Self Publishing bukan
fenomena baru penerbitan buku di negara-negara maju. Namun anehnya di negeri
ini kurang mendapat harga. Haruskah berkarya itu spektakuler seketika?
Tasya Agustina tak mampu menyembunyikan perasaan kecewa saat
penerbit lokal enggan menerbitkan naskah novel yang diajukannya. Spontan
mahasiswi jurusan Teknologi Informasi semester akhir di Institut Teknologi
Harapan Bangsa (ITHB) Bandung, Jawa Barat, itu tak mampu mengembangkan senyum
yang biasa menghiasai wajahnya. Maklum, penolakan itu memaksa Tasya menunda
cita-citanya untuk memiliki novel berbahasa Inggris yang ditulisnya sendiri
selama tiga tahun belakangan.
Alasan penerbit lokal menolak novel fiksi tentang dunia
supranatural dan konspirasi berjudul Chronicles
of The Fallen: Rebellion sangat sederhana. “Kami belum berani menerbitkan
novel dalam bahasa Inggris. Kalau mau,
kamu harus menerjemahkannya dulu dalam bahasa Indonesia lalu kirim ke kami
lagi,” tutur salah seorang anggota redaksi kepada gadis itu.
Penolakan itu tidak lantas membuat penulis yang memiliki
nama pena Aya Lancaster itu kehilangan asa. Print
out dan flash disk berisi draf
naskah novelnya itu pun dibawa pulang. Ia bergeming dengan saran penerbit untuk
mengubah naskah ke dalam bahasa Indonesia. Alasannya, Aya merasa lebih nyaman
menulis menggunakan bahasa Inggris ketimbang bahasa Indonesia. Menurutnya,
menulis novel dengan bahasa Indonesia memiliki tingkat kesulitan yang lebih
tinggi, dan sebagai penulis pemula, dia tidak memiliki latar belakang sastra
Indonesia yang baik. Sejak duduk di bangku sekolah menengah pertama, Tasya
sudah terbiasa membaca novel berbahasa Inggris. Kebiasaan itu pula yang
membuatnya memiliki kemampuan lebih dalam menulis cerita dalam bahasa Inggris.
Memilih bergeming dengan naskah berbahasa Inggris, Tasya
sadar dia harus terus memupuk harapan agar bisa menemukan penerbit besar yang
bersedia menerima naskahnya. Ia pun tak surut langkah mengajukan kembali
manuskrip novelnya ke penerbit besar lainnya. Bahasa menjadi kendala, tak pelak
kali ini jawaban penerbit pun tak banyak berbeda. Tasya disarankan agar mengajukannya
ke penerbit luar negeri. Redaksi penerbitan berdalih, hampir semua penerbit
lokal kesulitan memasarkan buku berbahasa asing di Indonesia.
Penolakan kali ini memang bernada lebih halus. Tapi tak
urung membuat Tasya menarik nafas panjang. Rupanya butuh kesabaran ektra untuk
merintis jalan menjadi penulis pemula. Mencari penerbit asing yang bersedia menerbitkan naskahnya disadari
oleh Tasya bukan perkara mudah. Namun
setelah menolak pilihan pertama, tak ada lagi pilihan tersisa selain mengikuti
pilihan kedua.
Banyak jalan menuju Roma. Begitulah kira-kira pepatah ini
telah bekerja merajut asa. Dalam keadaan bingung, secara tidak sengaja Tasya
melihat sebuah iklan di internet tentang AuthorHouse,
sebuah perusahaan penyedia layanan self
publishing. Akhirnya, Tasya memutuskan untuk menerbitkan sendiri novel
pertamanya dengan bantuan AuthorHouse.
Tidak lama setelah melalui proses komunikasi dan diskusi dengan pihak redaksi,
novel ‘Chronicles of The Fallen:
Rebellion’ diterbitkan dan dijual di beberapa toko buku online, seperti amazon.com, ebay.com, dan
Barnes and Noble, toko buku tertua di
Inggris.
Mendobrak Ritme
Konvensional
Sebenarnya, trend self
publishing ini bukanlah satu hal yang baru. Di negara-negara maju seperti
Amerika dan Inggris, trend ini telah mewabah sejak beberapa tahun lalu. Menurut
Publisher Weekly,dalam sejarah
penerbitan buku di dunia, sepanjang tahun 2008 tercatat sebanyak 289.729 judul
buku telah diterbitkan melalui cara self
publishing dan mengalami peningkatan menjadi 764.448 judul buku pada tahun
2009.
Self Publishing
menjadi sebuah trend pendobrak kekakuan dalam dunia penerbitan buku. Dalam era
konvensional, banyak orang berpikir bahwa untuk menerbitkan sebuah buku,
seorang penulis hanya bisa bekerja sama dengan penerbit-penerbit besar,
tentunya setelah melalui berbagai proses seleksi naskah yang ketat. Artinya,
jika sebuah karya itu ingin diterbitkan, maka isi naskah harus sesuai dengan
pandangan bisnis si penerbit.
Kini eranya telah berubah. Saat ini, self publishing mulai populer dan diminati. Setiap orang memiliki
kesempatan yang sama untuk menjadi seorang penulis terkenal. Secara mandiri,
setiap orang bisa menerbitkan dan mempublikasikan karya tulisnya. Sebuah usaha mandiri dengan melakukan
kegiatan publikasi di luar ritme konvensional.
Bagi penulis
yang memilih self publishing, ia tidak perlu mengirim draft naskahnya ke penerbit
konvensional. Ia cukup me-layout,
mendesain, mencetak, dan mendistribusikan sendiri hasil karyanya. Kendatipun
mandiri, penulis bebas bekerja sama dengan editor, desainer grafis, maupun
distributor. Semua bebas sesuai dengan kemauan kreatif penulis tanpa perlu
terpengaruh oleh siapapun.
Banyak manfaat positif yang diperoleh sejumlah penulis saat
mereka merintis karir menjadi penulis debutan melalui jalur self publishing.
Setidaknya, hal itu disampaikan Dewi Lestari, penulis serial novel Supernova.
Meski memiliki resiko dan konsekuensi sendiri, Dee menilai self publishing masih lebih baik bagi penulis dibanding
menggantungkan harapan kepada sejumlah penerbit besar, yang justru bisa meredam
kreativitas dan semangat kepenulisan. Apa yang dikatakan Dee berarti penulis
lebih baik berpaling ke self publishing
saat karya ditolak oleh penerbit mainstream.
Dengan cara itu, seorang penulis terus berkarya, menyerap masukan, dan
mendengar kritikan pembaca. Penulis yang bergumul dan berkelindan dengan prosef
kreatif seperti itu akan memiliki kesempatan luas menghasilkan karya besar.
Selain Tasya, saat ini banyak penulis pemula yang memutuskan
untuk menerbitkan karyanya sendiri tanpa harus mengandalkan penerbit besar.
Lutfi Retno Wahyudyanti, termasuk di antaranya. Penulis sekaligus pegiat LSM di
Yogya ini berhasil menerbitkan novel pertama berjudul “Para Pemuja Matahari”
secara mandiri atau self publishing.
Lutfi memilih keluar dari ritme konvensional dalam menerbitkan karya karena
dilandasi rasa keingintahuannya memiliki penerbitan buku.
“Saya suka mencoba hal baru dan ini menyenangkan. Selain
itu, saya merasa sayang kalau buku yang saya kerjakan dengan sungguh-sungguh
hanya jadi barang dagangan penerbit besar karena mereka punya banyak sekali
buku lain. Akhirnya saya memilih membongkar tabungan untuk menerbitkan “Para
Pemuja Matahari”,” ungkap Lutfi.
Sebelumnya, Lutfi pun pernah mengalami pengalaman pahit yang
tidak jauh berbeda dengan apa yang dialami oleh Tasya. Ia pernah mencoba mengirimkan
naskah novelnya ke penerbit besar, tetapi ditolak. Lutfi menilai penolakan
tersebut wajar lantaran draf pertama dan kedua yang dikirimkannya masih jauh
dari kelaikan terbit. “Waktu itu saya mengirim dengan harapan mendapat komentar
atau saran perbaikan dari editor ahli. Sayang, naskahnya hanya dikembalikan
tanpa catatan,” tambahnya
kemudian. Sikap penerbit itu membuat lutfi kecewa karena bagi dirinya komentar
maupun koreksi penting sebagai pembelajaran.
Seorang penulis sehebat Dewi Lestari pun menyimpan kisah
saat mengawali karir sebagai penulis dengan menempuh jalur self publishing. Itu terjadi saat Dee menerbitkan manuskrip perdana
“Supernova”. Saat itu, ia tak begitu percaya diri bahwa “Supernova” akan
diterima oleh penerbit besar. Apalagi waktunya terbilang mepet. Jarak antara
selesainya penulisan naskah dengan ulah tahun Dee hanya empat bulan. Jelas tak
cukup untuk menunggu terbitnya buku yang membutuhkan waktu berbulan-bulan.
Sementara, ia ingin sekali menerbitkan “Supernova” menjadi buku sebagai hadiah
ulang tahun ke-25 untuk dirinya sendiri. “Tujuan saya self publishing waktu itu sangat sederhana, yaitu menghadiahi diri
sendiri kado ulang tahun berupa buku. Saya nggak
peduli bakal laku atau tidak, jadi tenar atau tidak,” jelas Dee.
Ketatnya Seleksi
Penerbit Konvensional
Penerbit-penerbit konvensional memang menerapkan proses
seleksi yang ketat terhadap naskah-naskah yang akan diterbitkan. Ada syarat
umum yang harus dipenuhi oleh setiap penulis jika karyanya ingin diterbitkan.
Vincentius Sugeng Hardoyo, pemimpin redaksi PT. Elex Media
Komputindo, mengatakan bahwa setidaknya ada empat syarat yang menjadi dasar
penilaian redaksi terhadap sebuah naskah yang akan diterbitkan. Pertama, soal tema utamanya, apakah
tema dari naskah tersebut sedang populer atau tidak. Kedua, mengenai historis penjualan buku dari tema sejenis.
Terkadang tema yang diangkat memang populer, tetapi ternyata hasil penjualannya
tidak bagus. Ketiga, tentang kedalaman
dari materinya itu sendiri. Apakah cenderung ringan atau terlalu detail. Keempat, soal cara penyajiannya dan gaya
bahasa. Buku yang diminati oleh pembaca umum biasanya buku yang menggunakan
bahasa yang praktis dan populer.
Lamanya proses penilaian untuk tiap jenis buku pun
berbeda-beda. Untuk buku tentang teknologi paling cepat satu minggu. Sedangkan
untuk jenis buku manajemen dan novel dibutuhkan sekitar satu bulan karena
naskahnya perlu dibahas secara detil, dari awal hingga akhir.
Setelah melewati proses penilaian, naskah kemudian diedit
dari sisi pengetikan, ejaan, tata bahasa, dan sebagainya. Proses ini penting
untuk mengetahui apakah konten dari sebuah naskah itu layak atau tidak untuk dikonsumsi
oleh pembaca. Proses editing memakan waktu sekitar 1-2 minggu. Setelah editing,
kemudian masuk proses lay out. Proses lay out memakan waktu sekitar dua minggu.
Setelah selesai lay out, naskah sudah menjadi bentuk proof yang akan diperiksa lagi oleh redaksi. Ketika redaksi sudah
menyatakan tidak ada kesalahan, maka proof
tersebut bisa langsung naik cetak. Jadi, waktu yang dibutuhkan penerbit untuk
bisa menerbitkan sebuah buku
hingga siap untuk dijual di toko memang cukup lama, sekitar 2-3 bulan.
Publish Your Dream
Memilih jalur self
publishing bukan berarti membuat segala sesuatunya menjadi lebih mudah.
Menerbitkan buku bukan perkara mudah walaupun penulis memiliki kontrol penuh
terhadap nasib karyanya, tanpa harus bergantung kepada penerbit besar. Penulis
yang memberanikan diri untuk melakukan self publishing biasanya memiliki modal yang cukup kuat dan memiliki jaringan
yang luas untuk kepentingan promosinya, selain pentingnya keyakinan bahwa
bukunya akan laku keras.
Lalu bagaimana dengan penulis-penulis muda yang belum
berpengalaman dalam menerbitkan sebuah buku? Bagaimana dengan penulis yang
tidak memiliki cukup dana untuk menerbitkan karyanya?
Dengan maraknya tren menerbitkan buku secara mandiri, maka
bermunculan pula perusahaan-perusahaan yang menyediakan pelayanan self publishing, secara gratis ataupun
berbayar. Apa yang dilakukan Tasya Agustina bisa menjadi salah satu solusi yang
layak untuk ditiru. Untuk menerbitkan novel Chronicles
of The Fallen: Rebellion, Tasya memilih bekerja sama dengan AuthorHouse.
AuthorHouse merupakan sebuah perusahaan penerbitan di
Inggris yang melayani jasa self
publishing (self publishing company).
Dalam website-nya, AuthorHouse
menyediakan beberapa paket penerbitan, mulai dari paket seharga 499 sampai
1.499 poundsterling (sekitar 7 juta-21 juta rupiah), tergantung dari format
buku seperti apa yang diinginkan oleh si penulis. Tidak hanya menerbitkan,
AuthorHouse juga mengurusi masalah promosi dan distribusi di beberapa negara
seperti Inggris dan Amerika Serikat.
Di dalam negeri pun bermunculan perusahaan penerbitan
sejenis AuthorHouse, salah satunya adalah nulisbuku.com. Menariknya,
nulisbuku.com tidak membebankan biaya awal kepada penulis, alias gratis. Setiap keuntungan yang berasal dari penjualan
buku akan dibagi dua, untuk penulis dan penerbit. Jadi penulis tidak akan
dibebankan biaya awal yang terlalu besar untuk menerbitkan buku.
Aulia
Halimatussadiah, salah satu pendiri nulisbuku.com, menjelaskan bahwa ide awal menekuni
bisnis jasa pelayanan self publishing adalah untuk menjadi alternatif
penerbitan mandiri di Indonesia, agar memudahkan penulis-penulis baru dalam
menerbitkan karyanya. Dengan begitu produktivitas menulis di kalangan anak-anak
muda akan semakin meningkat.
Seperti self publisher
pada umumnya, nulisbuku.com menggunakan sistem kerja yang disebut print on demand (POD). Artinya jumlah
buku yang dicetak hanya berdasarkan jumlah pesanan yang ada, tanpa ada stock
cadangan buku di gudang. Setelah pemesanan, butuh kira-kira 10 hari untuk
melakukan proses cetak, post-press
dan pengiriman sampai ke tangan si pemesan. Sistem inilah yang membedakan
sebuah self publisher dengan penerbit
konvensional.
Selain sistem POD, hal apa yang benar-benar membedakan
nulisbuku.com dengan penerbit konvensional? “Karena mereka melakukan investasi
di setiap buku yang diterbitkan, setiap penerbit konvensional pasti menyaring
naskah yang masuk. Apakah sesuai dengan idealisme mereka atau apakah
benar-benar bisa menjual. Sedangkan nulisbuku.com tidak ada filter sama sekali. Setiap orang yang
memiliki naskah tinggal upload saja
ke kita, kalau ada yang beli baru dicetak. Jadi ini benar-benar seperti ajang
latihan bagi penulis muda untuk mulai berani menerbitkan naskahnya,” ungkap
wanita yang akrab disapa Ollie ini.
Lalu bagaimana cara menerbitkan buku di nulisbuku.com?
Setiap penulis yang memiliki naskah bisa mendaftar terlebih dahulu secara
gratis di situs nulisbuku.com. Setelah mendaftar mereka akan diberikan template yang berguna untuk mengirimkan
naskah secara online ke redaksi.
Sebelum dikirimkan, template itu harus diubah formatnya ke dalam bentuk jpg.
Naskah yang dikirimkan harus disertakan dengan data diri si penulis naskah dan
rencana jumlah halaman buku yang akan diterbitkan.
Setelah itu, nulisbuku.com akan memberitahukan harga jual
buku dan royalti yang akan diterima oleh penulis. Uniknya, dalam proses ini
penulis bisa ikut menentukan berapa besarnya harga jual buku dan royalti.
Persentase yang biasanya digunakan dalam menentukan royalti adalah 60% untuk
penulis, 40% untuk penerbit. Persentase royalti tersebut masih berada di atas
angka yang umumnya digunakan oleh penerbit konvensional, yaitu sebesar 10%.
Setelah melewati proses tersebut, kemudian masuk dalam
proses proof read. Pihak
nulisbuku.com akan mencetak satu sample
buku yang akan dikirimkan ke penulis untuk diperiksa secara detil mengenai
penulisan, desain, cover, sampai soal
tata letak. Setelah semua sesuai dengan keinginan, penulis bisa memberikan
persetujuan (approval) kepada pihak
redaksi bahwa buku ini siap untuk diiklankan di website nulisbuku.com dan siap untuk dijual.
Menghargai Proses
Kendati Self
Publishing merupakan alternatif bagi para penulis, namun tak lantas mereka bisa terbebas dari resiko dan
konsekuensi. Salah satunya kemungkinan berupa rendahnya respon dari pasar atau
calon pembeli. Hal itu bisa terjadi sebagai ekses dari anggapan miring, yang
menganggap buku produk self publishing
kurang berkualitas karena ditolak oleh penerbit besar. Selaku pendiri jasa layanan
self publishing, Ollie tak merasa
risau. Ia mengajak para penulis untuk terus berkarya agar mampu menghasilkan
karya yang spektakuler. Menurutnya, sikap positif itu efektif untuk menghapus
kesan miring atas karya self publishing.
“Saya menghargai proses, bahwa tidak semua penulis bisa
langsung menghasilkan karya yang spektakuler. Jadi memang ada proses-prosesnya.
Latihan dan banyak menerbitkan hasil
karya bisa meningkatkan kemampuan menulis menjadi excellent dan kemudian layak untuk diterbitkan secara major,” ungkap Ollie menanggapi komentar
miring terhadap self publishing.
Menjadi seorang penulis handal tentu bukan suatu hal yang
bisa diraih secara instan. Butuh proses bagi seseorang untuk meningkatkan
kemampuan menulisnya. Menurut pengalamannya sebagai seorang penulis buku, Ollie
mengatakan bahwa penulis itu harus terus melatih kemampuan menulisnya dan
senang ketika karyanya mendapat apresiasi. Dengan menulis dan diapresiasi,
seseorang akan lebih bersemangat untuk mengeluarkan karya-karya berikutnya yang
mungkin saja akan lebih baik.
Mungkin kita bisa menyepakati apa yang dikatakan oleh Dee. Self Publishing bisa menjadi jalur
alternatif yang baik bagi penulis-penulis muda untuk membangkitkan kreatifitas
dan semangat menulis, tanpa harus bersandar pada kesempatan yang dibuka oleh
penerbit-penerbit konvensional. “Berani gagal, berani mencoba lagi, dan berani
menghadapi kesuksesan. Semuanya itu memiliki konsekuensi. Yang jelas,
menulislah apa yang kita suka. Tulislah buku yang ingin kita baca,” Ungkap Dee.
Kalau tidak mencoba menerbitkan karya-karya kita sendiri,
bagaimana kita bisa mengetahui kesalahan dan potensi diri sebagai seorang
penulis?
*Artikel ini telah dimuat dalam rubrik Special Report majalah VOICE+ Vol 2 edisi September 2012)*
kabar yg bagus bang kris... Makasi ya.
ReplyDeleteMakasih ya Bang, informasinya sgt bermanfaat!
ReplyDelete