Self publishing mampu menjadi alat untuk menjaga semangat
penulis pemula untuk terus berkarya, dan mengajak penulis menyelami seluk beluk
industri buku. Dewi Lestari pernah menerbitkan serial pertama buku
Supernova-nya melalui jalur self publishing. Dan masyarakat luas pun
mengapresiasi Supernova sebagai buku berkualitas. Karena itu, ia kurang sepakat
bila self publishing dijadikan ukuran rendahnya mutu buku seseorang.
Berikut hasil wawancara singkat saya melalui email dengan
Dewi Lestari mengenai pengalamannya menyelami seluk beluk industri penerbitan
buku melalui jalur self publishing.
Artikel ini pernah dimuat di majalah VOICE+ Vol 2 edisi September 2012.
Apa yang melatarbelakangi anda
banyak menulis buku tentang sebuah “pencerahan”?
Untuk menulisnya sendiri sudah hobi dari kecil. Tapi saat
saya menuliskan Supernova pada tahun 2000, itu memang didorong oleh peristiwa
pribadi yang terjadi pada hidup saya. Singkat kata, Supernova adalah refleksi
dari perjalanan spiritualitas saya.
Bisa diceritakan latar belakang anda menerbitkan novel secara self
publishing?
Keputusan saya self
publishing sebetulnya seperti “kecemplung”. Waktu itu saya tidak begitu percaya diri bahwa Supernova akan
diterima penerbit. Sementara saya ingin menerbitkan Supernova menjadi buku
sebagai hadiah ulang tahun saya yang ke-25. Jarak antara manuskrip selesai ke
ultah saya hanya 4 bulan. Saya pikir itu
terlalu mepet untuk dibawa ke penerbit karena ada resiko harus antre dan
sebagainya. Jadi, saya putuskan untuk menerbitkannya sendiri.
Lalu bagaimana dengan terbitan sesudahnya?
Selebihnya sih karena sudah terlanjur menjalankan saja.
Setelah terasa kerepotan baru saya melirik kerjasama dengan penerbit lain.
Sebelum anda meluncurkan novel pertama Supernova: Ksatria, Puteri, dan
Bintang Jatuh, apakah pernah menawarkan naskah awal ke penerbit?
Saya nggak sampai
menawarkan ke penerbit saat itu.
Bagaimana anda memandang banyaknya penulis yang menerbitkan karya
melalui self publishing?
Menurut saya, jalur self
publishing adalah jalur alternatif yang baik. Tentu ada resiko dan
konsekuensi sendiri. Tapi jika hanya bersandar pada kesempatan yang dibuka oleh
penerbit-penerbit besar, menurut saya itu juga akan meredam kreativitas dan
semangat kepenulisan.
Dari pengalaman anda, syarat apa saja yang harus dipenuhi untuk
menerbitkan karya melalui jalur self publishing?
Sebagai catatan, karya saya yang murni self publishing sebenarnya hanya satu, yakni Supernova episode
pertama. Pada Akar, Petir, dan Filosofi Kopi, saya sudah bekerja sama dengan
penerbit lain. Saya masih memproduseri, tapi sudah ada penerbit yang mem-back up saya. Untuk self publishing sendiri tentunya yang dibutuhkan adalah modal
(tergantung bukunya laku atau tidak, semakin laku, otomatis modal cetak yang
dibutuhkan lebih besar lagi). Lalu SDM, yakni staf atau orang-orang yang
menjalankan produksi, pengecekan ke distributor, promosi, dan hal-hal
administratif lainnya.
Apa strategi yang harus dimiliki penulis pemula jika ingin menerbitkan
karyanya melalui jalur self publishing?
Memiliki semua yang saya sebutkan di atas. Self publishing sangat tergantung dari
animo pembaca yang menyambutnya. Jika sambutannya sederhana, maka penerbitan
bukunya pun bisa sederhana, bahkan mungkin bisa dijalankan sendirian oleh
penulisnya. Semakin bukunya bergaung dan diminati secara luas, sistem kerja dan
modal yang dibutuhkan juga akan semakin kompleks. Jadi minimal si penulis harus
mengecek betul kesiapannya: modal, SDM, tekad, dan kesiapan untuk repot.
Apa sisi positif dan negatif bagi penulis jika memilih self publishing?
Positifnya, penulis memiliki kendali yang lebih luas, sistem
yang otomatis lebih transparan, dan banyak pengalaman bermanfaat. Tantangannya,
lebih repot, energi dan fokus terkuras, bisa-bisa akan kehabisan tenaga untuk
menulis buku berikutnya, dan kemungkinan rugi secara finansial.
Bagaimana dengan pengalaman anda sendiri?
Yang saya rasakan juga kurang lebih sama. Dengan pernah
menerbitkan sendiri, saya jadi paham betul proses produksi dan cara kerja
industri perbukuan itu seperti apa. Repotnya juga banyak, antara lain saya
harus mengurus staf, administrasi, dan
banyak hal-hal teknis lain yang menguras energi.
Bagaimana anda melihat masa depan self publishing di Indonesia?
Entah ke depannya. Yang jelas, sekarang ini semakin banyak
mitra-mitra independen untuk menerbitkan buku, terutama dengan adanya sistem Print On Demand (POD), yang bisa
membantu penulis untuk tidak terbebani dengan modal cetak yang besar di awal
proses menerbitkan buku. Begitu juga dengan perkembangan buku digital. Rantai
antara penulis dan pembaca semakin pendek karena tidak lagi harus berurusan
dengan toko buku fisik, distribusi fisik dan lain-lain. Jadi pasti akan ada
perkembangan yang menarik.
Ada saran bagi penggemar anda yang ingin menjadi penulis?
Berani gagal, berani memiliki karya yang tidak selesai,
berani mencoba lagi, dan berani menghadapi kesuksesan. Semuanya itu memiliki
konsekuensi. Yang jelas, menulislah apa yang kita suka. Tulislah buku yang
ingin kita baca.
terimakasih info nya sangat bermanfaat, jangan lupa kunjungi kami http://bit.ly/2wFUPf3
ReplyDeleteKeren...
ReplyDeleteMakasih banyak atas wawancaranya