Sebagai penikmat film, saya mungkin akan sangat
berterima kasih kepada dua orang yang pernah ‘menyelamatkan’ muka perfilman
Indonesia. Beruntung Indonesia masih memiliki insan kreatif seperti Mira
Lesmana dan Riri Riza.
Tahun 2000, sebuah film drama musikal berjudul
Petualangan Sherina sukses membuka jalan bagi kebangkitan industri film
Indonesia, disusul film remaja yang cukup fenomenal Ada Apa Dengan Cinta?.
Kemudian pada tahun 2008 dan 2009, berturut-turut memproduksi film box office
nasinal, Laskar Pelangi dan Sang Pemimpi.
Setelah hampir beberapa tahun tidak terdengar namanya, duet sineas muda itu kembali mendobrak
perfilman Indonesia dengan menyuguhkan sesuatu yang berbeda. Merekam sepenggal cerita kehidupan di timur Indonesia yang kerap terlupakan.
Saya pernah membaca satu
artikel dari sebuah situs berita ternama Amerika Serikat. Saya tertarik untuk
membacanya karena artikel itu mengangkat sebuah film dari Indonesia. “It was the kiss. Lips to lips. Not a deep
hollywood smooch, but not a light brush either,” tulis Jane Perlez
mengawali artikelnya.
Artikel yang ditulis tahun 2002 oleh seorang Jurnalis The
New York Times itu bicara tentang sebuah film Indonesia yang sangat sensasional,
Ada Apa Dengan Cinta?.
“An attractive 16 years old Indonesian girl and her handsome boyfriend
kissing on screen in the Indonesian-made movie “Ada Apa Dengan Cinta?” helped
create the box office sensation in this predominantly Muslim Country,”
tulisnya di paragraf ke dua. Film itu memang sensasional, ditonton lebih dari
dua juta penonton bioskop, membuatnya tercatat sebagai
film yang berhasil mengajak penonton muda Indonesia kembali berkunjung ke bioskop.
Tidak hanya film yang
bertemakan soal cinta, tema politik pun tidak luput dari ide kreatif mereka. Seperti
kita lihat sekarang, tidak banyak sineas-sineas muda di Indonesia yang
melahirkan film dengan menggunakan latar belakang politik di Indonesia. Isu
politik Indonesia menjadi sebuah hal yang sangat sensitif untuk dibahas. Tidak
terkecuali persoalan lepasnya Timor Leste dari bagian republik ini. Film berbau
politik pasti mengalami proses sensor yang lebih ketat. Pemotongan adegan atau
bahkan dilarang tayang menjadi sebuah resiko yang mau tidak mau harus diterima
dengan lapang dada.
Inilah yang membuat banyak masyarakat perfilman enggan
membuat film semacam itu, selain karena film dengan bumbu persoalan politik
memiliki kemungkinan tidak laku lebih besar ketimbang film-film bertemakan
cinta dan misteri. Mungkin karena mayoritas penonton di Indonesia tidak terlalu
menyukai film yang sulit dicerna.
Lain cerita jika isu
politik jatuh ke tangan seorang Riri Riza dan Mira Lesmana. Isu semacam itu
mampu mereka suguhkan dalam sebuah film yang cukup menghibur dan mudah dicerna. Dengan kemampuan bertutur dan bercerita yang lugas, Riri sering tampil brilian melalui film-film garapannya. Mungkin kita masih ingat film GIE yang pernah ia buat dan diproduseri
oleh Mira Lesmana. Film dengan latar belakang politik Indonesia tahun 1966 itu
mampu menarik generasi muda untuk mengenal sosok Soe Hok Gie. Baginya, cara
yang paling unik dan metode kreatif yang baik untuk bercerita itu seperti membuat film
dokumenter. Diawali
dengan pengenalan karakter dari ketiga tokoh yang ingin diceritakan,
kemudian menulis skenario dan kemudian mefilmkannya.
Setelah tiga tahun absen
mempoduksi film layar lebar, mereka kembali menghadirkan sebuah karya dengan
latar belakang sejarah politik Indonesia, yang mungkin bagi sebagian orang
masih sangat sensitif untuk diangkat kembali ke permukaan.
Merekam Yang Terlupakan
Pertengahan Juli 2011, Riri Riza dan Mira Lesmana, bersama tim kecil yang mereka bentuk sedang menyelesaikan proses syuting sebuah film dokumenter di kota perbatasan Atambua, Kabupaten Belu, Pulau Timor. Atambua merupakan sebuah kota perbatasan antara negara Indonesia dengan Timor Leste, dimana pernah terjadi eksodus besar-besaran sekitar tahun 1999-2002. Pasca masa referendum 1999, kota ini menjadi tujuan pengungsian masyarakat Timor Leste yang memilih untuk tetap menjadi warga negara Indonesia.
Pertengahan Juli 2011, Riri Riza dan Mira Lesmana, bersama tim kecil yang mereka bentuk sedang menyelesaikan proses syuting sebuah film dokumenter di kota perbatasan Atambua, Kabupaten Belu, Pulau Timor. Atambua merupakan sebuah kota perbatasan antara negara Indonesia dengan Timor Leste, dimana pernah terjadi eksodus besar-besaran sekitar tahun 1999-2002. Pasca masa referendum 1999, kota ini menjadi tujuan pengungsian masyarakat Timor Leste yang memilih untuk tetap menjadi warga negara Indonesia.
Saat itu adalah kali
pertama mereka berdua menjejakan kaki di Pulau Timor, namun apa yang mereka
saksikan di sana meninggalkan kesan mendalam. Mereka menyaksikan pemandangan
alam yang menakjubkan, perbukitan hijau, perkampungan tradisional, dan
merasakan keramahan masyarakatnya, dibalik kemiskinan dan beragam cerita pahit
yang menghiasai latar belakang masyarakatnya. Kesan yang tak pernah mereka
dapatkan selama bertahun-tahun tinggal di Ibukota.
“Kisah-kisah
kehidupan di sana melekat di hati saya. Alamnya yang keras namun juga indah, kemiskinan,
keterpisahan keluarga, suara tawa anak-anak Timor yang sedang bermain bola, semua menyiratkan
harapan untuk hidup yang lebih baik,”
ungkap Mira. Ia telah jatuh cinta dengan Atambua, dengan berbagai kompleksitas
yang ada di dalamnya. Bagi dirinya, Atambua menyimpan banyak kisah-kisah
menarik, entah itu menyenangkan ataupun menyedihkan, yang layak untuk
diceritakan.
Suatu sore, Mira
mengutarakan sebuah ide kepada dua orang dari tim kecil-nya saat pembuatan film
dokumenter itu. Seorang line producer Toto Prasetyanto dan asisten sutradara
Rivano Setyo Utomo. Ide untuk membuat sebuah film layar lebar yang mengangkat
sepenggal kisah tentang Atambua. " Apakah mungkin jika kita membuat sebuah
produksi yang biayanya tidak terlalu besar, dengan kru yang kecil tetapi bisa menjadikannya sebagai
sebuah film layar lebar yang utuh?”
tanya Mira.
Ide ini disambut dengan antusias, terutama oleh Riri Riza. Riri sang sutradara menyanggupi untuk menggarap
naskah ceritanya, walaupun sejak film ELIANA,
ELIANA dan GIE ia tidak pernah
lagi menulis naskah film sendiri. Selama berada di Atambua, Riri telah menggali
banyak cerita dari riset yang ia lakukan ketika mengerjakan proyek film
dokumenter tentang kondisi pendidikan di Nusa Tenggara Timur, bekerjasama
dengan salah satu lembaga PBB. Hampir selama satu bulan Ia mengamati,
berinteraksi, dan berbincang dengan masyarakat sekitar guna menciptakan sebuah
alur cerita. Setelah hampir tiga bulan, ia akhirnya berhasil menyelesaikan
proses penulisan naskahnya, yang ia beri judul Atambua 39 Derajat Celcius.
Film Atambua 39 Derajat Celcius menceritakan kisah kehidupan Joao dan
ayahnya Ronaldo, yang terpaksa mengungsi dari Timor Leste ke kota Atambua pasca
masa referendum tahun 1999, sementara istri Ronaldo dan dua putrinya memilih
untuk tinggal di Liquica, Timor Leste. Joao yang tengah beranjak dewasa sulit
berkomunikasi dengan ayahnya yang pemabuk, dan sangat merindukan kehangatan
Sang Ibu. Sementara itu pertemuannya dengan seorang gadis bernama Nikia yang
kembali ke Atambua untuk menyelesaikan makam kakeknya, menggugah perhatian
Joao.
Film berdurasi 90 menit
ini menjadi film Indonesia pertama yang menggunakan bahasa Tetum, bahasa asli
orang Timor. Semua aktor dan aktris yang berperan pun berasal dari Timor, Nusa
Tenggara Timur. Riri Riza sengaja tidak menggunakan aktor atau aktris yang
berwajah familiar. Ia ingin mengajak
penonton masuk ke dalam pengalaman yang baru dan membawa mereka ke dalam
suasana yang lebih otentik secara geografis maupun antropologis saat menonton
film hasil arahannya itu.
Sebuah Paradoks
Riri berharap film terbarunya ini mampu menjadi sebuah media, bagi siapapun yang menontonnya, untuk melihat kehidupan hari ini dengan berbagai dimensi masalahnya. Menjadi sebuah perenungan tentang apa yang harus dilakukan untuk membuat semuanya lebih baik. Ia merasakan sendiri bagaimana masyarakat Indonesia banyak mengalami perubahan ke arah yang lebih demokratis setelah runtuhnya pemerintahan Orde Baru. Satu yang paling kuat ia rasakan adalah terpisahnya Timor Timur dari Indonesia. Dengan jeli ia melihat bagaimana peristiwa itu melahirkan banyak kisah-kisah kecil. Kisah tentang keterpisahan, kemiskinan, dan ketidakadilan.
Riri berharap film terbarunya ini mampu menjadi sebuah media, bagi siapapun yang menontonnya, untuk melihat kehidupan hari ini dengan berbagai dimensi masalahnya. Menjadi sebuah perenungan tentang apa yang harus dilakukan untuk membuat semuanya lebih baik. Ia merasakan sendiri bagaimana masyarakat Indonesia banyak mengalami perubahan ke arah yang lebih demokratis setelah runtuhnya pemerintahan Orde Baru. Satu yang paling kuat ia rasakan adalah terpisahnya Timor Timur dari Indonesia. Dengan jeli ia melihat bagaimana peristiwa itu melahirkan banyak kisah-kisah kecil. Kisah tentang keterpisahan, kemiskinan, dan ketidakadilan.
“Tadinya
saya sama
sekali tidak tertarik untuk bicara tentang persoalan politik. Atambua adalah
kota yang mengalami perubahan cukup signifikan sejak terjadinya referendum,
kemudian terpisahnya Timor Leste dari Indonesia di tahun 1999. Cerita-cerita
yang saya dengar itu menjadi inspirasi. Saya ingin membuat sebuah film tentang
masyarakat Timor hari ini. Bukan film dokumenter, tapi film drama,” ujar Riri.
Ia melihat ketimpangan
yang sangat kompleks. Kota-kota besar seperti Jakarta mengalami pembangunan,
perkembangan, dan stabilitas ekonomi, sedangkan di wilayah-wilayah yang jauh
dari kekuasaan seperti di daerah timur Indonesia masih dihantui dengan
persoalan kemiskinan, keterbelakangan, kesulitan akses terhadap pendidikan dan
juga masalah kesehatan. Pengalamannya inilah yang menginspirasi dirinya untuk
melahirkan cerita Atambua 39 Derajat
Celcius, yang ia sebut sebagai sebuah paradoks.
“Salah satu hal yang
tidak saya bayangkan sebelumnya mengenai kota Atambua adalah betapa besar dan
dalamnya dampak dari peristiwa politik di tahun 1999 itu pada masyarakat di sana.
Saya bisa merasakan bahwa banyak sekali orang yang mungkin kebingungan dengan
status identitas dan status geografi politiknya. Dan itu adalah sesuatu yang
selalu menarik minat saya. Banyak cerita tentang keluarga, percintaan, hubungan
persahabatan, yang mendapat dampak besar karena terjadinya perpecahan politik,”
ungkap sutradara kelahiran Ujung Pandang itu.
Senada dengan Riri Riza,
Mira lesmana berharap film Atambua 39
Derajat Celcius ini bisa menarik lebih banyak perhatian untuk menolehkan
kepala ke bagian timur Indonesia. Ketika dulu masa eksodus terjadi, sepertinya
semua mata tertuju pada Timor, tapi sekarang keadaan telah berubah 180 derajat.
Mereka seolah terlupakan.
“Di sana masih terdapat banyak daerah yang belum
memiliki sambungan listrik, angka kemiskinan masih sangat tinggi, kurangnya
akses terhadap pendidikan, dan problem trauma dari perpecahan politik masih
ada, namun sudah banyak bantuan yang meninggalkan mereka. Jadi saya pikir,
penting untuk mengingatkan kita semua bahwa kita masih punya saudara yang
membutuhkan perhatian kita. Film ini juga ingin merefleksikan betapa kita
memiliki berbagai bahasa yang indah, kultur yang berbeda-beda, yang patut kita
rayakan dan banggakan,” tutur Mira.
Proyek Idealis
Sejak awal mencetuskan ide, Mira Lesmana maupun Riri Riza menyadari jika film ini tidak akan bisa se-meledak Laskar Pelangi ataupun Sang Pemimpi. Film ini sarat dengan simbol yang membicarakan permasalahan dan harapan masyarakat di Atambua secara spesifik. Ketika bertemu dengan Mira Lesmana saat press screening di PPHUI (Pusat Perfilman Haji Usmar Ismail) 5 November lalu, saya bertanya kenapa ia mau memproduksi film seperti ini, yang mungkin tidak semua produser atau sutradara mau menggarapnya. Mira hanya menjawab dengan singkat,”Saya merasa perlu dan penting untuk menceritakan apa yang terjadi dengan saudara-saudara kita di Atambua.”
Sejak awal mencetuskan ide, Mira Lesmana maupun Riri Riza menyadari jika film ini tidak akan bisa se-meledak Laskar Pelangi ataupun Sang Pemimpi. Film ini sarat dengan simbol yang membicarakan permasalahan dan harapan masyarakat di Atambua secara spesifik. Ketika bertemu dengan Mira Lesmana saat press screening di PPHUI (Pusat Perfilman Haji Usmar Ismail) 5 November lalu, saya bertanya kenapa ia mau memproduksi film seperti ini, yang mungkin tidak semua produser atau sutradara mau menggarapnya. Mira hanya menjawab dengan singkat,”Saya merasa perlu dan penting untuk menceritakan apa yang terjadi dengan saudara-saudara kita di Atambua.”
Film ini menjadi proyek
idealis Mira dan Riri. Ia sadar kalau film ini mungkin saja tidak akan meraup
banyak keuntungan. Kesulitan mencari investor untuk mendanai proyeknya ini
sudah menjadi resiko yang mau tidak mau harus dihadapi Mira. Padahal dana yang
dibutuhkan hanya sekitar 1,2 milyar rupiah. Jumlah ini tidak seberapa jika
dibandingkan dengan biaya yang harus dikeluarkan ketika memproduksi film-film
layar lebar sebelumnya, yang mencapai hingga puluhan milyar rupiah.
Namun bukan Mira Lesmana
namanya jika ia tidak mampu mengatasi masalah itu. Ia tidak cepat hilang akal.
Pengalamannya selama bertahun-tahun sebagai seorang produser telah membentuk
dirinya sebagai seorang pribadi yang senang menerima tantangan. Kendati tidak
banyak investor yang tertarik, Mira tetap berhasil untuk memproduseri Atambua 39 Derajat Celcius. Ia
menargetkan beberapa sumber dana dari Eropa dan Amerika. Sebelum masa produksi,
Mira mengikutsertakan proyek filmnya ini ke Hubert
Bals Fund (HBF), sebuah program pendanaan yang bernaung di bawah International Film Festival Rotterdam.
Program ini bertujuan memberikan bantuan dana pada proyek-proyek film dari
negara berkembang.
Usahanya tidak sia-sia, profil film yang ditawarkan oleh
Mira terpilih sebagai penerima dana bantuan dalam kategori digital production, dan mendapat dana sebesar 20.000 Euro untuk
pembuatannya. Dana tersebut digunakan
untuk menyelesaikan proses syuting di Atambua, sedangkan biaya untuk masa
produksi dan proses pasca produksi ia kumpulkan melalui partisipasi masyarakat
luas atau dikenal dengan istilah crowdfunding.
Crowdfunding adalah konsep pendanaan secara
kolaboratif. Cara ini mulai berkembang seiring bermunculannya situs-situs yang
mengakomodir konsep tersebut di seluruh dunia, tidak terkecuali di Indonesia.
Salah satunya situs wujudkan.com, yang bertujuan untuk mendorong partisipasi
publik dalam mengembangkan karya kreatif Indonesia. Bersama wujudkan.com, Mira
berhasil mengumpulkan dana sekitar 300 juta Rupiah.
Menjelajah Kemungkinan Baru
Meskipun film ini dikerjakan dengan biaya yang tidak begitu besar dan dengan jumlah kru yang sedikit, namun seorang Riri Riza tetap mampu menyuguhkan sekelumit cerita tentang apa yang dialami saudara kita di timur Indonesia, khususnya masyarakat Atambua. Ia dan Mira sepakat untuk membuat Atambua 39 Derajat Celcius ini menjadi film yang se-realistis mungkin.
Meskipun film ini dikerjakan dengan biaya yang tidak begitu besar dan dengan jumlah kru yang sedikit, namun seorang Riri Riza tetap mampu menyuguhkan sekelumit cerita tentang apa yang dialami saudara kita di timur Indonesia, khususnya masyarakat Atambua. Ia dan Mira sepakat untuk membuat Atambua 39 Derajat Celcius ini menjadi film yang se-realistis mungkin.
“Saya menerapkan semua
hal yang biasa
terjadi saat pembuatan film bergaya realis atau neo realis. Kita syuting di
lokasi dengan keadaan yang
sebenarnya. Misalnya seperti di pasar. Kita menggunakan
pasar itu di saat benar-benar sedang aktif, ketika banyak pedagang yang sedang berjualan, ketika banyak
pengunjung yang sedang ada di sana. Tidak ada upaya-upaya untuk membawa
figuran. Kadang kita harus sangat fleksibel
dengan waktu dan kondisi, namun saya tidak melihatnya sebagai kendala. Gaya membuat film yang seperti
saya baru jalankan ini adalah gaya yang bisa menjadi solusi untuk dunia
perfilman atau minimal dunia produksi film saya sendiri,” tutur pria lulusan Fakultas Film Institut
Kesenian Jakarta tersebut.
Duet Riri Riza-Mira
Lesmana ini memang terkenal sebagai ‘pasangan’ yang cukup produktif dalam dunia
perfilman, kerap menciptakan karya-karya yang fenomenal. Kolaborasi yang mereka
bangun selalu melahirkan film-film dengan gaya yang berbeda. Sejak film Kuldesak di tahun 1998, Petualangan Sherina di tahun 2000, Ada Apa Dengan Cinta?, GIE, hingga Laskar Pelangi dan Sang
Pemimpi. Film mereka tidak hanya sekedar memanjakan penonton dengan alur
cerita yang menghibur, tetapi juga mempunyai efek tersendiri di luar itu. Film
Laskar Pelangi misalnya, tidak banyak orang mengetahui potensi keindahan alam
yang dimiliki Pulau Belitung. Namun sekarang, sejak film Laskar Pelangi menjadi
box office nasional, berbondong-bondong
orang pergi mengunjungi Pulau Belitung dan menjadikannya sebagai salah satu
destinasi wisata yang wajib dikunjungi.
Mereka berani
meninggalkan zona nyaman, menjelajah kemungkinan-kemungkinan baru sehingga
menemukan ide-ide baru yang siap diolah. Mereka adalah orang-orang yang berani
berpikir bebas, menjelajah segala kemungkinan yang bisa diterapkan dalam
membuat sebuah film, baik dari sisi produksi maupun sisi ide kreatifnya.
“Saya
pikir pembuat film itu harus berani keluar dari comfort zone-nya, menjelajah kemungkinan-kemungkinan baru sehingga kita juga
mempunyai ide-ide baru. Supaya kita juga nggak stagnan. Sejak
saya membuat film 3 Hari Untuk Selamanya, Laskar Pelangi dan Sang Pemimpi, saya selalu bekerja dengan unit produksi yang besar,
istilahnya saya memiliki kontrol yang sangat tinggi, saya bisa menutup jalan, meminta figuran sampai 500
orang, menyewa kendaraan, dan membangun set. Sekarang
semua itu saya rombak. Saya membuat sebuah film dengan keterbatasan, dengan pendekatan apa adanya, tapi
tetap dengan gaya bercerita saya selama ini,” jelas
Riri dari ujung telepon.
NB: Artikel ini telah dimuat dalam rubrik Voice Utama majalah VOICE+ Vol 5 edisi Desember 2012
No comments:
Post a Comment