Berawal dari konsep
yang sederhana, PLTMH (Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro) bisa menjadi ‘senjata’ dalam memberdayakan masyarakat
desa.
“Ayo kalian ikut mobil saya saja. Kita berangkat bersama ke
Cinta Mekar, masih muat toh
mobilnya,” seru pak Odius kepada saya dan Riki yang sedang sibuk membenahi tas
kameranya agar air hujan tak mudah masuk. Kami segera mengiyakan sambil
berjalan ke arah mobil Toyota Innova berwarna hitam yang diparkir di depan rumah
singgah milik Institut Bisnis dan Ekonomi Kerakyatan (IBEKA) . Bangunannya cukup
besar, pekarangannya luas. Hampir setiap akhir pekan rumah tersebut digunakan
oleh seluruh staff IBEKA sebagai tempat berkumpul untuk membicarakan berbagai
persoalan terkait program pemberdayaan masyarakat yang sedang mereka jalankan.
Secara kebetulan, saya bertemu dengan Pak Odius di rumah
itu. Ia adalah seorang kontraktor yang berasal dari Papua. Ia datang ke IBEKA
bersama adiknya, dengan maksud untuk mengetahui seluk beluk teknologi yang
digunakan dalam pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro. Rencananya,
ia ingin membangun sebuah pembangkit listrik skala kecil dengan mengandalkan
aliran sungai yang ada di desanya. Selama bertahun-tahun desanya belum memiliki jaringan listrik dari
Perusahaan Listrik Negara.
Dari desa Cicadas kami berangkat menuju Pembangkit Listrik
Tenaga Mikro Hidro yang terletak di desa Cinta Mekar, kecamatan Sagalaherang,
Kabupaten Subang, Jawa Barat. Jaraknya
tidak terlalu jauh, sekitar 10 menit berkendara menggunakan mobil. Sepanjang perjalanan
saya banyak bertanya mengenai hal-hal teknis yang berkaitan dengan sistem kerja
pembangkit listrik kepada dua staff IBEKA yang ikut menemani, Christianto dan
Gunawan.
Mereka telah bertahun-tahun bergabung bersama IBEKA,
menjalankan puluhan program pembangunan pembangkit listrik di desa-desa. Dari desa
di pedalaman Aceh hingga ke Papua sudah pernah mereka datangi. Sebagai staff
IBEKA yang terhitung senior, Christianto dan Gunawan memiliki spesialisasi dan tugas yang sangat
diandalkan. Dalam sebuah proyek pembangunan pembangkit, Christianto selalu
mendapat tanggung jawab di bidang konstruksi yang berkaitan dengan pemasangan
generator dan turbin. Sedangkan Gunawan merupakan salah satu anggota tim sosial
IBEKA yang tugasnya berhubungan dengan pemberdayaan dan pengkondisian
masyarakat suatu desa sebelum proyek pembangunan pembangkit listrik berjalan.
“Pembangkit listriknya ada di sebelah sana, pak. Tepat di
belakang bangunan itu. Nanti kita dapat melihat aliran sungai Ciasem dari
situ,” ucap Gunawan kepada kami semua yang ada di dalam mobil sambil menunjuk
ke arah sumber suara air mengalir yang terdengar sayup. Jalan menuju area
pembangkit listrik tidak terlalu lebar. Mobil yang kami tumpangi pun harus
berjalan pelan untuk menghindari lubang
di sepanjang jalan. Sempat satu kali ban mobil tergelincir di bagian jalan yang
masih berupa tanah. Hujan mengguyur kota Subang tanpa henti, mengubah sebagian
jalan menjadi berlumpur.
Sesampainya di sana, saya langsung diajak mengelilingi
pembangkit listrik oleh Christianto. Letaknya tepat di pinggir sungai Ciasem.
Ia Ia menerangkan secara detil bagaimana
aliran air sungai Ciasem bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat desa Cinta Mekar. Awalnya, air
dari sungai dibendung, kemudian dialirkan melalui parit. Kira-kira 400 meter
dari bendungan, sebagian air dialirkan ke dalam bak penampungan dan sebagian
lagi dialirkan untuk keperluan irigasi.
Air dalam bak penampungan kemudian di saring dan dialirkan
ke dalam bak penenang. Bak penenang berfungsi untuk menenangkan air agar tidak
terjadi kumparan air bisa menyebabkan turbin bekerja tidak efisien. Air dalam
bak penenang kemudian dialirkan dari ketinggian 18,6 meter melalui penstock-dua pipa besar sepanjang 55
meter dan berdiameter 580 mm- menuju power
house.
Di dalam power house
terdapat dua turbin dan satu generator. Aliran air dalam penstock membuat putaran pada turbin, kemudian turbin menggerakan
generator yang berfungsi untuk mengubah energi mekanik menjadi energi listrik. “Putaran
dua Turbin ini nantinya akan menggerakan generator berkapasitas 160 Kva yang
bisa menghasilkan listrik maksimal 120 kilowatt. Listrik tersebut akan disimpan
dalam sebuah control panel sebelum
dijual ke PLN, sisanya bisa dialirkan ke rumah-rumah warga yang tak sanggup membeli
listrik dari PLN. Sesederhana itu prosesnya,” jelas Christianto.
***
Pembangunan
Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PMLTH) Cinta Mekar menghabiskan dana
sebesar 225 ribu dolar AS. Untuk mewujudkan proyek ini, United Nations Economic
and Social Commission for Asia and the Pacific (UN-ESCAP) memberikan dana hibah
sebesar 75 ribu dolar. Sementara, IBEKA mengeluarkan jumlah yang sama
untuk kepentingan diseminasi dan
fasilitas training. Sisanya, berasal dari investasi PT Hidro Piranti. dibangun
dari dana hibah keberhasilan IBEKA mendapatkan dana hibah dari sebesar 75 ribu
dolar AS. Separuhnya lagi berasal dari investasi PT Hidro Piranti. Pada 17
April 2004, pembangkit tersebut akhirnya diresmikan oleh Menteri Pertambangan
dan Energi Purnomo Yusgiantoro.
Meski
telah memiliki pembangkit sendiri, namun pasokan listrik sebagian besar warga
Cinta Mekar untuk menjalankan rutinitas sehari-hari tetap berasal dari PLN. Seluruh
hasil produksi PLTMH Cinta Mekar dimasukkan ke jaringan PLN, dan dijual dengan
harga Rp 432,00 per Kwh. Setelah beroperasi, PLTMH ini menerima pemasukan
sebesar sekitar Rp 25 juta per bulan. Setelah dikurangi dengan biaya operasional,
gaji operator, biaya pemeliharaan, dan bagi hasil dengan PT Hidro Piranti, maka
keuntungan bersih yang didapat mencapai 12 juta rupiah per bulan.
Beberapa tahun belakangan, jenis pembangkit dengan mengandalkan tenaga air skala kecil yang menghasilkan output di bawah 500 kilowatt telah menjadi andalan untuk memberikan pasokan listrik bagi daerah pelosok di Indonesia. Pada awalnya pembangkit mikrohidro dibangun guna menerangi desa-desa yang belum dialiri listrik, namun sejak tahun 1999 konsepnya berkembang. Puluhan pembangkit, termasuk yang ada di Cinta Mekar, diberdayakan untuk mendorong ekonomi mandiri masyarakat desa. Konsep tersebut lahir dari kepala seorang perempuan yang terkenal dengan julukan “Si Penerang Desa”. Dengan kegigihannya, ia berhasil membangun PLTMH di 78 desa terpencil dan mengajak masyarakatnya lebih mandiri secara ekonomi. Perempuan yang selalu tampil berjilbab itu bernama Tri Mumpuni.
Beberapa tahun belakangan, jenis pembangkit dengan mengandalkan tenaga air skala kecil yang menghasilkan output di bawah 500 kilowatt telah menjadi andalan untuk memberikan pasokan listrik bagi daerah pelosok di Indonesia. Pada awalnya pembangkit mikrohidro dibangun guna menerangi desa-desa yang belum dialiri listrik, namun sejak tahun 1999 konsepnya berkembang. Puluhan pembangkit, termasuk yang ada di Cinta Mekar, diberdayakan untuk mendorong ekonomi mandiri masyarakat desa. Konsep tersebut lahir dari kepala seorang perempuan yang terkenal dengan julukan “Si Penerang Desa”. Dengan kegigihannya, ia berhasil membangun PLTMH di 78 desa terpencil dan mengajak masyarakatnya lebih mandiri secara ekonomi. Perempuan yang selalu tampil berjilbab itu bernama Tri Mumpuni.
Bisnis
sosial berbasis kerakyatan, begitulah ia menyebutnya, merupakan kunci
keberhasilan pembangunan pembangkit listrik di banyak desa, termasuk Cinta
Mekar. Sejak awal masyarakat dilibatkan dalam pembangunan PLTMH. Tim sosial IBEKA
mendampingi dalam kegiatan sosial-kemasyarakatannya, mulai dari pencatatan data
awal, pembentukan koperasi, pembentukan kapasitas dan kepemilikan. Secara
teknis, pembangkit harus didesain secara sempurna selain faktor kemampuan organisasi
dari lembaga lokal harus benar-benar disiapkan.
Setelah
pembangkit berdiri, masyarakat tidak hanya tinggal diam dan menikmati hasilnya
saja. Mereka diberi pelatihan untuk mengelola seluruh perawatan pembangkit,
pengorganisasisan, hingga pola penagihan terhadap pelanggan. Seluruh proses
pengambilan keputusan misalnya mengenai alokasi pemasukan maupun penyusunan
klasifikasi penduduk yang berhak mendapat bantuan ditentukan oleh musyawarah
penduduk.
Dana
bantuan yang berasal dari penjualan listrik ke PLN dikelola oleh Koperasi Desa
Cinta Mekar untuk kemudian dimanfaatkan bagi kesejahteraan warga. Prioritas
penggunaan dana ditentukan melalui musyawarah. Umumnya masyarakat menginginkan pemasukan
desa digunakan untuk membiayai tarif listrik 122 rumah yang tak mampu, beasiswa
anak sekolah, pelatihan keterampilan kerja bagi anak-anak muda, penyediaan
sarana kesehatan, modal untuk keluarga miskin yang ingin membuka usaha, dan
pembangunan infrastruktur desa.
***
Sudah sekitar dua puluhan tahun ini Tri Mumpuni
mendedikasikan diri untuk memberdayakan masyarakat desa. Bersama suaminya,
Iskandar Kuntoadji, ia mempelopori pembangunan pembangkit listrik mikrohidro di
daerah miskin dan terpencil. Ide ini bermula dari sebuah perjalanan bersama
suaminya ke desa-desa yang belum terjangkau
listrik dari PLN. Mereka melihat, kekurangan itu bisa diakali dengan
memanfaatkan air terjun untuk menghasilkan listrik.
Menurut Perempuan kelahiran Semarang 6 Agustus 1964 ini,
listrik merupakan tulang punggung pembangunan ekonomi bangsa. Semua kegiatan
perekonomian bergerak dengan mengandalkan sumber daya listrik yang ada. Sejak
pertama kali ditemukan, listrik telah memberikan banyak manfaat dan kemudahan
bagi kehidupan manusia. Tidak bisa
dipungkiri jika seluruh aktivitas keseharian setiap orang saat ini pasti
membutuhkan listrik. Permasalahannya, tidak semua warga negara di Indonesia
mendapatkan akses yang sama terhadap sumber daya listrik.
“Mereka yang hidup di kota-kota besar mungkin tidak
menganggap listrik sebagai barang mewah. Mereka bisa mendapatkan listrik dengan
mudah. Tapi mereka tidak sadar di banyak daerah terpencil, ada orang-orang yang
memiliki kebutuhan dasar yang sama, namun tidak memiliki akses untuk
mendapatkan listrik. Saya rasa tidak adil jika di kota kita mudah mendapatkan
listrik, harganya disubsidi. Artinya dalam proses produksi untuk bisa
menghasilkan listrik, pemerintah turun tangan sedemikian rupa, padahal yang
menikmati orang-orang mampu. Kok sangat tidak adil ya kehidupan di Indonesia
ini,” ujarnya.
Sebenarnya ide untuk memanfaatkan potensi sumber daya alam
desa dengan membangun pembangkit listrik sudah dimulai lebih dulu oleh
suaminya. Sekitar tahun 1979, Iskandar Kuntoadji bersama aktivis mahasiswa ITB
lainnya mendirikan Yayasan Mandiri karena adanya peraturan dari pemerintah yang
melarang mahasiswa untuk berpolitik di dalam kampus. Masa-masa itu pemerintah
membubarkan segala bentuk organisasi Dewan Mahasiswa dengan mengeluarkan
kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kampus (NKK/BKK).
Tidak ada pilihan lain bagi mereka untuk mengabdi pada
rakyat selain bergerak di luar kampus, turun ke desa-desa dan membantu penerapan
teknologi sederhana dan tepat guna yang bermanfaat bagi kehidupan sehari-hari
masyarakat desa. Seiring berjalannya waktu, Yayasan Mandiri berkembang menjadi
ruang bagi setiap orang yang ingin berpartisipasi. Selepas lulus dari ITB,
Iskandar tetap menjalankan ide penerapan teknologi tepat guna dan mendirikan
IBEKA bersama Tri Mumpuni.
Sebelum Tri Mumpuni memutuskan untuk memusatkan seluruh
perhatiannya pada pembangunan desa terpencil bersama IBEKA, ia sudah lebih dulu
bekerja di salah satu lembaga sosial milik PBB yang mengurusi persoalan warga
miskin perkotaan. Tugasnya waktu itu adalah mencari dana untuk program
pemberdayaan masyarakat miskin di Jakarta dan memperbaiki rumah-rumah kumuh
lengkap dengan fasilitas MCK-nya.
Ternyata setelah beberapa lama terjun dalam program tersebut
tidak membuat Puni—demikian ia akrab disapa--merasa all out. Tembok besar menghalangi langkahnya. Seluruh energi,
pikiran dan segala daya upaya yang telah ia berikan tidak memberikan dampak
yang cukup signifikan untuk mengubah kehidupan masyarakat menjadi lebih baik.
“Di Indonesia ini kalau ingin membangun kota ada istilahnya money driven development. Pembangunan
yang ditentukan oleh arah orang yang punya uang. Contoh sederhana, awal tahun
1990-an di DKI Jakarta. Saat itu kami mencoba membangun daerah untuk permukiman
penduduk. Tiba-tiba ada investor yang tertarik ingin mendirikan sebuah pusat
perbelanjaan di kawasan itu. Dengan mudahnya, rencana awal berubah cepat. Jadi
siapa yang memiliki uang itulah aktor terkuat yang bisa merubah bentuk wajah
kota di Indonesia,” ungkapnya. Tidak lama setelah kejadian itu, Ia pun
memutuskan untuk berhenti.
Suatu hari, Puni melihat pekerjaan suaminya yang sering
pergi ke desa-desa, membangun jaringan listrik. Ia terperanjat begitu melihat
sebuah desa yang memiliki potensi yang luar biasa untuk dimanfaatkan, namun
tidak memiliki infrastruktur yang mendukung untuk mengembangkan potensi
tersebut. Bahkan jaringan listrik yang seharusnya disediakan oleh pemerintah
pun belum ada. Pada malam hari anak-anak harus menggunakan sumber penerangan
dari lilin atau lampu petromak untuk belajar. Ibu-ibu harus menggotong kayu
bakar dari hutan desa, berjalan puluhan kilometer, supaya mereka bisa
menyiapkan makanan untuk keluarganya.
“Lalu saya terpikir untuk ikut mengerjakan apa yang suami
saya kerjakan, membangun jaringan listrik di pedesaan. Nggak tahunya effort saya
itu malah lebih berlipat. Artinya, dia membuat konsep dan desain, tapi saya
yang ngotot ini harus terjadi.
Uangnya dari mana? Saya bilang, tidak usah dipikirkan. Kalau niat kita baik,
uang itu pasti akan datang dengan sendirinya,” tuturnya sambil tersenyum. Sesederhana
itu ia memulainya, tapi kemudian hal sederhana itu menjadi tekad yang luar
biasa.
Tahun 1991, Puni bersama sekelompok petani di desa
Curugagung, Subang, Jawa Barat, membangun proyek PMLTH pertama yang
menghasilkan listrik 13 Kilowatt dan menerangi sebanyak 121 rumah. Modal awal
44 juta Rupiah merupakan hasil urunan para petani dengan cara meminjam ke bank.
Sisanya dibantu oleh IBEKA. Suami Puni-lah yang membuatkan turbin. Pembangkit
listrik tersebut dikelola oleh seorang petani. Listrik yang dihasilkan kemudian
dijual ke semua tetangganya. Keuntungannya digunakan untuk membayar utang bank
dan pemasukan tambahan bagi si Petani.
***
Tiga tahun kemudian, karena pertimbangan politik dan ada
satu partai politik yang tidak pernah menang dalam pemilihan, akhirnya Bupati
memaksa PLN untuk masuk ke daerah itu. Begitu listrik PLN sudah masuk ke desa
itu, sebagain besar warga beralih membeli dari PLN. Akibatnya petani yang
ditugasi untuk bertanggungjawab dalam pengelolaan PMLTH di Curugagung wafat
terkena serangan jantung lantaran tak kuat bersaing dengan listrik dari PLN
yang harganya jauh lebih murah.
Puni dan suaminya tidak tinggal diam melihat hal itu. Selama
tiga tahun, mereka melobi Kementerian Energi agar PLN membeli listrik dari
pembangkit listrik yang dikelola oleh masyarakat desa. Tahun 1994, Iskandar
mengirimkan surat usulan kepada pemerintah, agar pemerintah memiliki kewajiban
untuk membeli listrik dari pembangkit-pembangkit skala kecil. Namun surat itu
tidak ditanggapi.
Puni tidak patah arang. Ia terus mendatangi orang-orang yang
memegang kebijakan terkait, termasuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang
saat itu masih menjabat sebagai Menteri Pertambangan dan Energi, dan
menjelaskan agar sistem pembelian listrik dari pembangkit mikro hidro
diterapkan di Indonesia. Usahanya baru membuahkan hasil setelah menjalani perjuangan selama 5 tahun
yang melelahkan. Pada Agustus 1999, untuk pertama kalinya dalam sejarah, PLN
membeli listrik dari rakyat. Sistem penjualan listrik ke PLN dan masuk jaringan
nasional tersebut diatur dalam Kepmen ESDM 1122 K/30/MEM/2002 tentang Skema
Pembangkit Listrik Kecil Teknologi Energi untuk Rakyat dengan Sumber Energi
Terbarukan. Dan Puni ikut membantu dalam merumuskan peraturan itu.
“Keinginan saya sederhana. PLN bersedia membeli listrik dari
rakyat. Jadi, saya ketuk pintu ruang Dirut PLN, saya datang ke kantornya setiap
hari, sampai semua yang ada di sana muak melihat muka saya. Saya tidak akan
berhenti datang, sebelum mereka menyetujui ide saya tersebut. I am a woman dan saya sabar menunggu
sampai bisa mendapatkan apa yang saya inginkan,” ujar perempuan yang
mendapatkan penghargaan Ashoka Fellow tahun 2006 berkat usahanya mewujudkan
sistem pembelian listrik dari pembangkit yang dimiliki oleh masyarakat di
desa-desa.
“Jika anda memperjuangkan sesuatu hal di Indonesia, maka
perlu konsistensi, fokus, dan memiliki endurance
yang kuat,” tambahnya.
***
Begitu peraturan disahkan, Puni bercita-cita agar seluruh
desa di Indonesia memiliki PLTMH sendiri, jadi masyarakat desa bisa memiliki
pemasukan untuk kas desanya. Baginya, PLTMH bisa menjadi alat yang powerful untuk menciptakan kesejahteraan
yang merata di seluruh Indonesia. Sejak berhasil membangun PLTMH Curugagung,
Puni bersama IBEKA melanjutkan misinya itu ke seluruh Indonesia.
Sudah 78 pembangkit yang berhasil dibangun dan 9 diantaranya
menghasilkan listrik untuk dijual ke PLN, salah satunya adalah pembangkit di
desa Cinta Mekar. Dalam setahun Puni bisa mengerjakan 2-5 proyek listrik
pedesaan. Dana yang dibutuhkan berkisar antara 1 sampai 10 miliar Rupiah,
tergantung dari seberapa besar kapasitasnya. Dana tersebut biasanya Puni dapat
dari hibah atau lembaga sosial luar negeri yang bersedia membantu.
Proses pembangunannya dijalankan secara mandiri tanpa
bantuan dari pemerintah. Dari mulai mencari desanya, merancang, dan menyiapkan
masyarakatnya. Masyarakat diwajibkan untuk koperasi atau lembaga semacamnya
sebelum proyek pembangkit berjalan karena nantinya kepemilikian pembangkit
berada di tangan masyarakat dan mereka juga harus ikut terlibat dalam proses
pembangunannya.
Dalam setiap proyeknya, Puni selalu membagi 2 tim kerja; tim
sosial dan tim konstruksi. Tim Sosial bertanggungjawab pada hal-hal yang
terkait dengan kemasyarakatan, sedangkan tim konstruksi bertugas membangun
pembangkit. Butuh waktu 6 hingga 9 bulan bagi tim sosial untuk mempersiapkan
masyarakat, menyadarkan kepada mereka betapa pentingnya membayar tarif listrik,
dan melatih mengoperasikan pembangkit. Membangun pembangkitnya sendiri
membutuhkan waktu 1 tahun.
“Proses seperti itu bisa terjadi kalau kita live-in. Tinggal bersama masyarakat.
Makanya konsep live-in itu menjadi
syarat mutlak untuk proses pembangunan yang kami jalankan. Saya tidak mau
menjalankan proses yang dijalankan oleh pemerintah. Mereka datang, membangun
dengan dana APBN, kalau rusak nanti
membangun lagi. Itu namanya proyek berkelanjutan, proyeknya selalu ada,
bukan pembangunannya. Seharusnya kan masyarakat juga dididik untuk bisa merawat
fasilitas yang sudah dibangun,” terang Puni.
***
Listrik hanya menjadi alat, karena tujuan akhir dari
kegiatan membangun yang Puni lakukan adalah memberikan akses yang sama terhadap
ekonomi dan informasi, yang berujung pada kemakmuran bagi siapapun. Begitu
masyarakat di pedesaan sudah memiliki listrik, yang dituju adalah bagaimana
caranya agar kegiatan perekonomian di desa itu bisa terus dilakukan sehingga
masyarakat mendapatkan income dan
kesejahteraan.
Puni menyebut konsepnya ini sebagai bisnis sosial, di mana
setiap individu yang terlibat melakukan kegiatan produktif yang disenangi
dengan kesungguhan hati. Jauh berbeda dengan kegiatan perekonomian yang Puni
rasakan di Indonesia saat ini, dimana kegiatan ekonomi yang terjadi kental
dengan unsur pengumpulan modal, mencari keuntungan, dan menyimpan
sebanyak-banyaknya. Bukan sebuah kegiatan yang digunakan untuk menciptakan
kemakmuran bersama-sama.
“Jika desa itu berhasil membangun sebuah pembangkit listrik
dengan kapasitas 1 MW saja, lalu listriknya dijual ke PLN, maka desa akan
memiliki pemasukan sebesar 300 juta rupiah per bulan. Anda bisa bayangkan desa
tersebut akan bisa berkembang seperti apa? Bisa membuat rumah sakit yang
terbaik, sekolah yang bagus, dan lain-lain. Itu mudah diwujudkan jika
pemerintah mau membuat aturan,” jelas Puni ketika ditanya kenapa ia tetap
bertahan bersama IBEKA selama bertahun-tahun.
Namun perjuangannya tidak mudah. Banyak hambatan yang harus
dilalui meski tujuan jelas untuk kemakmuran masyarakat Indonesia. Kini, banyak
lokasi yang memiliki potensi pembangkit listrik sudah dibeli oleh pihak swasta,
bahkan ada orang asing di belakangnya. Perusahaan swasta itu pun menjual
listriknya ke PLN. Uangnya? Jelas mereka yang menikmati, bukan masyarakat desa.
Hal inilah, yang menurut Puni, merupakan akar permasalahan dari lahirnya
kemiskinan. Kemiskinan terjadi karena masyarakat dipisahkan dari sumber daya
alam yang ada di sekitar lingkungan hidupnya.
“Dulu founding fathers
kita ingin negara ini dibangun atas asas gotong royong. Sekarang ini malah
berubah menjadi asas kapitalistik dimana orang berlomba-lomba mengakumulasi
modal sehingga seringkali mengorbankan aspek keadilan dan banyak juga
mengorbankan kepentingan orang lain. Atas dasar apa satu orang di negara ini
bisa menguasai sekian ratus ribu hektar hutan? Sementara rakyat mau bertani
saja tidak memiliki lahan. Global poverty
occured due to disconnection with the
local resources and local community,” pungkasnya.
***
Small step, but meaningful. Inilah yang selalu
menjadi keyakinan Puni dalam mewujudkan mimpi-mimpinya. Melangkah dengan penuh
keyakinan bahwa ia mampu berkontribusi menyejahterakan bangsanya sendiri.
Ketika Indonesia sedang mengalami krisis pemimpin yang bisa mengembalikan
kedaulatan ke tangan rakyat, sosok Puni bisa membantu kita mengingat kembali
apa yang sebenarnya dibutuhkan oleh rakyat Indonesia. Kebutuhan akan pemimpin
yang memiliki visi, memiliki orientasi “what
is the best for my people”, bukan “the
best for my family or for my group”.
“Semua rintangan bisa dihadapi. Saya rasakan sendiri,
bagaimana saya tidak memiliki resources
apa-apa, hanya keyakinan bahwa orang-orang di Sumba harus memiliki jaringan
listrik. Nah, ketika saya ke Eropa
untuk mencari bantuan dana, saya mendapatkan banyak kemudahan. Ketika pergi ke
Jepang, tiba-tiba saya bertemu dengan seseorang yang mau membantu menyumbang.
Semua tergantung seberapa besar keyakinan dan niat kita dalam membangun bangsa
ini,” tegasnya ketika akan mengakhiri wawacara.
Dalam sebuah artikel pendek yang berjudul “Surat Untuk
Generasi Muda Indonesia”, ia pernah menulis: Mimpilah seindah-indahnya, mulailah melangkah dengan langkah kecilmu,
tapi kamu harus cepat dan cekatan. Hidup tidak boleh dihabiskan hanya untuk
bicara saja, berangan-angan saja, namun lakukanlah sesuatu yang kongkret. Make
things happen. Bekerja keraslah, berdisiplinlah dan jadilah bagian dari bangsa Indonesia
yang berjaya dan berdaulat.
No comments:
Post a Comment