar
negeri ketimbang dalam negeri, apalagi jika sudah menyangkut produk-produk
elektronik, seperti alat musik. Tidak bisa juga menyalahkan perilaku konsumen
yang seperti itu, semenjak “cintailah produk Indonesia” hanya sebatas slogan,
tanpa ada usaha untuk meningkatkan mutu kualitas. Kita tidak bisa menutup mata
bahwa memang tidak banyak produk-produk buatan Indonesia yang bisa bertahan di
pasaran. Bagaimana mau dicintai oleh masyarakatnya sendiri jika tidak mampu
bertahan oleh gempuran produk-produk buatan luar negeri.
“Challenge
terberat untuk di indonesia sendiri itu bagaimana caranya kita menemukan atau mendesain
gitar yang authentic tapi masih masuk
akal, karena gitar ini sudah ada sejak tahun 50-an. ‘Dewa-dewanya’ itu sudah
muncul. Merek seperti Gibson atau Fender itu sudah seperti agama. kalau kita
melihat stratocaster, ya seperti itu, kalau misalnya kita ubah bentuknya
sedikit aja, orang akan aneh melihatnya. Makanya kita harus bisa menemukan
desain yang keluar dari pakem itu. Pilihannya cuma dua kalau kita berhasil keluar dari ‘agama-agama’
itu; jadi bagus atau
malah jadi aneh. Itu yang paling menantang buat saya,” tuturnya.
Ia sendiri mengakui banyak hambatan yang ia harus hadapai
ketika memulai bisnis gitar di Indonesia. Bukan permasalahan teknis yang
menjadi hambatan terberat, tetapi mengubah pola pikir konsumen itu sendiri. Ia
mengatakan bahwa konsumen di Indonesia itu masih brand-minded. Tidak bisa disalahkan, karena merek-merek besar
seperti Gibson, Fender, PRS, dan lainnya itu memang besar, bukan omong kosong.
Mereka besar karena sudah punya reputasi dan lahir di jaman di mana musik-musik itu ditemukan.
“Seperti saat kita ngomongin musik blues,
kita nggak bisa lupa sama Fender seri
Stratocaster. Karena musik Blues itu ya lahir dengan gitar Stratocaster. Saat
musik blues ditemukan, Jimi Hendrix
memainkannya dengan Stratocaster. Nah, sekarang saya harus bisa membuat gitar
dengan karakter suara yang khas di era saat ini,” jelasnya.
Kualitas
pembuatan gitar terus ditingkatkan,
tapi masih saja banyak orang yang memandang sebelah mata. Jika bukan gitar buatan USA pasti
dianggap tidak bagus, walaupun anggapan itu tidak sepenuhnya benar. Toien
pernah iseng memperhatikan, sejak ia membuat Marlique tahun 2003, ia mulai menghitung
berapa kali gitar buatannya itu dipakai oleh musisi untuk tampil di televisi. Sekitar
lima tahun sejak gitar Marlique resmi dijual, baru ia melihat beberapa musisi
yang tidak ia kenal menggunakan gitar buatannya.
Strategi bisnis yang diterapkan olehnya bukan menjadi hal
baru di bisnis industri alat musik. Brand-brand
besar pun telah memakai cara serupa
sejak beberapa tahun yang lalu sampai sekarang. Untuk membuat produk
gitar Radix mempunyai nilai jual dan mutu yang tinggi, Toien selalu mengeluarkan
produknya dengan seri signature atau artist series. Strategi endorsment seperti ini telah banyak
digunakan oleh brand-brand besar luar
negeri, tetapi tidak banyak diadopsi oleh produsen lokal.
Soal desain dan spesifikasi gitar, Toien selalu bekerja sama
dengan gitaris-gitaris ternama Indonesia. Setiap gitaris memiliki preference, karakter, dan pilihan
masing-masing soal alat musik yang mereka mainkan. Radix telah mengeluarkan
sepuluh jenis gitar hasil kerjasama dengan sepuluh gitaris Indonesia, antara
lain Eet Sjahranie dengan Radix GES series-nya,
Iwan Sang Gitaris Saint Loco dengan Radix The Saint series, Lukman dari SUPERGLAD dengan Radix Luks series, dan yang
baru-baru ini diluncurkan Radix RIG series,
hasil kerja sama dengan Rainaldi Ramadhan Item, anak dari musisi jazz Jopie
Item.
“Jadi prosesnya begini, jika ada satu gitaris yang saya suka,
saya ajak dia bekerjasama untuk membuat satu jenis produk gitar dengan
memadukan spesifikasi dari saya dan yang dia tawarkan. Kami melakukan diskusi
panjang sampai benar-benar menyepakati satu desain dan spesifikasi gitar yang
akan dibuat,” ujar pria kelahiran 9 Juni 1964 itu menjelaskan. Ia mengakui,
jika harus bekerja sendiri untuk mendesain sebuah gitar itu tidak mudah. “Saya bukan
seorang gitaris profesional yang tahu model gitar itu seharusnya seperti apa. Bukannya
saya tidak percaya diri, tapi saya lebih percaya dengan mereka yang lebih intens
menggeluti musik daripada saya. jadi dia lebih tahu apa yang dibutuhkan oleh seorang gitaris,” tambahnya.
Harus Ngotot dan Rapi
Tidak hanya bersaing di pasar dalam negeri, gitar Radix pun
telah merambah hingga Kanada dan Australia. Belakangan, Toien juga mendistribusikangitar
Radix ke pasar Eropa secara lebih serius. Menurutnya menembus pasar Eropa jauh
lebih mudah jika dibandingkan dengan pasar Asia, karena kebanyakan orang Asia
masih tidak mau membeli produk buatan Asia sendiri, kecuali produk-produk yang
dijual dengan harga yang murah. Harga satu gitar Radix di Eropa dijual dengan
harga sekitar 1000-1200 Euro atau sekitar 15-17 juta rupiah. Awalnya Toien mengira gitarnya tak akan laku jika dibanderol dengan harga yang
begitu tinggi, apalagi Radix adalah merek baru yang belum banyak dikenal di
Eropa. Namun distributor yang membantu memasarkan gitar Radix ke Eropa lebih
percaya diri. Mereka berhasil
meyakinkan Toien bahwa harga setinggi itu masih layak, karena proses finishing
gitar Radix masih mengandalkan tangan manusia. Produknya dinilai lebih halus dan sempurna dibanding gitar-gitar
pabrikan yang dijual
seharga 400-500 USD.
Apa yang membuat Toein begitu percaya diri jika gitar Radix mampu bersaing di
pasar internasional? Baginya,
siapa pun bisa membuat sebuah gitar dengan kualitas yang baik. Semua jenis
gitar, mulai dari yang mahal sampai yang murah, mempunyai teknologi yang tidak
jauh berbeda. Indonesia bisa menghasilkan gitar-gitar kelas dunia yang mampu
menyaingi merek-merek terkenal buatan Amerika maupun Jepang. Toien melihat
Indonesia memiliki sumber daya manusia yang mumpuni untuk ikut bersaing.
Baginya, tenaga kerja Indonesia memiliki kemampuan untuk menghasilkan produk
lokal dengan kualitas sejajar produk impor. Semuanya itu bisa dicapai jika SDM
yang ada melakukannya secara teliti, ngotot,
dan rapi.
“Indonesia memiliki orang-orang yang bisa mengerjakan itu
semua, dengan bayaran yang masih masuk akal. Kalau kita bicara di Amerika,
dengan bayaran setinggi itu, sebenarnya belum tentu bisa menghasilkan sebagus
yang kita bayangkan. Yang kita belum bisa sejajar itu hanya reputasi. Untuk
mendapatkan reputasi yang baik itu tidak mudah,” ungkapnya. Tetap bangga dengan
label made in Indonesia, ia yakin
mampu bertahan dan memiliki tempat di pasar dalam negeri maupun luar
negeri.
Konsistensi untuk membangun reputasi menjadi hal terpenting
baginya selama menjalankan bisnisnya. Ia mengungkapkan bahwa targetnya saat ini
bukanlah bagaimana menghasilkan uang sebanyak-banyaknya dari penjualan, tetapi
yang tersulit adalah menjaga konsistensi agar banyak orang melihat gitar
buatannya, buatan asli Indonesia, memiliki reputasi kelas dunia dan tidak lagi
dipandang sebelah mata. “Reputasi itu tidak dibangun secara instan, butuh
jangka waktu tertentu untuk menciptakannya. Saya percaya jika reputasi itu
dibangun pasti juga nantinya akan menghasilkan kok. Dulu ketika pertama kali memproduksi 50 buah gitar, hanya dua
yang terjual, sisanya reject, itu resiko,
tapi tetap saya tidak menyerah,” tambahnya.
Sebelum gitar Radix terlahir, sudah banyak gitar dibuat dari
tangan-tangan orang Indonesia, dengan atau tanpa nama merek Indonesia. Namun
mereka enggan untuk mengaku sebagai produk Indonesia. Mereka takut akan kalah
bersaing dengan merek-merek besar yang memang sudah sejak lama menguasai pasar
dalam negeri. Mereka takut produk lokal buatannya tidak akan dilirik oleh
konsumen Indonesia yang memang masih brand
minded. Toien Bernadhie ingin mendobrak pola pikir seperti itu. Ia ingin
memperlihatkan kalau orang Indonesia mampu dan seharusnya memiliki kebanggaan
atas apa yang telah mereka lakukan. Ketika ditanya kenapa ia berani melakukan itu? Dengan penuh keyakinan ia menjawab, “Saya
yakin, gitar buatan Indonesia itu laku, banyak disukai, dan saat ini saya
melihat mulai banyak produsen-produsen gitar lokal yang mulai berani muncul ke
permukaan. Tapi tetap kita tidak boleh kekurangan ide. Itu yang utama,” Pungkas Toien, penuh semangat.
*Artikel ini telah dimuat dalam rubrik Special Report majalah VOICE+ Vol 5edisi Desember 2012